The discourse of qirā'āt is an important discussion to be studied, due to the wide scope of knowledge accompanied by its lack of dissemination in the elements of Indonesian society. The dissemination of qirā'āt should be preserved as a form of relaying Qur'ānic knowledge from the Prophet. Especially the discussion of qirā'āt three mutammimah li al-'ashr, which are three complements of qirā'āt seven to become qirā'āt ten. This study aims to broadly introduce the qirā'āt three mutammimah li al-'ashr and provide an understanding of analyzing the differences in implications associated with interpretation. This study uses the approach of tafsir and qirā'āt criticism as well as the philological approach with the study of manuscripts. As an analytical tool, it uses the pattern of differences in qirā'āt designed by Shaykh ‘Abd-Fattāḥ ‘Abd al-Ghānī al-Qāḍī (d. 1402 AH). It is concluded that there are implications in the interpretation of various patterns, but it can be concluded in general that the first pattern of ikhtilāf fī al-lafẓi wa ittifāq fī al-ma'nā (different in pronunciation but consistent in meaning) is the majority Diskursus qirā’āt menjadi pembahasan yang penting untuk dikaji, disebabkan karena luasnya lingkup ilmu yang disertai dengan kurang tersebarluasnya di elemen masyarakat Indonesia. Penyebaran qirā’āt hendaknya terus dilestarikan sebagai bentuk estafet keilmuan Al-Qur’an yang bersambung dari Rasulullah Saw. Terutama pembahasan tentang qirā’āt tiga mutammimah li al-‘ashr, yang merupakan tiga pelengkap qirā’āt tujuh untuk menjadi qirā’āt sepuluh. Dengan adanya penelitian ini, ditujukan untuk dapat mengenalkan secara luas qirā’āt tiga mutammimah li al-‘ashr dan memberikan pemahaman analisa perbedaan implikasi yang dikaitkan dengan penafsiran. Penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir dan kritik qirā’āt serta pendekatan filologi dengan pengkajian naskah. Sebagai pisau analisa menggunakan pola perbedaan ragam qirā’āt yang dirancang Shaykh ‘Abd-Fattāḥ ‘Abd al-Ghānī al-Qāḍī (w. 1402 H) yang mengklasifikasikan perbedaan menjadi tanawwu’ dan taghayur. Dan menghasilkan kesimpulan, bahwa terdapat implikasi dalam penafsiran dengan pola yang beragam, namun dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa pola pertama ikhtilāf fī al-lafẓi wa ittifāq fī al-ma’nā (berbeda pada lafaz namun bersesuaian makna) menjadi mayoritas.
Copyrights © 2024