Pasal 2 UU Perkawinan menyatakan sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing pasangan. Persoalan ini muncul dalam Putusan Nomor 31/Pdt.G/2021/PA.Pare dan Putusan Nomor 5/Pdt.G/2023/PN.Lsm, di mana perceraian diputuskan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Pasal 38 UU Perkawinan dan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam mengatur syarat perceraian, dengan status keagamaan pasangan mempengaruhi keabsahan perkawinan. Penelitian ini menganalisis kompetensi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam memutus perceraian akibat perkawinan beda agama melalui Putusan Nomor 31/Pdt.G/2021/PA.Pare dan 5/Pdt.G/2023/PN.Lsm, serta mengkaji perbedaan pertimbangan hukum yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang menganalisis Putusan Nomor 31/Pdt.G/2021/PA.Pare dan Putusan Nomor 5/Pdt.G/2023/PN.Lsm. Teknik pengumpulan data melalui penelitian dokumen. Analisis dilakukan secara normatif dengan menginterpretasikan bahan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seharusnya perceraian pasangan beda agama ditangani oleh Pengadilan Negeri. Namun, Pengadilan Agama Pare dalam Putusan Nomor 31/Pdt.G/2021/PA.Pare tetap memproses dan menolak gugatan cerai karena kurang bukti, mengacu pada hukum Islam. Sedangkan Pengadilan Negeri Lhokseumawe dalam Putusan Nomor 5/Pdt.G/2023/PN.Lsm memutuskan perceraian karena perbedaan agama dan perselingkuhan, serta memberikan hak asuh anak kepada penggugat berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Keduanya menekankan pentingnya mediasi. Kesimpulannya adalah kompetensi menangani perceraian beda agama seharusnya berada di Pengadilan Negeri. Perbedaan pertimbangan hukum terjadi karena perbedaan dasar hukum yang digunakan, namun kedua pengadilan sama-sama mengutamakan upaya mediasi demi perlindungan keluarga, khususnya anak.
Copyrights © 2025