Tanah merupakan aset warisan yang diturunkan secara turun-temurun. Namun, dalam proses jual beli sebagai bentuk pemindahan hak kepemilikan, tanah tersebut tetap memerlukan sertifikat sebagai bukti hukum kepemilikan sesuai dengan syarat formal yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 sebagai pengatur pelaksana dari UUPA, bahwa setiap perjanjian dengan maksud pemindahan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat belum memiliki sertifikat hak milik (SHM) tanah warisan. Penelitian ini membahas mengenai proses pelaksanaan jual beli tanah warisan tanpa sertifikat yang ada di Wilayah Oesapa Timur, Kota Kupang, NTT dengan kedudukan ahli waris bagi laki – laki sebagai akibat pandangan hukum adat; serta penerapan hukum yang tepat pada proses jual beli yang dilakukan. Data penelitian diperoleh dengan proses wawancara yang dilakukan terhadap Pemerintah Daerah yakni RT setempat. Diketahui bahwa sekitar 20,5% masyarakat di Wilayah Oesapa Timur yang masih belum memiliki SHM tanah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai pentingnya bukti kepemilikan ini, dapat disebabkan oleh faktor – faktor seperti kurangnya ilmu pengetahuan mengenai hukum warisan, serta proses pembuatan sertifikat yang membutuhkan sejumlah berkas – berkas pendukung. Sehingga menyebabkan tidak sedikit proses jual beli tanah warisan yang hanya dilakukan di depan saksi tanpa adanya bukti kepemilikan. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah dengan melakukan kegiatan seperti sosialisasi cara pengurusaan penerbitan sertifikat tanah serta mempermudah proses pengurusan sertifikat tersebut.
Copyrights © 2025