cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen" : 21 Documents clear
HUKUMAN TAMBAHAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI Pilli, Inggrid
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang relatif lama. Salah satu cara mengembalikan korupsi Negara yang hilang tersebut adalah dengan memberi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya tulis ini yaitu bagaimana kedudukan pidana tambahan dalam perkara pidana korupsi, serta bagaimana proses pelaksanaan hukuman tambahan dalam perkara pidana korupsi. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, maka pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan prosedur indentifikasi dan inventarisasi bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum.  Dalam hal ini hukum yang dilanggar adalah tindak pidana korupsi. Hukum pidana korupsi merupakan salah satu pidana khusus. Prinsip pemberlakuannya adalah hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada pidana umum. Bentuk-bentuk pidana tambahan antara lain: perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan perusahaan. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Proses pelaksanaan putusan pengadilan secara umum diatur dalam Bab XIX KUHAP. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka terpidana diberitenggang waktu sebulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk melunasinya.  Jaksa  tidak dapat memperpanjang  batas  waktu  terpidana  untuk membayar uang penggantinya. Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut telah habis maka jaksa sebagai eksekutor Negara dapat menyita dan melelang barat benda terdakwa. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu cara untuk mengembalikan korupsi negara akibat perbuatan pidana korupsi adalah dengan pidana tambahan berupa pengembalian uang pengganti.  Jika terpidana tidak membayar uang pengganti, paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh ketetapan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutu piuang pengganti tersebut.
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Kela, Doni Albert
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana rumusan perbuatan penyalahgunaan narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dan bagaimana usaha penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Penyalagunaan narkotika telah membahayakan masa depan bangsa Indonesia karena jumlah penggunanya meningkat tajam dari hari kehari. Persoalan narkotika tidak dapat dibebankan pada BNN atau beberapa kementerian tetapi juga harus ada peran serta dari semua pihak termasuk masyarakat. 2. Penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika belum dilakukan secara maksimal.Hendaknya penegak hukumlebih tegas lagi dalam menangani suatu kasus narkotika agar  memberikan efek jerah kepada bandar narkotika beserta dengan pihak-pihak lainnya yang menyalagunakan narkotika. Kata kunci: Penyalahgunaan, narkotika
PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA Pattipeiluhu, Meldrik B.
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu aspek hukum pidana dan atau hak-hak tersangka adalah apa yang dikenal dengan Miranda Rules. Dalam praktiknya, banyak hak hukum tersangka untuk didampingi dan dibela oleh penasihat hukum dalam perkara yang dihadapinya cenderung diabaikan oleh hampir semua penyidik atau pejabat bersangkutan dalam proses peradilan. Di samping Miranda Rule sebagaimana disebut di atas, masih ada lagi hak tersangka lain yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga wajib dihormati, diperingatkan atau diberitahukan kepada tersangka sebelum dan/atau ketika dilakukan penangkapan terhadap diri tersangka. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan normatif tidak menggunakan/menguji hipotesa akan tetapi titik berat penelitian ini pada penelitian kepustakaan (Library Research), pengumpulan bahan hukum dengan mengidentifikasi hukum positif yaitu bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, teori tentang miranda rules berkaitan dengan hak tersangka. Dalam kasus Miranda, pendapat Hakim Agung Earl Warren merombak hak pidana terdakwa melalui perlindungan yang diwujudkan dalam Amandemen Kelima. Aturan Miranda menyatakan bahwa hak istimewa terhadap memberatkan diri dimulai dengan interogasi tahanan. Terhadap peringatan yang telah diberikan, terdakwa dapat secara tegas melepaskan hak-haknya. Ketika terdakwa meminta kehadiran seorang pengacara, maka pertanyaan harus berhenti sampai seseorang dihadirkan atau sampai terdakwa sendiri memulai percakapan tersebut. Kedua, aturan Miranda Rule Atas Hak Tersangka Dalam KUHAP Indonesia. KUHAP secara eksplisit telah mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakuan kasar terhadap tersangka atau terdakwa, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 52 KUHAP dan penjelasannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 dan 114 KUHAP, sebelum penyidik mulai melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka wajib diberitahukan hak-haknya, bahwa yang bersangkutan berhak mendapatkan bantuan hukum dan didampingi oleh penasihat hukum dalam pemeriksaannya. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip-prinsip miranda rule dikembangkan melalui praktek putusan-putusan peradilan di Amerika Serikat, yang kemudian menjadi hak-hak konstitusional setiap warga negara. Prinsip miranda rule berlaku dalam hukum acara pidana di di Indonesia khususnya dalam KUHAP baru dua buah prinsip yang telah diakomodasi, yaitu yang pertama, prinsip bahwa seorang tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum (vide: Pasal 54, 55, dan 114 KUHAP), dan yang kedua, prinsip jika tersangka tersebut tidak mampu maka penyidik wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka (vide: Pasal 56 ayat 1 KUHAP). Kata Kunci : Miranda Rule, Tersangka
MENGHALANGI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UNTUK KEPENTINGAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 221 AYAT (1) KUHPIDANA Tulandi, Rendy A. Ch.
