Merek, sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), merupakan aset yang sangat berharga dalam dunia bisnis. Merek mencerminkan keunikan dan kekhasan, yang dapat menarik loyalitas konsumen. Semakin terkenal sebuah merek, terutama yang dikenal di lintas negara, semakin tinggi nilainya. Namun, pengakuan global ini juga menyebabkan upaya dari berbagai pihak untuk meniru, mereplikasi, atau menjiplak merek terkenal, meskipun merek tersebut telah terdaftar di Indonesia. Hal ini mengakibatkan perselisihan kepemilikan antara pemilik merek internasional asli dan pengusaha lokal. Contoh perselisihan tersebut termasuk keputusan Mahkamah Agung mengenai merek Prada (Putusan No. 15/PDT.SUS/MEREK/2015), Pierre Cardin (Peninjauan Kembali No. 49 PK/Pdt.SusHKI/2018), Lois (Putusan No. 789K/Pdt.Sus-HKI/2016), dan Amazone (Putusan No. 789K/Pdt.Sus-HKI/2016). Penelitian ini mengkaji perlindungan hukum yang tersedia bagi pemilik merek internasional terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha lokal di Indonesia. Menggunakan metode penelitian hukum normatif, studi ini menganalisis literatur yang ada dan keputusan-keputusan yudisial. Temuan penelitian menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum untuk melindungi merek terkenal internasional, masih terdapat kekurangan dalam definisi dan perlindungan hukum yang ada. Kekurangan ini berkontribusi pada terus berlanjutnya perselisihan kepemilikan yang terjadi di pengadilan. Selain itu, putusan-putusan pengadilan yang tidak konsisten, terutama mengenai masalah itikad buruk dan prinsip first-to-file, menunjukkan kurangnya pemahaman yang seragam dalam melindungi merek internasional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan penguatan regulasi hukum dan peningkatan konsistensi dalam interpretasi yudisial untuk lebih efektif dalam melindungi hak merek.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2024