Dalam konteks kepastian hukum di bidang pertahanan, struktur hukum jelas sangat diperlukan. Kejelasan mengenai status tanah, kepemilikan, bukti kepemilikan, batas-batas, dan luasnya sangat penting dalam menyelesaikan konflik dan sengketa tanah. Tujuannya adalah untuk menghindari ketidakjelasan dan konflik yang mungkin timbul terkait pengakuan dan penguasaan tanah oleh pihak tertentu. Sebagai contoh, kasus konflik yang muncul di sekitar tanah adat Keraton Kasepuhan Cirebon menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana-perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-adat- setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahunc1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pendekatan deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif digunakan dalam penulisan ini, dengan menganalisis sumber data primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian-ini menunjukkan beberapa hal. Pertama,-secara-formal,-status-tanah adat (ulayat) diakui dan dilindungi selama masih ada dalam kenyataan. Konstitusionalnya, hak-hak tradisional dari masyarakat hukum adat juga mendapat perlindungan. Kedua, status hukum tanah Keraton Kasepuhan Cirebong dapat ditelusuri kembali dari Inggris, Belanda, awal kemerdekaan, hingga era reformasi sebagai hak milik atau hak turun temurun dari Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Ketiga,dalam konteks hukum tanah nasional, hak ulayat diakui sebagaimana-diatur-dalam peraturan-peraturan yang berlaku, dan masih ada sekelompok orang yang mengikuti tatanan hukum adat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mekanisme penyelesaian-masalah hak ulayat-dalam konteks Kesultanan-Cirebon diatur-dalam peraturan-yang berlaku. Sengketa tanah antara Keraton Kasepuhan Cirebon dan Pemerintah Kota Cirebon merupakan kasus yang kompleks dan belum terselesaikan, yang memerlukan pendekatan yang komprehensif dan konsultatif lintas-sektor untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. In the context of legal certainty in the land sector, a clear legal structure is needed. This is important because in resolving land conflicts and disputes, clarity regarding land status, ownership, proof of ownership, boundaries and extent is needed. This aims to avoid ambiguities and conflicts that may arise regarding the recognition and control of land by certain parties. For example, the conflict that arose around the customary land of Keraton Kasepuhan Cirebon raises the question of how the legal protection of the rights of indigenous peoples after the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Principles. This writing uses an analytical descriptive approach using a normative juridical approach method, namely by analysing primary, secondary, and tertiary data sources. The results of this research show several things. First, formally, the status of customary land (ulayat) is recognised and protected as long as it still exists in reality. Constitutionally, the traditional rights of customary law communities also receive protection. Second, the legal status of Cirebon Kasepuhan Palace land can be traced back from the British, Dutch, early independence, to the reform era as property rights or hereditary rights of the Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Third, in the context of national land law, customary rights are recognised as stipulated in applicable regulations, and there is still a group of people who follow customary law in their daily lives. The mechanism for resolving customary rights issues in the context of the Sultanate of Cirebon is regulated in the applicable regulations.
Copyrights © 2024