cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen" : 21 Documents clear
PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Rorong, Marcell R.
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan sanksi pidana dalam perkara anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimana pemberlakuan sanksi tindakan yang dapat dikenakan pada anak  menurut Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemberlakuan sanksi pidana dalam perkara anak menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, yaitu pidana pokok berupa pidana peringatan; pidana dengan syarat yang terdiri dari: (pembinaan di luar lembaga; pelayanan masyarakat atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Pidana tambahan terdiri atas: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. 2.Pemberlakuan sanksi tindakan yang dapat dikenakan pada anak menurut sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana. Tindakan sebagaimana dimaksud perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. Semua sanksi Tindakan dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Kata kunci: Sanksi pidana, anak, sistem peradilan.
INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PIDANA BERDASARKAN KEBENARAN MATERIIL Boyoh, Masyelina
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memngetahui bagaimana pengaturan kebenaran material dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana dan bagaimana independensi hakim dalam memutus perkara pidana berdasarkan kebenaran materil. Metode yang digunakan dalam penelitian nini adalah metode yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Kebenaran Material Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dipandang pertama-tama sebagai tujuan hukum acara pidana, sebagai asas hukum acara pidana dan bahwa kebenaran material berkaitan dengan sistem pembuktian pidana yang mana keputusan hakim harus berdasarkan alat-alat bukti sah di persidangan, yakni: keterangan saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan Terdakwa. 2. Independensi Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Berdasarkan Kebenaran Materiil adalah hakim tidak dipengaruhi oleh intervensi pihak manapun dan mengambil keputusan berdasarkan hukum demi keadilan dan kebenaran. Dalam memutus perkara pidana, berdasarkan kebenaran materiil, independensi hakim nampak secara nyata dalam memeriksa, mengadili dan mengambil keputusan. Dalam memeriksa, independensi hakim dinyatakan dalam mempertimbangkan semua alat bukti yang ada. Dalam mengadili, hakim harus mandiri dan menggunakan kelima alat bukti yang ada sebagai dasar pencarian dan penemuan kebenaran materiil dan selanjutnya kebenaran yang ditemukan itu menjadi dasar bagi hakim untuk mengadili. Selanjutnya dalam mengambil keputusan, independensi hakim juga harus nampak dengan memberikan putusan yang adil dan benar demi hukum tanpa adanya unsur lain yang menyertai putusan yang diambil. Kata kunci: Independensi hakim, perkara pidana, kebenaran materil.
ANALISIS YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK Harun, Rachmat
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan dan bagaimana pembuktian dan penerapan hukum terhadap tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.  Perlindungan Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Selain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam melindungi korban pencabulan anak Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga dapat melindungi korban pencabulan anak dan korban-korban akibat tindak pidana yang lainya. 2. Pembuktian dalam tindak pidana pencabulan menggunakan alat bukti sesuai dengan KUHAP.  Adapun alat bukti sah menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 di atur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari Keterangan saksi,Keterangan ahli,Surat Petunju, Keterangan terdakwa. Dalam penerapan hukum terhadap pelaku pencabulan anak dapat diterapkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan menggunakan mekanisme dan sistem peradilan anak yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kata kunci: Tindak pidana, pencabulan anak.
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA MANADO Winowoda, Dwiyanti
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana kebijakan penanggulangan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Manado oleh pemerintah. Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normative, maka dapat disimpulkan: 1. Sekarang  ini  teori  yang  paling  kuat  pengaruhnya  tentang  sebab  terjadinya  kekerasan  dalam  rumah  tangga  adalah  teori  sosio-budaya  (socio-cultural  theory). Menurut  teori  ini,  sebab  terjadinya  kekerasan  dalam  rumah  tangga  adalah  budaya  patriarkhat  (dominasi laki-laki)  yang  menempatkan  perempuan  sebagai  subordinasi  laki-laki.  Laki-laki  merasa  dirinya  adalah  lebih  kuat  dibandingkan  perempuan  dan  ada  toleransi  penggunaan  kekuatan  oleh  laki-laki.  Selain  itu  terdapat  faktor-faktor  pendorong,  yang  berbeda-beda  menurut  kasus  demi  kasus,  yaitu  terutama  penghasilan  yang  rendah,  tumbuh  dalam  keluarga  yang  penuh  kekerasan,  penyalahgunaan  alkohol  dan  obat-obatan,  pengangguran,  problema  seksual,  pertengkaran  tentang  anak,  istri  ingin  sekolah  lagi  atau  bekerja,  kehamilan  serta  adanya  gangguan  kepribadian  yang  bersifat  antisosial. 2. Bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Manado, pada banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berbentuk kekerasan fisik dan hanya berupa jenis tindak pidana penganiayaan yang ringan maka kebijakan yang diambil oleh Pihak Kepolisian adalah kebijakan non penal yaitu metode mediasi, namun untuk bentuk kekerasan fisik yang sudah berupa tindak pidana penganiayaan berat bahkan sampai menimbulkan kematian, maka kebijakan penal yang dipakai. Pelaku diadili dalam sidang pengadilan. Disamping itu pula Pemerintah Kota Manado bekerja sama dengan Pihak Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Utara Resor Kota Manado mengadakan sosialisasi dan penyuluhan hukum tentang Perlindungan Perempuan dan Anak untuk mengeliminir terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kata kunci: Kejahatan, kekerasan, rumah tangga.
