The enactment of Law No. 6 of 2014 concerning Villages represents a strategic step in restoring the state’s trust in villages, which were previously treated as mere objects of development by district or central governments. Through the principles of recognition and subsidiarity, villages are acknowledged as autonomous entities capable of managing their own affairs. However, the implementation of this law requires support in the form of clear regulatory frameworks, competent human resources, adequate facilities and infrastructure, continuous supervision, and sufficient funding provision. Law Number 6 of 2014 on Villages serves as a significant milestone in the legal dynamics of village governance in Indonesia. This law provides a legal foundation for villages as the smallest administrative unit, granting autonomy and independence in managing resources, development, and community empowerment. This study aims to analyze the changes in the village governance system following the enactment of the Village Law, focusing on aspects of authority, finance, and community participation in decision-making processes. The research employs a normative approach by analyzing legislation, legal documents, and related literature.The results reveal that the Village Law has shifted the paradigm from a top-down to a bottom-up approach, positioning villages as subjects of development. However, the implementation of this law faces several challenges, including the capacity of village officials, potential misuse of village funds, and internal conflicts often arising from differing interests. Therefore, strengthening supporting regulations, continuous capacity building for village officials, and effective oversight are essential to achieving the Village Law's goals of fostering independent, participatory, and sustainable village governance. Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan langkah strategis dalam mengembalikan kepercayaan negara terhadap desa, yang sebelumnya menjadi objek pembangunan pemerintah kabupaten maupun pusat. Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, desa diakui sebagai entitas otonom yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun, penerapan UU ini memerlukan dukungan perangkat aturan yang jelas, SDM yang kompeten, sarana dan prasarana, pengawasan berkelanjutan, serta penyediaan sumber dana yang memadai. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi tonggak penting dalam dinamika hukum pemerintahan desa di Indonesia. Undang-undang ini memberikan landasan yuridis bagi desa sebagai unit pemerintahan terkecil yang memiliki kewenangan otonomi dan kemandirian dalam pengelolaan sumber daya, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan desa setelah diberlakukannya UU Desa, dengan fokus pada aspek kewenangan, keuangan, dan peran masyarakat dalam pengambilan keputusan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif dengan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, serta kajian literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Desa telah menggeser paradigma dari pendekatan top-down menjadi bottom-up, dengan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Namun, implementasi undang-undang ini menghadapi berbagai tantangan, seperti kapasitas aparatur desa, potensi penyalahgunaan dana desa, serta konflik internal yang sering kali terjadi akibat perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan regulasi pendukung, pembinaan berkelanjutan bagi aparat desa, dan pengawasan yang efektif untuk memastikan tercapainya tujuan UU Desa dalam memperkuat pemerintahan desa yang mandiri, partisipatif, dan berkelanjutan.
Copyrights © 2024