LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen"
:
20 Documents
clear
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH PENYIMPAN DANA BERDASARKAN ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA
Kolonio, Nicky Valentino
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana dan bagaimana Implementasi Program Perlindungan Nasabah dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Dengan menggunakanmetode penelitianyuridis normatif, disimpulkan:1. Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam pemberian perlidungan hukum bagi nasabah penyimpan dana dilakukan dalam dua bentuk yaitu perlindungan secara tidak langsung dan langsung. Perlindungan tidak lansung bagi nasabah penyimpan yang dilakukan oleh bank berupa prinsip kehati-hatian, batas maksimum pemberian kredit, kewajiban mengugumkan neraca dan perhitungan laba rugi, serta merger konsolidasi dan akuisisi bank. Sedangan perlindungan nagi nasabah penyimpan dana secara langsung yaitu pemberian hak preferen nasabah penyimpan dana berupa prioritas terhadap nasabah penyimpan dana dan penjaminan perlindungan dana smpanan dalam lembaga asuransi deposito jika terjadi pemberhentian usaha sebuah bank. 2. Pilar ke- 6 (enam) Arsitektur Perbankan Indonesia bertujuan untuk meningkatkan dan memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi nasabah. Implementasi program pilar ke enam (6) Arsitektur Perbankan Indonesia berupa : Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Tranparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008, dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008.Kata kunci: Perlindungan hukum, Nasabah, penyimpan dana, arsitektur perbankan.
KEWENANGAN LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENGAWASI PASAR MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
Mamuaja, Novia Indriani
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana jenis-jenis efek yang diperdagangkan dalam pasar modal di Indonesia dan bagaimana wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi pasar modal di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Jenis-jenis efek yang diperdagangkan dalam pasar modal di Indonesia dikategorikan dalam dua jenis yaitu efek ekuitas atau penyertaan modal dan efek hutang. Efek yang bersifat ekuitas atau penyertaan modal berupa saham yang berarti bahwa dengan membeli efek tersebut maka pembeli berkedudukan sebagai pemodal atau investor yang menanamkan modalnya kedalam perusahaan emiten yang menerbitkan efek. Sedangkan efek hutang berupa obligasi pada dasarnya adalah hutang yang dimiliki oleh emiten kepada pemodal (investor). 2. Wewenang OJK dalam pengawasan pasar modal di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 sangat luas yakni mulai dari menetapkan kebijakan operasional pengawasan, memberikan perintah tertulis, memberikan peringatan, menetapkan sanksi administrasi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran, memberikan dan mencabut izin usaha, melakukan penyidikan serta melakukan pembelaan hukum kepada konsumen pasar modal berupa pengajuan gugatan dipengadilan terhadap pihak-pihak yang menyebabkan kerugian konsumen pasar modal.Kata kunci: Kewenangan, lembaga otoritas jasa keuangan, mengawasi, pasar modal
TANGGUNGJAWAB PIDANA KORPORASI TERHADAP PERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT INDUSTRI MENURUT UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2009
Kader, Marlinda
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 dan bagaimana pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi akibat pelanggaran hukum lingkungan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan : 1. Dinamika pertumbuhan perekonomian di Indonesia harus diiringi dengan pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable development), hal ini disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam mengalami tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya pencemaran sebagai suatu tindakan melawan hukumsebagaimana telah digariskan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Unsur kesalahan merupakan jantung dari pertanggungjawaban pidana. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan. Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan korporasi berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas.Kata kunci: Tanggungjawab Pidana, Korporasi, Perusakan lingkungan, Industri
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA IJIN TRAYEK ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2011 DI KABUPATEN MINAHASA UTARA
Abraham, Marsella Priscilia
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum terhadap pengguna ijin trayek berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang retribusi daerah dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna ijin trayek berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 2015 jo. Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Dengan menggunakan metode penelitianyuridis normatif, disimpulkan: 1. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015, Jo. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang klasifikasi urusan pemerintahan. Berdasarkan penjelasan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar pasal 12 ayat (2) angka I adalah tentang “perhubunganâ€, Pemerintah Daerah berhak untuk mengurus permasalahan yang terjadi sekarang di Kabupaten Minahasa Utara, yaitu terkait dengan pembekuan dan pencabutan izin trayek berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Dalam Trayek. 2. Kurang perhatiannya Pemerintah terhadap keluhan-keluhan atau masalah yang dihadapi oleh Masyarakat khususnya terhadap pengguna izin trayek yang izinnya dibekukan atau dicabut. Dimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 tahun 2013, tentang Perusahaan angkutan umum yang menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek wajib memenuhi Standar Pelayanan adalah “Paling Tinggi Umur Kendaraan 15 (Lima Belas) Tahun Atau Ditetapkan Pemberi Izin Sesuai Dengan Kondisi Daerahâ€.Kata kunci: Perlindungan Hukum, Pengguna,  Ijin Trayek, Angkutan Umum.
TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (ONLINE) MENURUT UU NO. 11 TAHUN 2008 JO. UU NO. 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Oentoro, Filia
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi aspek hukum pidana penipuan jual beli melalui media elektronik dan bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap tindak pidana penipuan akibat transaksi jual beli secara online. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Salah satu bentuk kejahatan dalam transaksi elektronik adalah kejahatan penipuan akibat transaksi jual beli barang melalui online (internet). Tindak pidana penipuan menurut UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan, bahwa: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. 2. Dalam pendekatan perlindungan hukum dalam transaksi jual beli secara online dengan pendekatan undang-undang perlindungan konsumen, disebutkan: perlindungan hak kenyamanan, perlindungan hak untuk memilih barang, perlindungan hak atas informasi yang benar, jelas, jujur kondisi barang atau jasa. Perlindungan atas hak untuk mendapatkan ganti rugi/pengertian apabila yang diperjanjikan tidak sesuai dengan kontrak perjanjian. Kontrak elektronik menurut Pasal 48 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila: Ada kata sepakat para pihak, adanya subyek hukum yang cakap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat hal tertentu, obyek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.Kata kunci: Tindak pidana, penipuan, jual beli, media elektronik
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PENGADAAN BARANG DAN JASA SEKTOR KONSTRUKSI
Kawinda, Joshua Gilberth
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban korporasi pada tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah di bidang konstruksi dan bagaimana kebijkan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bentuk pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa sektor konstruksi dapat diwujudkan dengan menggunakan teori pemidanaan korporasi. Yang penting dalam menjerat korporasi adalah selalu memperhatikan asas geen straf zonder schuld (actus non facit reum nisi sir rea) dan dengan tetap berpedoman kepada undang-undang dan peraturan yang sudah ada. 2. Kebijakan hukum pidana di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, dimulai dari hukum pidana materil yang berlaku, yaitu kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) awalnya merupakan ketentuan warisan zaman kolonial Belanda, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 yang disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 (Prp.) Tahun 1960 tentang Pengutusan, Penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, selanjutnya disempurnakan kembali dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi, diikuti pula dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kata kunci: Pertanggungjawaban Korporasi, tindak pidana, korupsi, pengadaan barang dan jasa, sektor konstruksi.
KEWAJIBAN NEGARA DALAM PENYEDIAAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN KEPADA MASYARAKAT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Rantung, Jefri K. R.
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan hukum mengatur mengenai fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya dan bagaimana kewajiban negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Ketentuan-ketentuan hukum mengenai fasilitas pelayanan kesehatan menurut jenis pelayanannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, telah memberikan kepastian hukum mengenai jenis pelayanan baik perseorangan; dan pelayanan kesehatan masyarakat. Fasilitas pelayanan dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta dan didasarkan pada izin yang diberikan. 2. Kewajiban negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan dan mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau Menteri. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu dan fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan sesuai dengan Peraturan Menteri.Kata kunci: Kewajiban Negara, Penyediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Masyarakat
PENGELOLAAN BENDA SITAAN MENURUT PASAL 44 KUHAP
Djapai, Maria Prisilia
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa pentingnya penyitaan benda/barang dalam hukum acara pidana dan bagaimana pengelolaan benda sitaan menurut Pasal 44 KUHAP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Fungsi RUPBASAN dalam mengelola benda sitaan yang salah satunya ialah bentuk perlindungan terhadap benda sitaan dan barang rampasan Negara karena RUP BASAN mempunyai tujuan yaitu dilaksanakan pengendalian secara administratif penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan, pengamanan, pengeluaran dan pemusnahan berdasarkan prosedur dan ketentuan peraturan perundang?undangan yang berlaku dan berorientasi pada standar pelayanan sehingga tercapainya pela-yanan prima. RUPBASAN juga memberikan rasa aman kepada tahanan/ pihak yang ber-perkara terhadap benda sitaanya serta mem-berikan jaminan penyelamatan asset Negara berupa basan yang diputus pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap di-rampas untuk Negara. Selain itu, RUPBASAN mempunyai sasaran yaitu terwujudnya keutu-han benda sitaan dan barang rampasan Negara baik kualitas maupun kuantitasnya dan terwu-judnya perlindungan hak asasi tahanan/ pihak yang berperkara serta keselamatan dan keama-nan benda-benda yang disita untuk keper-luan barang bukti pada tingkat penyidikan, pe-nuntutan, dan pemeriksaan di persidangan. Serta terwujudnya penyelamatan asset Negara terhadap benda-benda yang dinyatakan di-rampas untuk Negara berdasarkan putusan pe-ngadilan. 2. Pengelolaan dan Penyimpanan benda sitaan Negara di lingkungan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), agar terpenuhinya kenyamanan dan keamanan benda-benda yang dilakukan penyitaan oleh penyidik serta ada jaminan tanggungjawab secara yuridis dan fisik keberadaan benda-benda tersebut supaya tidak hilang maupun jatuh pada yang bukan pemilik yang sebenarnya.Kata kunci: Pengelolaan, benda sitaan
TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM MENGGUNAKAN JABATAN BERDASARKAN PASAL 415 KUHP
Massie, Mahendri
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penyebab timbulnya tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan bagaimana ketentuan yuridis tindak pidana penggelapan dalam jabatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Faktor-fakto penyebab terjadinya tindak pidana pengelapan dalam jabatan meliputi: Mentalitas seseorang, pemenuhan kebutuhan, adanya niat dan kesempatan, sifat tamak dari manusia. 2. Ketentuan juridis tindak pidana penggelapan dengan menggunakan jabatan diatur di dalam buku II KUHP Bab XXIV Pasal 374 KUHP yang mana merupakan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan yang unsur-unsur tindak pidana nya terdiri atas unsur-unsur tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP ditambah dengan unsur-unsur khusus yang memberatkan. Bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam terdapat baik dalam ketentuan pidana umum dan ketentuan perundang-undangan pidana khusus.Kata kunci: Tindak Pidana, Penggelapan, menggunakan Jabatan.
PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN
Kolondam, Jenfer L.
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan bagaimana jenis-jenis tindak pidana perdagangan yang dapat dilakukan penyidikan oleh penyidik. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dilakukan oleh penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 2. Jenis-jenis tindak pidana perdagangan yang dapat dilakukan penyidikan oleh penyidik, harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 104 sampai dengan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.Pemberlakuan sanksi pidana atas tindak pidana perdagangan terdiri dari pidana penjara dan/atau pidana denda sesuai dengan jenis tindak pidana yang dilakukan.Kata kunci: Penyidikan, Tindak Pidana, Perdagangan.