Penelitian ini mengkaji akibat hukum dari ketidakjelasan frasa “merugikan perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Frasa tersebut tidak memiliki batas konseptual yang pasti, sehingga menimbulkan multitafsir dan mengurangi kepastian hukum dalam konstruksi delik korupsi. Kajian menunjukkan bahwa istilah perekonomian negara tidak dilengkapi dengan parameter yang dapat diuji secara empiris. Akibatnya, unsur ini tidak operasional dalam proses pembuktian, karena kerugian yang dimaksud bersifat abstrak, makroekonomis, dan tidak dapat diverifikasi melalui alat bukti yang tersedia dalam hukum acara pidana. Kondisi tersebut menyebabkan penilaian atas terpenuhinya unsur delik bergeser menjadi sangat subjektif, membuka ruang interpretasi yang luas, dan meningkatkan potensi ketidakkonsistenan putusan maupun penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Ketidakjelasan itu juga menunjukkan adanya pertentangan dengan asas legalitas, khususnya prinsip lex certa, yang menghendaki kejelasan, ketegasan, serta batasan yang terukur dalam perumusan tindak pidana. Tanpa pemaknaan yang jelas, penerapan unsur ini berisiko menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa maupun pihak lain yang berhadapan dengan proses penegakan hukum. Penelitian ini menegaskan urgensi reformulasi unsur perekonomian negara dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Reformulasi diperlukan untuk memberikan kepastian hukum, menyusun parameter kerugian yang dapat diuji secara objektif, serta memastikan bahwa penegakan hukum berjalan konsisten dan sejalan dengan prinsip dasar hukum pidana. Dengan demikian, norma hukum dapat dioperasionalkan secara lebih akuntabel dan mengurangi ruang penyimpangan dalam praktik peradilan.
Copyrights © 2026