Penelitian ini menganalisis secara komparatif alasan-alasan yuridis yang menyebabkan putusnya hubungan hukum antara anak dan orang tua menurut dua sistem hukum yang berlaku di Indonesia: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dualisme hukum keluarga di Indonesia seringkali menimbulkan perbedaan fundamental dalam konsep, sebab, dan akibat hukum terkait status anak. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (kualitatif) dan pendekatan perbandingan hukum (comparative law approach), penelitian ini bertujuan untuk membedah perbedaan filosofis dan implikasi yuridis dari masing-masing ketentuan. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang tajam: (1) KHI, yang berlandaskan hukum Islam, memegang prinsip keabadian hubungan nasab (keturunan darah) di mana hubungan hukum antara anak kandung dan orang tua secara esensial tidak dapat diputus. Putusnya hubungan yang diatur lebih bersifat pada pemutusan hak-hak keperdataan tertentu (seperti kewarisan akibat perbedaan agama atau pembunuhan) atau peralihan hak asuh (hadhanah), bukan pemutusan status anak itu sendiri. (2) Sebaliknya, KUH Perdata, yang berakar pada tradisi hukum sipil Eropa, mengenal mekanisme pemutusan kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) secara formal melalui pembebasan atau pemecatan oleh pengadilan, yang dapat berakibat pada putusnya hubungan hukum secara lebih definitif, terutama terkait perwalian dan administrasi harta. Disimpulkan bahwa perbedaan mendasar terletak pada landasan filosofis: KHI berbasis pada konsep nasab yang bersifat teologis dan permanen, sementara KUH Perdata berbasis pada konsep kekuasaan orang tua yang bersifat yuridis dan dapat diintervensi oleh negara demi "kepentingan terbaik anak" dari perspektif hukum sekuler.
Copyrights © 2025