Perluasan makna saksi dalam hukum acara pidana berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, yang mengakui keterangan saksi De Auditu sebagai alat bukti sah untuk mendukung pembuktian kebenaran materiil, meskipun tidak memiliki pengalaman langsung atas peristiwa pidana. Latar belakang masalah muncul dari keterbatasan pembuktian ketika saksi langsung sulit dihadirkan, sehingga dibutuhkan pengakuan terhadap keterangan tidak langsung dengan tetap menjunjung kehati-hatian dalam penilaiannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kekuatan hukum keterangan saksi De Auditu dan bagaimana sistem peradilan pidana menilai alat bukti tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif melalui studi kepustakaan terhadap sumber hukum primer, sekunder, dan tersier, yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun saksi De Auditu diakui sebagai alat bukti, keterangan tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan harus didukung oleh alat bukti sah lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, serta tidak boleh melanggar asas praduga tak bersalah maupun hak terdakwa untuk melakukan pemeriksaan silang. Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa keterangan saksi De Auditu memiliki kekuatan pembuktian terbatas dan hanya dapat digunakan sebagai pelengkap dalam proses pembuktian pidana. Oleh karena itu, disarankan agar aparat penegak hukum dan hakim tetap menjadikan keterangan tersebut sebagai bukti pendukung yang harus diverifikasi secara ketat agar tidak mencederai keadilan dalam proses peradilan pidana. 
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025