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Penyebab Terjadinya Suatu Kejahatanyang ditutupi untuk mempersulit proses penyidikan dan penuntutan dan bagaimana akibat hukum terhadap orang-orang yang menghalangi proses penyidikan dan penuntutan.  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Orang yang disembunyikan itu adalah seseorang yang melakukan kejahatan atau dituntut karena kejahatan, maka pasal ini tidak dapat diterapkan terhadapnya. Memberikan pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. 2. Pasal 221 ayat (2) KUHPidana merupakan suatu alasan penghapus pidana yang bersifat sebagai alasan penghapus pidana khusus, artinya hanya berlaku untuk tindak pidana yang tertentu saja, dalam hal ini tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHPidana dalam unsur ini disebutkan tentang memberikan pertolongan untuk menghindarkan diri dari penyidikan atau penahanan dengan maksud menutupi, menghalangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan suatu kejahatan, telah menghancurkan, menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti atau menariknya dari pemeriksaan Jaksa,Polisi atau pejabat pemeriksa lainnya. Kata kunci: Menghalangi penyidikan, penuntutan, kepentingan orang lain
PERANAN ADVOKAT MELAKSANAKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP KLIEN DALAM PERKARA PIDANA Siburian, Soar H.
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tetapi manusiawi berdasarkan asas keadilan dan kebenaran. Pelayanan dan bantuan hukum terus ditingkatkan agar masyarakat pencari keadilan memperoleh perlindungan hukum secara lancar dan cepat. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam karya tulis ini yaitu bagaimana syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum?, bagaimana Peranan Advokat Melaksanakan Bantuan Hukum Terhadap Klien Dalam Perkara Pidana?. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Sebagai sumber data adalah data sekunder, yakni: sumber dari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, majalah dan lain-lain yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemberlakuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan landasan yang kuat dan kokoh dalam pelaksanaan tugas pengabdian advokad dalam kehidupan masyarakat. Dalam undang-undang ini diatur secara lebih komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi advokat. Diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi proses penegakan hukum. Seseorang yang menghadapi masalah hukum, meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi, berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat dan tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum. Peranan Advokat sebagai penegakan hukum, yaitu sebagai pengawas penegakan hukum, sebagai penjaga Kekuasaan Kehakiman dan sebagai pekerja sosial.
PENERAPAN SANKSI HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 Onibala, Adi Teguh
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dan bagaimana penerapan pemidanaan terhadap korporasi pada tindak pidana pencucian uang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Disamping subyek hukum manusia yang telah dikenal secara umum dalam tindak pidana juga Korporasi dikonstruksikan sebagai subyek hukum dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah dirumuskan dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang belaku saat ini. 2. Penerapan penjatuhan sanksi pidana kepada Korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uangterdiri dari Pidana pokok sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) berbunyi, “Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)”danPidana tambahan yang dapat dikenakan kepada Korporasi dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan. Kata kunci: Penerapan sanksi, kejahatan korporasi.
PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM SIDANG PENGADILAN TERHADAP PERKARA PIDANA Rosang, Mardika Angga
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan terhadap pencabutan keterangan terdakwa di sidangpengadilan dan bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadapkekuatannya sebagai alat bukti.  Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan, bahwa: 1.Bahwa pada prinsipnya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan bolehdilakukan oleh terdakwa, dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaanpersidangan pengadilan berlangsung dan harus disertai dengan alasan yang mendasardan logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasanyang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dandiperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasanpencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim. 2. Implikasi dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap kekuatanalat bukti keterangan tersangka adalah: a.  Apabila pencabutan diterima oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai  alat bukti  dan keterangan terdakwa di tingkat penyidikan tidak digunakan sama sekali untuk menemukanbukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar. b.  Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwadalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justruketerangan terdakwa, di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapatdigunakan dalam pembuktian. Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa, sidang pengadilan.
