cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen" : 21 Documents clear
KEADAAN TERPAKSA SEBAGAI BAGIAN DARI DAYA PAKSA PASAL 48 KUHP (KAJIAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG NOMOR 13 PK/PID.SUS/2014) Ratu, Desy Rebecca
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan keadaan terpaksa (noodtoestand) sebagai bagian dari daya paksa (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP dan bagaimana penerapan syarat untuk adanya keadaan terpaksa menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Pid.Sus/2014.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan keadaan terpaksa (noodtoestand) sebagai bagian dari daya paksa (overmacht) baru terjadi setelah adanya putusan-putusan pengadilan yang menerima keadaan terpaksa sebagai bagian daya paksa, sekalipun ada perbedaan yang cukup jelas antara daya paksa absolut dan relative di satu pihak dengan keadaan terpaksa di lain pihak, yaitu dalam daya paksa absolut dan relative, paksaan itu berasal dari manusia sedangkan dalam keadaan terpaksa paksaan itu berasal dari bukan manusia, seperti bencana dan serangan hewan. 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/Pid.Sus/2014, tanggal 8/4/2014, telah menolak alasan daya paksa/keadaan terpaksa dari Terdakwa sebagai seorang isteri yang menjalankan perusahaan setelah suaminya lumpuh yang mengemukakan bahwa diterimanya dorongan untuk menjalankan perusahaan merupakan perbuatan terpaksa semata-mata untuk menghindari perusahaan ditutup (pailit) yang akan mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal.  Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa dorongan untuk menjalankan perusahaan guna menghindari perusahaan ditutup yang akan mengakibatkan PHK secara massal, bukan merupakan suatu daya paksa/keadaan terpaksa.Kata kunci: Keadaan terpaksa, bagian dari daya paksa.
JUAL BELI ATAS SATUAN RUMAH SUSUN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN Gosal, Tyzha I.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitianini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana jual beli atas Satuan Rumah Susun (SARUSUN) menurut-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan bagaimana hak kepemilikan atas Satuan Ruman Susun (SARUSUN) setelah terjadinya jual-beli.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan : 1. Jual beli atas Satuan Rumah Susun (SARUSUN) menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yang dilakukan baik sebelum atau sesudah pembangunan rumah susun selesai, memerlukan bukti adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Akta Jual Beli (AJB), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Sertifikat Laik Fungsi, Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (SKBG), untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak pelaku pembangunan sebagai penjual dan pembeli mengenai hak dan kewajiban para pihak. 2. Hak kepemilikan atas Satuan Ruman Susun (SARUSUN) setelah terjadinya jual-beli, merupakan hak yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dihitung berdasarkan atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun diterbitkan SHM dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (SKBG).Kata kunci: Jual Beli, Satuan Rumah Susun.
HAK DEBITUR ATAS OBJEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI HAK KEBENDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Octavianus, Aldo
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitianini adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi hak debitur terhadap objek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan apa saja yang menjadi objek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hak debitur terhadap objek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yaitu: 1) Debitur berhak menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Debitur diberi hak untuk mempergunakan objek jaminan fidusia tersebut, dengan syarat bahwa pemberi fidusia tidak menjual ataupun mengalihkan objek jaminan fidusia.tersebut kepada pihak lain. 2) Debitur berhak untuk mendapatkan pinjaman uang  yang jumlahnya sesuai yang tertera di dalam surat perjanjian yang dibuat oleh pihak pemberi fidusia dengan pihak bank atau pihak lainnya. 3) Debitur berhak memperdagangkan objek jaminan fidusia yang berupa barang dagangan (inventory). 2. Objek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yaitu:  1). Benda bergerak yang berwujud, 2) Benda bergerak yang tidak berwujud, 3) Benda bergerak yang terdaftar. 4) Benda bergerak yang tidak terdaftar. 5) Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, seperti hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah orang lain. 6) Benda yang tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hipotek. 7) Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan.Kata kunci: Hak debitur, objek jaminan fidusia, hak kebendaan
