Manusia terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, namun ada kondisi tertentu disebut ambiguous genitalia atau khuntsa, di mana status kelamin tidak jelas. Ulama Fiqih membagi khuntsa menjadi dua jenis: Khuntsa Musykil, yang sulit ditentukan jenis kelaminnya meskipun dengan berbagai cara, dan Khuntsa Ghairu Musykil, yang status kelaminnya masih dapat diketahui. Ketidakjelasan ini berdampak hukum, terutama dalam menentukan hak waris. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif-analitis melalui studi pustaka dan lapangan. Analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak dan kewajiban ahli waris khuntsa mengikuti kecondongan jenis kelaminnya. Fatwa MUI No. 2 Tahun 1980 dan No. 3/MUNAS-VII/2010 mendukung operasi kelamin bagi khuntsa untuk mempertegas identitas kelamin. Pembagian waris khuntsa yang telah melakukan operasi penyesuaian kelamin dan memperoleh kejelasan status kelamin mengikuti ketentuan QS. An-Nisa ayat 11 dan Pasal 176 KHI. Jika status kelamin tetap diragukan, Mazhab Syafi’i mengusulkan pemberian bagian terkecil dengan menyimpan sisanya, sementara Mazhab Maliki menawarkan pembagian dengan dua kemungkinan yang dihitung dan dibagi dua. Pendekatan ini memastikan hak waris dapat diberikan tanpa menunda pembagian, meskipun status kelamin belum sepenuhnya jelas.
Copyrights © 2024