cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
KALANGWAN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Jurnal Seni Pertunjukan Kalangwan merangkum berbagai topik seni pertunjukkan, baik yang menyangkut konsepsi, gagasan, fenomena maupun kajian. Kalangwan memang diniatkan sebagai penyebar informasi seni pertunjukan sebab itu dari jurnal ini kita memperoleh dan memtik banyak hal tentang seni pertunjukan dan permasalahannya
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 4 No 2 (2018): Desember" : 9 Documents clear
Kompromitas Atas Keterlibatan Wanita Dalam Aktivitas Berkesenian Di Minangkabau -, Wardizal; Santosa, Hendra
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.829 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.529

Abstract

Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Resistensi dan Kompromitas Terhadap Keterlibatan Wanita dalam Seni Pertunjukan di Minangkabau. Secara umum tulisan ini menguraikan tentang adanya praktik kompromi terhadap keterlibatan wanita dalam seni pertunjukan di Minagkabau. Kompromi sebagai salah satu usaha untuk meredam konflik secara kultural yang terjadi akibat keterlibatan wanita dalam seni pertunjukan tradisional Minangkabau. Pada masa sekarang telah terjadi proses demokratisasi proses berkesenian di tengah kehidupan sosio-kultural masyarakat Minangkabau. Penelitian ini dikonstruksikan berdasarkan metode kualitatif didasarkan pada filsafat rasionalisme. Filsafat Rasionalisme bukan karena mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.Penelitian rasionalisme mensyaratkan digunakannya pendekatan yang holistik yang menggunakan konstruksi pemaknaan atas realitas, tidak saja secara empirik sensual tetapi juga secara logis-teoritik dan etik. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, seperti studi kepustakaan, untuk mendapatkan berbagai informasi dari sumber tertulis. Observasi dan wawancara, untuk mengamati berbagai fenomena dan peristiwa yang berkembang di tengah masyarakat. Kontribusi wanita terhadap perkembangan dan pelestarian kesenian tradisonal Minangkabau, secara kualitatif telah melahirkan beberapa seniman yang melegenda di tengah masyarakat.This article is part of the results of a study entitled “Resistance and Compromise to the Involvement of Women in the Performing Arts in Minangkabau. This article generally describes the practice of compromising the involvement of women in performing arts in Minangkabau. Compromise is one of the efforts to reduce cultural conflicts that occur as a result of women’s involvement in traditional Minangkabau performing arts. At the present time there has been a process of democratization of the artistic process in the midst of the socio-cultural life of the Minangkabau people. This research was constructed based on qualitative methods based on the philosophy of rationalism. Rationalism philosophy is not due to denying the value of experience, but experience is seen as a kind of stimulus for the mind. Rationalism research requires the use of a holistic approach that uses construction of meaning for reality, not only sensually empirical but also logically-theoretical and ethical. Research data collection was conducted in several stages, such as literature study, to obtain various information from written sources. Observations and interviews, to observe various phenomena and events that develop in the community. The contribution of women to the development and preservation of traditional Minangkabau art has qualitatively produced several legendary artists in the community.
Calungpangkung: Musik Dari Dan Untuk Alam Muliyadi, I Wayan; Sudirga, I Komang; Suteja, I Kt.
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (146.871 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.560

Abstract

Karya musik Calung Pangkung merupakan karya musik yang memanfaatkan alam khususnya pangkung sebagai sumber penciptaan karya. Pertunjukan dilakukan secara berpindah-pindah mulai dari bagian atas pangkung sampai pada bagian bawah. Hasil penciptaan karya Calung Pangkung merupakan karya seni musik lingkungan yang terlahir dari ekplorasi fenomena yang terjadi pada alam, khususnya pangkung. Pembentukan karya ini pencipta menggunakan pendekatan kontemporer dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekitar areal pangkung sebagai instrumen atau media ungkap dalam karya. Karya musik Calung Pangkung secara struktur dibagi menjadi empat bagian, yaitu bakti raga, mabraya, adharma, dan santhi swara. Bagian bakti raga menggambarkan bakti manusia terhadap alam, bagian mabraya merupakan wujud dari keharmonisan alam dan manusia, bagian adharma menggambarkan keserakahan manusia terhadap alam, serta bagian santhi swara sebagai wujud suara perdamaian yang hening dan tenang. Karya musik Calung Pangkung secara langsung dipentaskan di areal pangkung Gua Peteng Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.Calung Pangkung’s musical work is a musical work that utilizes nature, especially the lap as a work. Performances are carried out in a move starting from the top of the pangkung to the bottom. The result of the work of Calung Pangkung is a musical work of art that was born from the exploration of phenomena that occur in nature, especially the lap. The supervisor of this work uses a contemporary approach using objects that are around the lap area as instruments or express media in the work. Calung Pangkung’s musical works generally become four parts, namely bakti raga, mabraya, adharma, and santhi swara. The bakti raga part of human devotion to nature, part of the mabraya is a manifestation of the harmony of nature and people, the part of natural adharma of human greed towards nature, and the part of santhi swara as a peaceful and calm form of peace. Calung Pangkung’s musical work was directly staged in the pangkung Gua Peteng area of Darmasaba Village, Abiansemal District, Badung Regency. 
Tata Rias Wajah Pada Tari Oleg Tamulilingan Persefektif Kajian Seni Liza Anggara Dewi, Ni Made
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.409 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.556

