Bagi masyarakat Aceh adat istiadat sendiri sangatlah dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, oleh sebab itu masyarakat Aceh juga menggunakan hukum atau aturan adat sebagai aturan atau hukum yang dijadikan acuan atau pedoman pada kegiatan sosial masyarakatnya. Sebagian dari rakyat Aceh mencari dan memperoleh keadilan melalui penyelesaian masalahnya menggunakan tradisi adat, yang walaupun seringkali masyarakat tidak memahami tata cara dan alur penyelesaian sengketa dengan menggunakan hukum adat, karena alasannya yaitu hukum adat pada dasarnya memiliki sifat tidak tertulis, turun menurun dan abstrak dalam aktivitas masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan mediasi pada perkara pidana di lembaga adat Kota Lhokseumawe yakni peran lembaga adat dalam mediasi untuk penyelesaian perkara pidana.Hasil penelitian menunjukkan dengan dibentuk dan disahkannya aturan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga atau badan Adat, maka menjelaskan terbentuknya 13 lembaga adat seperti Keuchik, Tuha Peuet yang akan menjadi objek kajian penelitian ini. Terkait dengan perkara pidana ringan yang terdapat dalam Qanun dalam menyelesaikan perselisihan dapat diselesaikan oleh lembaga adat tingkat gampong yakni dengan keuchik, tuha peuet serta imeum menasah untuk mendamaikan pihak yang berperkara. Dengan ketentuan tindak pidana tersebut termasuk kedalam perkara-perkara yang dapat diselesaikan oleh lembaga adat gampong serta perselisihan lainnya yang melanggar adat dan adat istiadat. Terdapat beberapa peraturan terkait dengan kebijakan peradilan adat yakni Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Dan Ketua Majelis Adat Aceh Nomor: 189/677/2011, Nomor: 1054/MAA/XII/2011, Nomor: B/121/1/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong Dan Mukim yang bersifat ringan wajib di selesaikan terlebih dahulu melalui peradilan adat atau lembaga adat dan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat.Indonesia has not ratified the 1951 Refugee Convention. The principle of non-refoulement is universally recognized. In 2016, the Indonesian government issued Presidential Decree Number 125 of 2016 which regulates the handling of refugees from abroad. In Aceh, the first refugees to arrive by sea were handled by Panglima Laot. Although Panglima Laot has no official authority according to law, in practice he is involved in providing first aid due to his role as an indigenous leader of the sea responsible for security and welfare in the sea area.The study aims to analyze the existence of Panglima Laot in handling refugees in North Aceh and Lhokseumawe; constraints on the existence of Panglima Laot in handling refugees from abroad in North Aceh and Lhokseumawe and Panglima Laot's efforts in handling refugees from abroad. This research is an empirical research using an empirical juridical approach that specifically takes the research location in North Aceh and Lhokseumawe.The results showed that Panglima Laot provided assistance to refugees based on humanitarian considerations and customs. The existence of Panglima Laot as the chairman of the sea has an important role in carrying out customary customs and customary law and maintaining security and welfare in coastal areas, in accordance with Aceh Qanun Number 9 of 2008. However, obstacles to the existence of Panglima Laot in handling refugees include legal uncertainty, security issues, official incompetence, and limitations of the law. This makes it difficult for Panglima Laot to provide assistance to refugees because there is no official recognition of his role. Efforts made by Panglima Laot on handling refugees include providing basic needs, coordinating with the government, strengthening security, public awareness, psychosocial assistance, as well as advocacy and diplomacy
Copyrights © 2024