PENGARUH MEDIA ELEKTRONIK TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Tambuwun, Billy Brian
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan pidanab bagi pelaku kejahatan media elektronik terhadap anak sebagai korban menurut hukum positif Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana akibat dari pengaruh media elektronik.Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Undang – Undang nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi menjerat bagi setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi (kecuali untuk kepentingan pribadi). Ketentuan tentang larangan kepemilikan produk pornografi dinyatakan dalam pasal 6 bahwa Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali diberi kewenangan oleh perUndang - Undangan. UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 57 jo. 36 (5) mengancam pidana terhadap SIARAN yang (a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, (b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau (c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. 2. Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, maka menurut Undang - Undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 32 UU No. 11 tahun 2012, bahwa: Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana, Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan, diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Kata kunci:  Media elektronik, tindak pidana, anak.
PROSES PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT KUHAP Achmad, Rajiv Budianto
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan prapenuntutan dalam penanganan perkara  tindak pidana korupsi menurut KUHAP dan apa hambatan dan penyelesaian prapenuntutan dalam penanganan perkara  pidana. Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan, pembuatan surat dakwaan ini termasuk pula rangkaian tindakan prapenuntutan. 2. Hambatan dalam prapenuntutan adalah tidak adanya kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan pendahuluan, tidak tegasnya batas waktu penyidikan dalam KUHAP, tidak ada sanksi apabila penyidik tidak mengembalikan berkas perkara apabila lewat 14 hari, kualitas penyidik dan penuntut umum masih kurang, sedangkan penyelesaian dalam penanganan perkara pidana yaitu dengan mengadakan kinerja penyidik dan Penuntut Umum. Kata kunci: Prapenuntutan, korupsi.
KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA Samahati, Charles Hani
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan terhadap tersangka dan apa kewajiban penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Proses pemeriksaan terhadap tersangka didahulukan dengan tahap penyelidikan, di mana penyelidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka untuk memperoleh keterangan-keterangan tentang: Tindak pidana apa saja yang dilakukan, kapan tindakan itu dilakukan, dimana tindakan itu dilakukan, dengan apa tindakan itu dilakukan, bagaimana tindakan itu dilakukan, mengapa tindakan itu dilakukan, siapa pelaku tindakan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan tahap penyidikan, penyidik harus mencatat semua keterangan dari tersangka dan membuat berita acara. Semua proses pemeriksaan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 2. Berbicara tentang pengaturan KUHAP terhadap pemeriksaan tersangka sudah diatur dalam Bab VI dan Bab XIV, dalam bab-bab ini diatur mengenai hak-hak tersangka, yang juga merupakan kewajiban penyidik. Kewajiban- kewajiban penyidik dalam pemeriksaan tersangka, yaitu: Kewajiban penyidik mendahului pemeriksaan terhadap tersangka. Kewajiban penyidik pada saat pemeriksaan terhadap tersangka. Akan tetapi dalam KUHAP tidak diatur tentang sanksi atau akibat hukum terhadap penyidik jika terjadi pelanggaran kewajiban oleh penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka. Kata kunci: Kewajiban penyidik, pemeriksaan tersangka.
KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP KETERLIBATAN SESEORANG DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Saroinsong, Yeremia F. C.