Abstract

Tata rias wajah pada tari Oleg Tamulilingan menarik untuk diteliti karena tata rias ini mampu menyajikan karakter halus pada wajah penarinya. Penelitian yang dilakukan melalui ilmu kajian seni ini difokuskan pada bentuk, konsep estetika dan fungsinya dengan tujuan agar dapat bermanfaat bagi praktisi dan akademisi di bidang Seni tari. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengaplikasikan Teori Bentuk, Teori estetika, dan Teori fungsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan  bahwa bentuk tata rias wajah pada tari oleg tamulilingan dapat dilihat dari delapan tipe anatomi wajah dan karakteristik garis dan warna yang sesuai dengan penari oleg tamulilingan. Konsep estetis yang terdapat pada tata rias pada tari oleg tamulilingan dipengaruhi oleh penata rias itu sendiri yang mengalami perubahan dari tahun 1952 hingga sekarang. Dari segi fungsi tata rias wajah pada tari Oleg tamulilingan meliputi fungsi personal seni, sosial seni, dan fisik seni yang memiliki makna tertentu pada setiap simbolnya.The make up on Oleg Tamulilingan Dance study to interesting because can Submitting Fine characters face dancer. This research with study of art focus on form, aestethic consep, and function to useful for academics and practitioners dance. This study use the qualitative method by using form theory, Aesthetic theory, Functional theory. The study result turne out make up on Oleg Tamulilingan dance from perspective of art study from the shape, the are eight types of facial anatomy and shape characteristic of lines and colors make the corrresponding character on oleg tamulilingan Dancer. The aesthetic look of a make up artist and dancer oleg tamulilingan expreriencing changes in 1952 until now. Has the function of personal art, social art, and physicial art, and there is a specific meaning to each symbol that is on make up in oleg tamulilingan dance. 
Gamelan Kakelentingan Di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan Baturiti Tabanan: Kontinuitas Dan Perkembangannya Sari Wiguna, Kadek Agung; Arya Sugiartha, I Gede; Sudirga, I Komang
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.822 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.561

Abstract

Kakelentingan berasal dari akar kata kelen atau badjra kecil, jika dibunyikan menghasilkan suara ting menjadi kelenting dan mendapat awalan ka- dan akhiran -an menjadi kakelentingan. Kakelentingan adalah sebuah barungan gamelan baik menyangkut fisik, musikalitas, maupun fungsi. Gamelan Kakelentingandiperkirakansudah ada di atas abad ke XVIII Masehi, berawal dari dua buah instrumen dan berkembang menjadi sembilan instrumen. Gending tradisi yang pada awalnya hanya ada satu, kini sudah bertambah sembilan gending. Hal yang membuat peneliti tertarik meneliti gamelan Kakelentingan dikarenakan, gamelan ini bersifat sakral dan harus ada di setiap prosesi upacara (medal, melancaran, dan nyineb). Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. Tujuannya untuk mengetahui wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan. Manfaatnya untuk menambah wawasan, sebagai bahan apresiasi bagi peneliti dan masyarakat luas, serta pihak pemerintah setempat. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori struktural fungsional, teori religi, dan teori estetika. Berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa gamelan Kakelentingan berbentuk barungan kelompok kecil, mempunyai musikalitas, struktur komposisi gending, tata penyajian, dan hiasan. Gamelan Kakelentingan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi religi (pawintenan), fungsi sosial (ngayah), dan fungsi budaya (ngiring). Secara kontinuitas, gamelan Kakelentingan yang berawal dari dua buah instrumen dengan menghasilkan motif pukulan (batel) yang khas dalam fungsinya mengiringi Ida Sesuunan Dewata Nawa Sanga melancaran dan perkembangan gamelan Kakelentingan terlihat dari adanya penambahan jumlah instrumen, perkembangan pola garapan, dan perkembangan reportoar di dalamnya. Kakelentingan derives fromthe root words of kelen or badjra, if sounded will produce ting to become kelenting and get a prefix ka- and suffix -anbecome kakelentingan. Kakelentingan is a a group of gamelan which is related to physicality, musicality and function. Gamelan Kakelentingan is about existed over XVIII century AD, starting from two instruments and developing into nine instruments. Gending tradition, which at first only had one, now has nine gending. This makes researcher interested in researching the Gamelan Kakelentinganbecause, this gamelan is sacred and must be in every ceremony procession (medal, melancaran, and nyineb). The formulation is how the form, function, continuity and development of the gamelan. At the Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. The aim is to find out the form, function, continuity and development of the Gamelan Kakelentingan. The benefits are to add perception, as material for researcher and the wider community, as well as the local government. The method used is a qualitative method, namely the theory used namely structural theory, religious theory, and aesthetic theory. The results of this study indicate that the Gamelan Kakelentingan forms a small group, has musicality,composition structure of gending, presentation system, and decoration. Gamelan Kakelentinganhas three functions, namely religious function (pawintenan), social function (ngayah), and cultural function (ngiring). Continuously, the Gamelan Kakelentingan originates from two instruments by producing a characteristic beat(batel) in its function to accompany Ida Sesuunan Dewata Nawa Sangamelancaran and developing the Gamelan Kakelentinganseen from the number of instruments, the development of patterns of cultivation, and the development of reports in it. 
Gandrung Marsan: Eksistensi Tari Gandrung Lanang Di Banyuwangi Santi, Heni Widya; Arshiniwati, Ni Made; -, Suminto
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.448 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.557

