Penegakan hukum pada hakikatnya tidak hanya berfokus pada pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan, tetapi juga bertujuan untuk mengembalikan kerugian yang diderita oleh negara atau korban secara materiil maupun immateriil. Seiring berkembangnya regulasi, Kejaksaan Republik Indonesia diberikan kewenangan lebih luas melalui pembentukan Badan Pemulihan Aset (BPA) berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2024, yang memiliki tugas melakukan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana. Namun, dalam praktiknya, proses pemulihan tersebut tidak jarang menghadapi gugatan perdata yang berpotensi menghambat upaya hukum, sebagaimana terjadi pada perkara penyitaan aset PT Fikasa Group oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru. Dalam konteks ini, keberadaan Jaksa Pengacara Negara (JPN) menjadi penting sebagai representasi negara dalam menyelesaikan persoalan keperdataan, baik secara litigasi maupun non-litigasi. JPN menjalankan tugas berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2021, dengan ruang lingkup yang mencakup penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, tindakan hukum lain, dan pelayanan hukum. Penelitian ini mengkaji bagaimana implementasi peran JPN dalam pemulihan kerugian negara dijalankan secara profesional, proporsional, dan akuntabel, sebagaimana dituntut oleh norma hukum dan etika penegakan hukum modern. Analisis dilakukan untuk menilai sejauh mana pelaksanaan tugas JPN sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut serta tantangan yang dihadapi dalam praktik, khususnya pada ranah hukum perdata yang berkaitan dengan pemulihan aset negara. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi penguatan peran kejaksaan dalam menjaga keuangan negara secara lebih efektif dan berintegritas. Kata Kunci : Jaksa Pengacara Negara, Pemulihan Kerugian Negara, Badan Pemulihan Aset
Copyrights © 2025