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana tinjauan undang-undang TPPU terkait kebijakan kriminalisasi terhadap seseorang yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang dan bagaimana luasnya kriminalisasi terhadap keterlibatan seseorang dalam tindak pidana pencucian uang. Dengan menggunakan metode penelitiahn yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Berdasarkan tinjauan Undang-Undang pemberantasan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang terhadap Setiap kebijakankriminalisasi yang dikeluarkan oleh badan-badan peradilan kepada orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, baik itu pelaku aktif ataupun  pelaku pasif  mempunyai dasar hukum yang kuat karena mengenai  pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidak hanya di atur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, namun juga diatur didalam berbagai produk perundang-undangan lainya sehingga badan-badan peradilan lebih leluasa dalam menetapkan landasan atau dasar hukum dari setiap kebijakan yang dikeluarkan untuk memberantas tindak pidana pencucian uang. 2. Kebijakan badan peradilan dalam melakukan kriminalisasi terhadap keterlibatan seseorang dalam tindak pidana pencucian uang dapat ditunjang  dari berbagai aspek yang sangat luas baik itu dari aspek teoripemidanaan, aspek berbagai  penyidik yang sah, dan aspek jalanya proses peradilan mulai dari penuntutan sampai putusan hakim yang semuanya meiliki kekuatan hukum yang tetap karena telah diundang-undangkan sehingga mendukung tindakan pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kata kunci: Kriminalisasi, pencucian uang.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Supit, Juniarto Onesimus Egi
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perkosaan dan bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pekosaan menurut hukum positif di indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana perkosaan  melatarbelakangi dan berpengaruh terhadap seseorang hingga melakukan tindak kejahatan, bahkan mengulanginya sampai beberapa kali. Maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana perkosaan itu tidak terjadi begitu saja tanpa ada pemicunya. Seseorang yang melakukan tindak pidana perkosaan dapat saja mempunyai niat secara tiba-tiba. Niat yang secara tiba-tiba tersebut bisa dilihat dari faktor situasi dan kesempatan. Faktor situasi dan kesempatan tersebut meliputi keadaan sekitar yang sepi dan hanya ada korban, atau bahkan sebelumnya pelaku telah melihat gambar-gambar porno atau menonton film-film porno sehingga lebih meningkatkan gairah seksualnya. 2. Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan (perkosaan) memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana perkosaan adalah: korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan.  Korban menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukan); korban mendapat restitusi, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku; korban mendapat pembinaan dan rehabilitasi; korban mendapatkan hak miliknya kembali; korban mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut; korban mendapatkan bantuan hukum; dan korban berhak mempergunakan upaya hukum. Kata kunci: Korban, perkosaan, hukum positif.
PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN Koloay, Brayen O.
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yuridis Putusan Hakim Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel Terhadap Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan dan bagaimana Pandangan Hukum Positif IndonesiaTerhadap Putusan Nomor 04 / Pid. Prap / 2015 / PN. Jak. Sel Mengenai Penetapan TersangkaSebagai Objek Praperadilan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Pasal 77 junto 82 ayat(1)junto 95 ayat(1) dan (2) KUHAP serta Pasal 1 angka 10 KUHAP memang tidak disebutkan secara jelas mengenai penetapan tersangka sebagai objek Praperadilan akan tetapi penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan sebagaimana dalam butir 2 bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memutuskan sah atau tidaknya penghentian penyidikan. UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN maka Komjen Budi Gunawantidak masuk dalam kategori tersebut karena pada saat itu masih menduduki jabatan eselon II bukan eselon I. Alasan yuridis yang paling penting adalah Dalam UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Hakim dilarang menolak suatuperkara (rechtsweigering) yang diajukankepadanya untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan dengan dalil tidak ada undang-undang yang mengatur akan hal tersebut namun wajib menerima semua perkara yang diajukan kepadanya dan memeriksanya. 2. Penetapan tersangka, walaupun merupakan bagian dari tahap penyidikan, bukan merupakan objek dari Praperadilan. Hal tersebut didukung secara tegas dalam Pasal 77 KUHAP sebagai hukum positif Indonesia. Penetapan tersangka jelas berbeda dengan proses penangkapan. Pasal 11 Undang-UndangNomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi tidak hanya melibatkan penyelenggara negara saja, melainkan juga aparat penegak hukum. Keleluasaan Hakim perdata untuk melakukan penemuan hukum dibanding dengan Hakim pidana merupakan akibat dari sifat mengatur hukum perdata.  Hukum pidana merupakan hukum publik yang bersifat memaksa (dwingendrecht) karenamenyangkut kepentingan umum, sehingga Hakim kurang diberikan kebebasan untuk menafsirkan Undang-Undang. Kata kunci:  Penetapan tersangka, objek praperadilan.

Page 1 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue