Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang memberikan dampak multidimensional terhadap tatanan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, wacana pemberian amnesti dan abolisi kepada pelaku tindak pidana korupsi menimbulkan polemik tajam di masyarakat, terutama karena kebijakan tersebut dinilai berpotensi melemahkan integritas sistem peradilan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep dan dasar hukum pemberian amnesti dalam sistem hukum Indonesia serta mengkaji implikasinya melalui perspektif sosiologi hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara konstitusional, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan amnesti sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, namun ketiadaan regulasi teknis mengakibatkan mekanisme tersebut rawan dipolitisasi. Pemberian amnesti kepada pelaku korupsi, sebagaimana terlihat dalam kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, menegaskan adanya potensi penyalahgunaan kewenangan yang berdampak pada melemahnya prinsip kepastian hukum, keadilan, dan fungsi checks and balances. Dari perspektif sosiologi hukum, kebijakan ini dapat mengganggu fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, menurunkan legitimasi lembaga penegak hukum, serta menormalisasi perilaku koruptif di tengah masyarakat. Selain itu, kebijakan amnesti bagi koruptor bertentangan dengan prinsip keadilan proporsional yang menuntut kesesuaian antara kesalahan dan sanksi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa amnesti tidak tepat diterapkan untuk tindak pidana korupsi karena berpotensi memperkuat impunitas dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Diperlukan regulasi yang lebih komprehensif, transparan, dan berbasis keadilan untuk menghindari penyimpangan kewenangan sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan
Copyrights © 2026