Penanganan korupsi memerlukan langkah-langkah khusus, termasuk perlindungan hukum bagi Justice Collaborator agar mereka dapat menjalankan perannya tanpa ancaman. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 dan SEMA No. 4 Tahun 2011 mengatur perlakuan, syarat, dan hak perlindungan bagi Justice Collaborator. Meskipun ada kritik, keberadaan mereka dianggap penting untuk mengungkap kasus korupsi dan menjaga stabilitas negara. Penelitian ini bertujuan membandingkan aturan perlindungan hukum terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama sebagai Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi, merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban serta Undang-Undang tindak pidana korupsi. Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, dan bersifat preskriptif, berfokus pada analisis data sekunder, terutama UU No. 31 Tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agar seseorang dapat disebut sebagai Justice Collaborator, tindakan pidana yang diungkap harus serius dan teroganisir. Keterangan yang diberikan harus signifikan, relevan, dan dapat diandalkan, sehingga berguna bagi aparat penegak hukum sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011. Perlindungan hukum bagi saksi pelaku yang menjadi Justice Collaborator diatur oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2014, yang memberikan hak perlindungan termasuk jaminan keamanan, kerahasiaan identitas, dan penghapusan hukuman jika memberikan keterangan yang membantu mengungkap kasus korupsi. Saksi pelaku yang berkontribusi substansial juga dapat memperoleh keringanan hukuman. Selain itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mengatur perlindungan bagi Justice Collaborator, yang dapat menerima keringanan hukuman jika kerjasama mereka bermanfaat untuk pengungkapan kejahatan. Disarankan agar penegak hukum lebih aktif mensosialisasikan hak dan perlindungan bagi Justice Collaborator serta memperjelas mekanisme jaminan keamanan dan kerahasiaan identitas mereka.
Copyrights © 2024