Abstract

Tari Gandrung Marsan merupakan objek yang dijadikan penelitian. Tujuan dari penelitian ini sebagai artikel penunjang untuk mendapatkan gelar S-1 Seni Tari di Institut Seni Indonesia Denpasar. Tujuan lainnya adalah untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan keberadaan, bentuk dan keunikan dari tari Gandrung Marsan. Metode yang digunakan pada penelitian adalah kualitatif dengan sumber data berupa primer dan sekunder yang dikumpulkan berdasarkan hasil observasi, wawancara, studi pustaka dan studi dokumentasi. Keseluruhan data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dibagi dalam 3 tahap, yakni: (1) data yang berhubungan dengan keberadaan tari; (2) data yang berhubungan dengan bentuk tari; (3) data yang berhubungan dengan keunikan tari; dan (4) data yang berhubungan dengan fungsi tari. Hasil yang diperoleh dari penelitian menyatakan, bahwa: (1) Gandrung Marsan merupakan satu-satunya tari Gandrung lanang kreasi yang diciptakan setelah sekian lama tenggelamnya era Gandrung lanang pada tahun 1914 di Banyuwangi; (2) inspirasi penciptaan tari adalah kehidupan seorang Marsan, yang pada tahun 1890 adalah penari Gandrung lanang yang paling terkenal; (3) tari Gandrung Marsan dibawakan oleh 9 orang penari laki-laki memakai kostum gandrung perempuan dengan gerak yang lincah dan kemayu. Salah satu keunikan pada tarian terdapat di akhir pertunjukan, yaitu ketika karakter penari yang awalnya perempuan berubah menjadi laki-laki gagah berpakaian wanita dan berkumis.Gandrung Marsan Dance is the object of research. The purpose of this research as a supporting article to get the degree of S-1 of Dance at Institut Seni Indonesia Denpasar. Another purpose is to express and describe the existence, form and uniqueness of Gandrung Marsan dance. The method used in this research is qualitative with the result of primary and secondary data collected based on observation, interview, literature study and documentation study. The entire data is analyzed descriptively qualitative and divided into 4 parts, namely: (1) data relating to the existence of dance; (2) data related to the form of dance; (3) data related to the uniqueness of dance; and (4) data related to function of dance. The results obtained from the study states that: (1) Gandrung Marsan is the only one Gandrung Lanang creations dance were created after the long sinking of the Gandrung Lanang era in 1914 in Banyuwangi; (2) inspiration for the creation of dance is the life of a Marsan, who in 1890 was the most famous Gandrung Lanang dancer; (3) Gandrung Marsan dance performed by 9 male dancers wearing gandrung women’s costume with agility and wood. One of the uniqueness of the dance is at the end of the show, that is when the of the dancer who was originally a female turned into a handsome man dressed in a woman and a mustache. 
Problematik Notasi Ding Dong Pada Era Information Technology (It) Arya Deva Suryanegara, I Putu
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.045 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.562