KEDUDUKAN KEAHLIAN KHUSUS DALAM PEMERIKSAAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA MENURUT PASAL 65 KUHAP Tingon, Maria Y.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan saksi dalam perkara pidana dan bagaimana kedudukan seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam pemeriksaan tersangka atau terdakwa dalam tindak pidana menurut Pasal 65 KUHAP.  Dengan menggunakan metode penelitianyuridis normatif, disimpulkan:1. Hak-hak saksi sudah diatur dalam begitu banyak pasal dan tersebar dalam KUHAP. Kedudukan saksi  dalam perkara pidana merupakan sarana pembuktian yang ampuh untuk mengungkap dan membongkar kejahatan. Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, bahkan dalam praktek, kedudukan saksi sangatlah penting, sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan ‘keterangan saksi’ yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapatlah dipastikan suatu kasus akan menjadi peristiwa yang kabur, karena dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah pernyataan atau keterangan  yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. 2.  Kedudukan orang yang mempunyai keahlian khusus dalam pemeriksaan tersangka atau terdakwa dalam  tindak pidana menurut Pasal 65 KUHAP adalah sebagai saksi yang meringankan (saksi a de charge). Keterangan yang diberikan saksi a de charge ini dalam hubungannya dengan Pasal 65 KUHAP, dimana orang yang memiliki keahlian khusus ini merupakan hak dari tersangka/terdakwa untuk dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya sehubungan dengan kasus yang dihadapi oleh tersangka/terdakwa, memiliki kekuatan pembuktian dan sebagai alat bukti yang sah untuk dapat meringankan dakwaan maupun tuntutan jaksa penuntut umum.Kata kunci: Kedudukan, keahlian khusus, pemeriksaan tersangka atau terdakwa, tindak pidana
PENCURIAN TERNAK (PASAL 363 AYAT (1) KE-1 KUHP) SEBAGAI PEMBERATAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN Berhimpong, Brylian M. T.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan macam-macam tindak pidana pencurian dalam Buku II Bab XXII KUHPidana dan bagaimana cakupan pencurian ternak sebagai bentuk pemberatan pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 1 KUHPidana.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan macam-macam tindak pidana pencurian dalam Buku II Bab XXII KUHPidana mencakup: a. pencurian dalam bentuk pokok/pencurian bisaa (Pasal 362), b. pencurian yang dikualifikasi/diperberat (Pasal 363), c. pencurian ringan (Pasal 364), d. pencurian dengan kekerasan (Pasal 365), dan e. pencurian dalam keluarga (Pasal 367). 2.Pencurian ternak dalam Pasal 363 ayat (1) k 1 KUHPidana dihubungkan dengan Pasal 101 KUHPidana, meliputi: a. binatang/hewan berkuku satu, seperti kuda, sapi, dan kerbau; b. binatang/hewan memamah biak, seperti sapi, kerbau, kambing, domba; dan c. babi. Hewan-hewan seperti anjing, ayam, bebek, angsa, tidak termasuk karena hewan-hewan ini tidak berkuku satu dan tidak memamah biak.Kata kunci: Pencurian Ternak, Pemberatan, Tindak Pidana Pencurian
HAK-HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT JAMINAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA Mopeng, Andhika
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hak-hak kebendaan ditinjau dari aspek hukum perdata dan bagaimana hak kebendaan yang bersifat jaminan dalam lingkup pembedaan hak kebendaan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan :  1. Hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Hak kebendaan dapat dibedakan antara hak kebendaan yang memberikan kenikmatan baik atas bendanya sendiri maupun benda milik orang lain, misalnya hak eigendom/hak milik, bezit dan hak kebendaan yang bersifat jaminan, misalnya gadai, hipotik dan fidusia. 2. Hak kebendaan yang bersifat jaminan dalam lingkup pembedaan hak kebendaan, yaitu hak gadai yang merupakan suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Sedangkan hipotik merupakan hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak  untuk mengambil penggantian daripada bagi pelunasan suatu perikatan.Kata kunci: Hak-hak Kebendaan,  Jaminan, Aspek Hukum Perdata
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMUDI DI BAWAH UMUR YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA Rugian, Ester Y.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana Anak yang mengemudikan kendaraan bermotor yang berakibat orang lain meninggal dunia dan bagaimana penerapan hukum terhadap Anak yang mengemudikan kendaraan bermotor yang berakibat orang lain meninggal dunia.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Anak, yaitu seorang anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, sebagai yang mengemudikan kendaraan bermotor yang berakibat orang lain meninggal dunia memiliki tanggungjawab pidana, tetapi dengan perlakuan khusus, yaitu: 1) dalam tahap penyidikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan dalam persidangan, wajib diusahakan diversi untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana; dan 2) jika diversi tidak berhasil dan di sidang pengadilan dinyatakan bersalah oleh hakim, maka sanksi yang dapat dikenakan pada Anak berupa: a) pidana (Pasal 71-81), yang hanya dapat dikenakan jika Anak telah berumur 14 tahun; atau b) tindakan (Pasal 82-83 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012). Ketentuan lebih lanjut tentang bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan yang oleh Undang-Undang diperintahkan diatur dalam Peraturan Pemerintah, sampai sekarang belum diterbitkan. 2. Penerapan hukum terhadap Anak yang mengemudikan kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang berakibat orang lain meninggal dunia, praktiknya menunjukkan bahwa jika tidak tercapai diversi, maka hakim berwenang untuk memilih antara menjatuhkan pidana atau menjatuhkan tindakan.Kata kunci: Pertanggungjawaban, Pidana, Pengemudi, di Bawah Umur, Orang Lain Meninggal Dunia
