Dalam wacana Hukum Perkawinan, Perkawinan Sirri masih terjadi perdebatan baik dari masyarakat maupun dari pihak pemerintah. Termasuk perkawinan Sirri yang dilakukan oleh Hj. Macicha Moehtar dengan Murdiono pada Tahun 1993. Pihak Macicha Moehtar mengajukan Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan kasus yang dialaminya. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang isinya mengesahkan perkawinan sirri yang dilakukan oleh Hj. Aisyah Muhtar dengan Murdiono dan menyatakan bahwa anak luar nikah hasil perkawinan sirri tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya. Namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menambahkan anak luar nikah hasil perzinaan, perselingkuhan dan samen leven selain juga mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah. Yang menjadi kontroversi adalah anak luar nikah hasil zina, perselingkuhan dan samen leven mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang data utamanya adalah data sekundair, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekundair dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan dengan diskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan sirri berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 merupakan perkawinan yang sah dan lahirnya anak dari perkawinan itu merupakan tanggung jawab dari ibunya dan bapaknya. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perkawinan Sirri selanjutnya dinyatakan sah dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut merupakan tanggung jawab dari ibu dan bapaknya.
Copyrights © 2025