Ketidakseimbangan antara sektor pariwisata dan sektor pertanian di Bali menjadi penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan secara masif, terutama dari lahan pertanian menjadi kawasan pariwisata. Setiap tahun, Bali kehilangan rata-rata sekitar 1.000 hektar lahan pertanian akibat konversi lahan yang didorong oleh pesatnya pembangunan akomodasi wisata seperti villa dan condotel. Fenomena ini secara langsung mengancam keberadaan sistem subak, yaitu sistem irigasi tradisional yang mencerminkan struktur sosial, religius, dan ekonomi masyarakat Bali. Kenaikan harga lahan, terutama di area penyangga kawasan wisata, turut mempercepat perubahan fungsi lahan dan menyusutkan ruang hijau secara signifikan. Dalam konteks ini, ekspansi villa menjadi salah satu faktor dominan yang memicu tekanan terhadap keseimbangan tata guna lahan. Upaya mitigasi dapat dilakukan melalui optimalisasi nilai lahan subak dengan mengembangkan konsep agrowisata, pemanfaatan status subak sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, serta intervensi pemerintah dalam regulasi harga lahan dan pemberian insentif untuk mencegah konversi lahan pertanian secara berlebihan. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kajian ini memfokuskan analisis pada regulasi tata ruang dan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan yang berlaku di Provinsi Bali, khususnya terkait keberlangsungan ruang hijau dan perlindungan sistem subak.
Copyrights © 2024