IMPLEMENTASI TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERCEPATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Budiman, Oniver Max
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kebijakan yang dianggap tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang dan bagaimana strategi pemberantasan korupsi pasca keluarnya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 memberikan ketentuan subjek dan objek tindak pidana korupsi. Undang-Undang ini juga merumuskan definisi korupsi secara gamblang yang telah dijelaskan dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dirumuskan dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis delik tindak pidana korupsi, yang dikelompokkan dalam 7 (tujuh) kelompok. Ketujuh kelompok tindak pidana korupsi tersebut ialah: 1. Kerugian keuangan negara, 2. Suap menyuap, 3. Penggelapan dalam jabatan, 4. Pemerasan, 5. Perbuatan curang, 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan, 7. Gratifikasi. Selain 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi, UU PTPK juga memuat 6 (enam) tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sedangkan keenam tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi ialah: 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan tidak benar; 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu; 5. Orang yang memegang rahasia jabatan, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu; 6. Saksi yang membuka identitas pelapor. 2. Instruksi yang termuat dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2004 terdapat 12 (dua belas) butir tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
PENEGAKAN HUKUM HAK PATEN MENURUT TRIPS AGREEMENT DAN PELAKSANAANYA DI INDONESIA Wowiling, Rignaldo Ricky
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannyapenelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peraturan perlindungan hukum hak paten menurut Trips Agreement dan bagaimana Pelaksanaan Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak paten di Indonesia.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Perlindungan hukum hak paten merupakan ratifikasi dari TRIPs Agreement. Indonesia telah meratifikasi WTO melalui Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1994 sebagai konsekuensi ratifikasi TRIPs maka Indonesia juga harus membuat aturan mengenai HaKI yang mengacu dari TRIPs Agreement. 2. Dalam Penegakan hukum Hak Paten terdapat pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang menggantikan Undang – Undang Paten lama yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2001. Hanya saja, masih terdapat hambatan didalamnya baik itu bersifat Yuridis maupun yang bersifat Non-Yuridis.Kata kunci: Penegakan hukum, hak paten,
KAJIAN HUKUM TENAGA HARIAN LEPAS PADA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI LINGKUNGAN KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE Sainkadir, Dewi
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Kontrak Kerja Tenaga Harian Lepas (THL) pada Organisasi Perangkat Daerah di Lingkungan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan bagaimana dasar pertimbangan yang mengakibatkan pemberian upah Tenaga Harian Lepas (THL) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe sangat jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP) beserta dengan rekomendasi Solusinya.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan  Tenaga Harian Lepas dalam Regulasi di Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja sebagai mana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan tidak juga dapat dikategorikan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 2. Tenaga Harian Lepas yang bekerja pada Organisasi Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak mempunyai Dokumen Kontrak Kerja atau Perjanjian Kerja dengan OPD yang mempekerjakannya. Tenaga harian lepas mulai diakui dilingkungan pemerintah sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu dengan sebutan Pegawai Tidak Tetap (PTT). Akan tetapi pengaturan lebih lanjut mengenai hak-hak terhadap PTT tidak ada. Pemerintah sibuk mengeluarkan aturan tentang Pegawai Negeri tetapi mengesampingkan keberadaan PTT yang faktanya beberapa pemerintahan masih memiliki PTT.Kata kunci: Kajian Hukum, Tenaga Harian Lepas,  Organisasi Perangkat Daerah

Page 1 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2017 2017


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue