Penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia menimbulkan pertanyaan hukum yang kompleks, khususnya terkait penerapan prinsip non-refoulement dalam konteks negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Prinsip non-refoulement merupakan norma fundamental dalam hukum pengungsi internasional yang melarang negara untuk mengembalikan seseorang ke wilayah di mana ia berisiko menghadapi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana Indonesia, sebagai negara non-pihak terhadap Konvensi 1951, tetap terikat pada prinsip non-refoulement melalui norma hukum internasional lainnya, seperti Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) dan hukum kebiasaan internasional. Melalui pendekatan yuridis-normatif dan analisis praktik kebijakan pemerintah, penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun belum memiliki kerangka hukum nasional yang komprehensif mengenai pengungsi, Indonesia secara de facto menjalankan prinsip non-refoulement. Namun, ketiadaan dasar hukum yang jelas menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum bagi pengungsi Rohingya. Oleh karena itu, artikel ini merekomendasikan pembentukan kebijakan nasional yang selaras dengan standar hukum internasional guna memperkuat perlindungan hak asasi manusia bagi pengungsi.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025