Abstract

Sistem notasi ding-dong pada Gamelan Bali pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh I Wayan Djirna dan I Wayan Ruma, dan disempurnakan kembali oleh guru Kokar Bali (Konservatori Karawitan Bali) pada tahun 1960 untuk tujuan pedagogis. Meskipun sistem ini cukup membantu untuk mentransmisikan karawitan tradisional terdahulu, namun untuk keperluan komposer maupun musisi Bali saat ini masih mengalami keterbatasan. Alasannya pada era information technology (IT) saat ini, notasi Ding Dong masih belum memiliki sarana untuk menotasikan gending gamelan secara digital yang memadai, seperti yang digunakan untuk notasi Barat telah memiliki berbagai jenis aplikasi digital. Sehingga perbaharuan dan perkembangan sangat diperlukan oleh para musisi dan komposer gamelan Bali, karena selain untuk keperluan pribadi, juga untuk keperluan akademis. Bahwasanya kini sering terdapat tuntutan tugas untuk menotasi gending gamelan Bali secara konkrit dan digital. 
Perlindungan Hukum Terhadap Alat Musik Tradisional Bali Masyuni Sujayanthi, Ni Wayan; Arya Putraka, Agus Ngurah
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.449 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.558

Abstract

Keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa ini, begitu halnya di Bali dimana seni dan budaya sudah dikenal sampai kemancanegara. Salah satunya adalah seni karawitan dimana alat musik tradisional Bali sudah banyak terdapat di negara lain dan sudah banyak dipelajari oleh bangsa lain, hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya pengklaiman oleh negara lain sehingga dipandang perlu melalui penelitian ini yang bertujuan untuk menganalisis keurgensian pemberian perlindungan hukum terhadap alat musik tradisional Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dimana sumber data berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuisioner, wawancara, dan studi pustaka kemudian diolah dan disajikan secara deskriptif dengan menarik kesimpulan. Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran penting atau tidaknya pemberian perlindungan hukum terhadap alat musik tradisional Bali menurut para pendapat masyarakat yang berkecimpung di dunia seni karawitan Bali.The diversity of arts and cultures in Indonesia become one of the wealth owned by this nation, so as in Bali where art and culture have been well-known all over the world. One of them is karawitan art where the traditional Balinese musical instruments have been widely available in other countries and have been studied by other nations, it evokes the occurrence of claims by other countries, therefore it is necessary that through this research which aims at analyzing the urgency of providing legal protection to Balinese traditional musical instruments. The research method applied is qualitative research where the data sources are in the form of primary data and secondary data. The data collection was conducted by questionnaire method, interview, and literature study then processed and presented descriptively by drawing conclusions. The results of this study provide description on whether or not the provision of legal protection to Balinese traditional musical instruments according to the opinions of the people who are engaged in the art world of Balinese karawitan. 
Cak Ganjur: Sebuah Komposisi Musik Vokal Gabungan Cak Dan Balaganjur Antara, I Made Bayu; Sudirga, I Komang; Santosa, Hendra
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.059 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.495

Abstract

Cak Ganjur adalah sebuah judul komposisi musik vokal  yang menggabungkan musik Cak dan Balaganjur. Dalam proses penciptaannya, dilatarbelakangi oleh ketertarikan untuk mengangkat sebuah peristiwa pada ketertarikan pada keunikan yang dimiliki oleh gamelan Balaganjur, dan bagaimana menuangkannya dalam bentuk vokal, gerakan, dan tepukan tangan tanpa menggunakan alat, untuk menimbulkan nuansa baru yang mirip dengan pertunjukan kecak. Tujuan penciptaan komposisi Cak Ganjur adalah untuk mengeksplorasi lebih dalam pengalaman empiris dengan menggabungkan vokal Kecak dengan gamelan Balaganjur. Komposisi Cak Ganjur disusun melalui tiga tahapan penciptaan yaitu tahap penjajagan, dimulai dengan menjajagi berbagai literatur yang berkaitan dengan Kecak dan Balaganjur, dan melakukan pemilihan, analisis, dan pengolahan dari rekaman audio maupun audio visual sangat penting untuk dilakukan demi mencari inspirasi yang akan dikutip kembali dengan warna dan pengolahan secara baru. Penggarapan tidak mengabaikan hasil karya seniman yang sudah ada dan menarik kemungkinan dari segi motif dan pola garap musikal yang sudah ada sebelumnya, baik yang berkaitan dengan bentuk maupun suasana yang diinginkan. Kemudian tahap percobaan yang dimulai dengan cara menuangkan inspirasi gending yang akan digunakan dalam garapan ini secara bertahap dengan cara menuliskannya melalui notasi. Selanjutnya adalah tahap pembentukan yaitu merangkai dan menghubungkan motif-motif untuk selanjutnya dibentuk menjadi suatu keutuhan komposisi.Cak Ganjur is a title of vocal music composition that combines Cak and Balaganjur music. In the process of its creation, it was motivated by an interest to elevate an event to an interest in the uniqueness of Balaganjur gamelan, and how to pour it in vocals, movements, and applause without using tools, to create new nuances similar to kecak performances. The purpose of Cak Ganjur’s composition creation is to explore more deeply the empirical experience by combining Kecak vocals with the Balaganjur gamelan. The composition of Cak Ganjur is composed through three stages of creation, namely the assessment stage, beginning with exploring the various literatures related to Kecak and Balaganjur, and performing the selection, analysis and processing of audio and audio recording is very important to do in order to seek inspiration to be cited again with color and processing in a new way. Cultivation does not neglect the work of existing artists and draws possibilities in terms of motives and patterns of musical work that already existed, both related to the shape and the desired atmosphere. Then the experimental stage that begins with how to pour the gending inspiration that will be used in this gradually by way of writing it through notation. Next is the formation stage of assembling and connecting the motifs to be further formed into a whole composition. 
Tari Rejang Pusung Di Desa Pakraman Geriana Kauh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem Sekar Arini, Ni Luh Ayu; Arshiniwati, Ni Made; -, Suminto
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.119 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.559

