Hukum waris Islam, atau Faraidh, mengatur pembagian harta warisan bagi umat Muslim dengan ketentuan yang dianggap wajib dan mutlak. Namun, ada perdebatan mengenai ahli waris pengganti, yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an tetapi diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia. Di Desa Uteuen Gathom, Kabupaten Bireuen, penerapan ahli waris pengganti sering ditolak karena tidak ada dasar hukum jelas dalam Al-Qur'an atau Hadits, meskipun Mahkamah Syari'ah mengacu pada KHI untuk keadilan. Penelitian ini bertujuan mengkaji penyelesaian kasus Faraidh terhadap ahli waris pengganti dan tinjauan hukum yang digunakan. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan dengan teknik wawancara. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.Hasil menunjukkan pentingnya penerapan hukum Islam dalam pembagian warisan. Kasus M.Ali yang meninggal setelah istrinya, Salamah, menunjukkan perdebatan mengenai pemberian bagian kepada cucu Muzzakir, yang diusulkan sebagai ahli waris pengganti. Meski KHI Pasal 185 mengizinkan cucu sebagai ahli waris pengganti jika orang tua mereka meninggal lebih dulu, Al-Qur'an tidak mengakui konsep ini jika terhalang ahli waris lain. Akhirnya, anak-anak M.Ali sepakat memberikan 5% dari harta warisan kepada cucu Muzzakir sebagai bentuk bantuan, bukan hak waris formal. Penyelesaian ini mencerminkan fleksibilitas hukum waris Islam dalam mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan. Disarankan agar masyarakat Desa Uteuen Gathom meningkatkan pemahaman tentang hukum waris Islam sesuai KHI dan Al-Qur'an untuk mencegah konflik dan menjaga keharmonisan keluarga.
Copyrights © 2024