Nusa Lembongan merupakan salah satu sentra penghasil rumput laut, namun padatahun 2017 produksinya mengalami penurunan sebesar akibat penyakit ice-ice, bibit yang kurang baik, harga jual rendah, dan peralihan profesi petani ke pariwisata. Selama pariwisata di Pulau Bali menurun akibat pandemi Covid-19,masyarakat kembali menggeluti budidaya rumput laut sebagai mata pencarian.. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keterkaitan aspek ekologi dan sosial budaya usaha rumput laut agar berkelanjutan. Penelitian dilakukan di Nusa Lembongan, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Provinsi Bali, dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang diamati adalah laju pertumbuhan dan parameter kualitas air yaitu suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, kedalaman dan kecepatan arus serta data sosial budaya melalui wawancara dan observasi. Penelitian dimulai November 2022-Januari 2023. Hasil yang didapat rata-rata laju pertumbuhan mutlak rumput laut tertinggi 173 gram dan yang terendah sebesar 106 gram, produksi rumput laut tertinggi sebesar 1.376 gr/m dan rata-rata laju pertumbuhan harian spesifik berkisar antara 1,98-4,53% perhari. Parameter kualitas air suhu sebesar 29-31,4 °C; untuk pH 7,5-8,3; salinitas berkisar 29-31,5 ppt - oksigen terlarut 6,47-7,45 mg/L; kedalaman 0,2-0,9 m; dan kecepatan arus 0,1-0,3 m/s. Responden 20 orang pelaku pembudidaya, pendapatan dalam 1 kali budidaya berkisar antara Rp 5.000.000,00–15.000.000,00. Perairan Nusa Lembongan secara ekologi memenuhi syarat untuk usaha budidaya rumput laut berkelanjutan sebagai mata pencarian utama masyarakat Nusa Lembongan, dengan kearifan lokal Nyepi Segara. Budidaya rumput laut di Nusa Lembongan merupakan warisan budaya dan tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi dari tahap persiapan lokasi, penanaman, perawatan dan panen.
Copyrights © 2024