Penelitian ini menganalisis putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat Nomor 36/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst terkait perkara Hasto Kristiyanto yang dibebaskan dari dakwaan obstruction of justice berdasarkan Pasal 21 UU Tipikor. Fokus penelitian diarahkan pada dua isu utama, yaitu apakah putusan “tidak terbukti” tersebut telah sesuai dengan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta apakah interpretasi hakim terhadap unsur-unsur obstruction mencerminkan kemanfaatan bagi pemberantasan korupsi dan kepentingan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim menafsirkan Pasal 21 sebagai delik materiil dengan mensyaratkan akibat konkret, berbeda dari putusan sebelumnya seperti kasus Lucas dan Fredrich Yunadi yang menempatkannya sebagai delik formil. Putusan ini menjaga kepastian hukum melalui standar pembuktian ketat, tetapi mengorbankan keadilan substantif dan kemanfaatan, karena melemahkan efektivitas Pasal 21 UU Tipikor dalam mencegah penghalangan proses hukum. Penelitian ini merekomendasikan harmonisasi penafsiran melalui pedoman Mahkamah Agung, penguatan perlindungan saksi, serta revisi Pasal 21 UU Tipikor agar sejalan dengan KUHP Baru. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi optimal sebagai instrumen pemberantasan korupsi yang melindungi kepentingan masyarakat luas.
Copyrights © 2025