TINDAK PIDANA PEMERASAN DAN/ATAU PENGANCAMAN MELALUI SARANA INTERNET MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 Talinusa, Sylverio Chris
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan denga tujuan untuk mengetahui bagaimana perumusan kejahatan cyber dalam Undang-undang No. 11 tahun 2008 dan bagaimana pengaturan delik pemerasan dan/atau pengancaman dalam Undang-undang No. 11 tahun 2008. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perumusan tindak pidana siber dilakukan dengan mengatur terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dilarang, sedangkan perumusan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan tersebut diatur dalam Pasal selanjutnya. Perbuatan-perbuatan yang dilarang berkaitan dengan tindak pidana dalam KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 27 hanya mencakup perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik. 2. Penetapan sanksi pidana terhadap pelanggaran tindak pemerasan dan/atau pengancaman disamaratakan dengan tindak pidana yang berbeda yaitu tindak pidana kesusilaan, perjudian, dan penghinaan (pencemaran nama baik). Kata kunci: Pemerasan, pengancaman, internet.
ALAT BUKTI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN Malota, Dwi Dharma Putra
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pihak penyidik dalam pencarian alat bukti tindak pidana keimigrasian dan bagaimana alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana keimigrasian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Cara memperoleh keterangan dan alat bukti mengenai terjadinya tindak pidana keimigrasian dilakukan melalui proses penyidikansebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diberi wewenang sebagai penyidik tindak pidana Keimigrasianberkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Setelah selesai melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum dan tahapan pelaksanaan dalam rangka memperoleh keterangan dan alat bukti dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.PPNS Keimigrasian dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Keimigrasian dengan lembaga penegak hukum dalam negeri dan negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. 2. Alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana keimigrasian sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, berupa: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu serta keterangan tertulis dari Pejabat Imigrasi yang berwenang. Kata kunci: Alat bukti, tindak pidana, keimigrasian
PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT PASAL 49 KUHP Tabaluyan, Roy Roland
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.  Alasan pembenar merupakan pembelaan hak terhadap ketidakadilan, sehingga seseorang yang melakukan perbuatan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana oleh undang-undang dimaafkan karena pembelaan terpaksa. Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang melatarbelakangi permasalahan dalam penulisan ini ialah apa saja yang menjadi alasan penghapus pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta bagaimana sifat pembelaan terpidana yang menjadi alasan penghapus pidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menginventarisasi dan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan yang meniadakan pidana, yaitu sesuatu hal yang menyebabkan ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana tidak dapat diberlakukan terhadap seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran tindak pidana.  Alasan penghapus kesalahan karena terdapat alasan pembenar maupun pemaaf, artinya tidak ada pikiran tentang sifatnya perbuatan maupun orangnya yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa  berdasarkan  kemanfaatan  (utilitas) kepada masyarakat,  sehingga  diambil  kebijakan   untuk  tidak  diadakan penuntutan. Pengaturan Pembelaan Terpaksa Menurut Pasal 49 KUHPidana ayat 1 dan 2 menyebutkan: Barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari kepada seorang yang melawan hak dan merancang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh di hukum. Melaporkan batas pertolongan yang sangat perlu jika perbuatan itu dengan sekelompok dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. Noodweer digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi bukan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu. Dari hasil dapat disimpulkan bahwa alasan yang meniadakan pidana, yaitu sesuatu hal yang menyebabkan ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana tidak dapat diberlakukan terhadap seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran tindak pidana.  Alasan penghapus pidana terdiri dari Alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapus kesalahan. Noodweer masih tetap dipertahankan hingga sekarang sebagai salah satu alasan peniadaan pidana, sebagaimana dijabarkan di dalam pasal 49 ayat (1), KUHP. Noodweer digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi bukan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu. Pandangan ini telah diakui oleh hukum pidana bahwa seseorang itu memang dianggap berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk pembelaan terpaksa.

Page 1 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue