Fenomena demonstrasi besar di Indonesia pada Agustus - September 2025 dipicu oleh kenaikan tunjangan DPR menjadi bukti nyata bagaimana media digital membingkai informasi. Kondisi ini diperkuat oleh langkah pemerintah yang membatasi akses media sosial melalui penghentian layanan TikTok Live serta sensor terhadap konten di Instagram dan YouTube. Akibatnya, publik hanya menerima pemberitaan dari media digital yang menonjolkan informsai kerusuhan dan ancaman keamanan, sementara ruang komunikasi terkait tuntutan masyarakat dihilangkan. Tujuan penelitian ini untuk menguraikan pola framing yang digunakan media serta menjelaskan konsekuensinya terhadap demokrasi. Penelitian ini menggunakan teori framing Robert N. Entman yang menekankan empat fungsi utama framing, yaitu pendefinisian masalah, diagnosis penyebab, penilaian moral, dan rekomendasi solusi. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif melalui studi dokumentasi pemberitaan media digital dan media sosial terkait demonstrasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa framing media menempatkan demonstrasi sebagai tindakan anarkis yang mengancam ketertiban, dengan demonstran diposisikan sebagai penyebab kerusuhan. Pemerintah memperkuat narasi ini dengan pembatasan media sosial, sehingga ruang komunikasi publik menyempit dan suara kritis sulit terdengar. Kesimpulannya, framing media digital dan pembungkaman media sosial tidak hanya menciptakan persepsi publik yang timpang, tetapi juga berpotensi mengikis kebebasan berekspresi dan melemahkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Copyrights © 2025