Permasalahan tanah terlantar di Indonesia menjadi isu penting dalam hukum agraria, terutama terkait dengan Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan. Sengketa mengenai tanah terlantar sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam menentukan kompetensi antara peradilan administrasi negara dan peradilan perdata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ratio decidendi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/TUN/2016 dan No. 698 PK/PDT/2022, serta menelaah pertanggungjawaban pemegang HGB atas tanah terlantar dalam perspektif hukum perdata dan administrasi negara. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus terhadap kedua putusan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan No. 90 PK/TUN/2016 menegaskan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menetapkan tanah terlantar, sementara Putusan No. 698 PK/PDT/2022 menegaskan bahwa sengketa tanah terlantar seharusnya diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan perdata. Selain itu, pemegang HGB yang menelantarkan tanahnya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan hak, gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, serta sanksi pidana jika terdapat unsur penguasaan tanah secara tidak sah sesuai Pasal 385 KUHP. Dengan adanya kejelasan regulasi dan koordinasi antar lembaga hukum, diharapkan sengketa tanah terlantar dapat diminimalisir serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang HGB dan pemerintah.
Copyrights © 2025