Abstract

Tari Rejang Pusung merupakan tarian sakral yang ada di Desa Pakraman Geriana Kauh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Keunikan yang dimiliki terletak pada pemilihan penari, kesederhanaan gerak dan hiasan kepala yang berbahan dasar kulit jeruk jeruti. Melihat keunikan yang dimiliki maka dipandang perlu untuk didokumentasikan dan diteliti. Namun faktanya, tulisan mengenai pementasan tari Rejang Pusung yang kaitannya dengan upacara Ngusaba Goreng masih sangat minim. Dengan demikian penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan. Adapun dua pokok permasalahan yang dikaji, yakni mengenai bentuk dan fungsi tari Rejang Pusung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi tari Rejang Pusung sehingga manfaat dari hasil penelitian ini dapat dijadikan arsip desa yang bisa dibaca oleh generasi penerus agar kelestariannya tetap terjaga. Dalam pembahasannya menggunakan sumber tertulis serta dua buah teori yakni teori estetika dan teori fungsional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang digunakan yakni observasi, wawancara, studi kepustakaan, studi dokumentasi, sehingga didapat hasil sebagai berikut. Tari Rejang Pusung dibawakan dalam bentuk tari kelompok dengan ciri khas terdapat pada rambut penari yang dipusung dan ditarikan oleh gadis yang masih belia. Tari ini dipentaskan di Pura Puseh, Pura Pajenengan, Pura Dalem, dan Pura Dadia yang diiringi oleh kolaborasi baleganjur, kenyong dan gambang. Tari Rejang Pusung memiliki dua fungsi yakni fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer yakni sebagai sarana ritual, sebagai hiburan diri dan sebagai presentasi estetis. Untuk fungsi sekundernya adalah sebagai pengikat silidaritas sekelompok masyarakat, sebagai media komunikasi massa, sebagai media terapi, dan sebagai media meditasi.Rejang Pusung dance is a sacred dance in Pakraman Geriana Kauh village, Selat district, Karangasem regency. Its unigueness lies in the selection of dancers, the simplicity of mation and headdress based on orange peel of jeruti. Seing the uniqueness that is owned then it is deemed necessary to be documented and researched. But in writing about Rejang Pusung dance performances that are related to the Ngusaba Goreng ceremony still very minimal. This research is considered important to do. As for the two subject matter studied, mamely about the from and function of Rejang Pusung dance. This research aims to determine the shape and function of Rejang Pusung dance. So that the benefits of the result of this research can be used as village archives that can be read by the next generation tomaintain its sustainability. In the discussion using written sources and two theories namely the theory of aesthetics and functional theory. This research uses qualitative research methods with data collection technigues used those are, observation, interview, study bibliography, study documentation, so obtained the following results. Rejang Pusung dance perpormed in the form of dance group with a characteristic found in the hair of dancers carried and danced by young children. This dance is performed at Puseh temple, Pajenengan temple, Dalem temple, and Dadia temple accompanied by collaboration of baleganjur, kenyong and gambang. Rejang Pusung dance has two function namely primary function and secondary function. The primary function is as a means of ritual, as a self-entertainment and as an aesthetic presentation for its secondary function is as a binder of solidarity of community groups as a medium of mass communication as a medium of therapy and as a medium of meditation. 

Page 1 of 1 | Total Record : 9