cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
KALPATARU
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 23 No. 2 (2014)" : 8 Documents clear
Preface Kalpataru Volume 23, nomor 2, tahun 2014 Redaksi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sriwijaya for Our Nation* Truman Simanjuntak
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.55

Abstract

Śrīwijaya Bagi Bangsa Kita. Kerajaan Śrīwijaya yang berpusat di Sumatera bagian selatan dan berkembang pada abad ke-7-13 M. merupakan salah satu puncak budaya Nusantara. Menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda; menjalin hubungan dagang dengan Cina, India, Arab, Persia, dan Madagaskar; membangun kawasan-kawasan strategis sebagai pangkalan armada untuk kepentingan dagang dan menjaga wilayah kedaulatan; membangun pusat pendidikan agama Budha dan bahasa Sanskerta; serta membina toleransi beragama, merupakan capaian-capaian sekaligus nilai-nilai yang menjadikannya negara maritim yang besar dan sangat berpengaruh di kawasan regional Asia Tenggara pada zamannya. Śrīwijaya bukan sekedar pengetahuan masa lampau, tetapi hendaknya bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Aktualisasi semangat, kebesaran, serta nilai-nilai sejarah dan budaya yang dimilikinya hendaknya menjiwai, menginspirasi, dan memotivasi kita dalam membangun bangsa kepulauan yang besar. Caranya mewariskan pengetahuan tentang Śrīwijaya beserta nilai-nilai yang dimilikinya melalui pendidikan formal dan informal, berbagai kegiatan pemasyarakatan, kegiatan olah raga, seni, dan budaya. Cara lain yang sangat strategis adalah membangun “Rumah Peradaban Śrīwijaya”, sebuah kompleks yang mewadahi pusat penelitian dan informasi, museum sebagai sarana edukasi dan pemasyarakatan, serta ruang publik. Abstract. Śrīvijaya Kingdom that centered in South Sumatera is one of the highest peak of culture in the Indonesian Archipelago. The kingdom evolved from 7th to 13th Century AD. Several achievements that made Śrīvijaya Kingdom become a great maritime country and very influential in South East region are as follows, commanded the trade route in Malaka Strait and Sunda Strait; had a trade relations with China, India, Arab, Persia, and Madagascar; built a strategic area as a maritime base for commercial interest and sovereignty protection; built a Buddhist and Sanskrit center; and also built tolerance to religions in society. Śrīvijaya is not just a knowledge from the past, it should bring benefits to Indonesia as a nation. The spirit of actualization, the greatness, and the culture and historical values should inspire and motivate Indonesian people to build a great archipelagic nation. The knowledge of Śrīvijaya could be inherited through formal and informal education, and social activities such as sports activities, arts activities, and cultural activities. Another strategic way is to build “Rumah Peradaban Śrīwijaya” (House of Śrīvijaya Civilization). Rumah Peradaban Śrīvijaya is a building complex that embodies a research and information center, museum as an educational and social facility, and also public space
Hunian “Pra-Sriwijaya” di Daerah Rawa Pantai Timur Sumatera. Nurhadi Rangkuti
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.56

Abstract

Keberadaan Śrīwijaya di Sumatera ditandai oleh adanya prasasti-prasasti dari abad ke- 7 M. di Palembang, Jambi dan Lampung. Sebagian besar prasasti dan situs-situs arkeologi dari masa Śrīwijaya (abad ke-7-13 M.) terdapat di daerah lahan basah sebagai bagian dari wilayah pantai timur Sumatera. Penelitian arkeologi selama dua puluh tahun terakhir di daerah tersebut berhasil menemukan situs-situs arkeologi pada masa pra-Śrīwijaya antara lain berupa situs kubur tempayan dan situs hunian. Penemuan situs-situs masa pra-Śrīwijaya itu menunjukkan bahwa sebelum Śrīwijaya berkembang di Palembang dan Jambi, daerah rawa telah dimukimi oleh komuniti-komuniti kuno. Penelitian mengkaji lebih jauh pola hidup masyarakat kuno tersebut dalam berinteraksi dengan lingkungan rawa. Penelitian dilakukan dengan pendekatan “landscape archaeology”, survei dan ekskavasi untuk pengumpulan data, serta analisis carbon dating (C-14) dan tipologi artefak untuk mengetahui pertanggalan situs. Hasil penelitian memberikan gambaran mengenai pola persebaran situs antara situs kubur tempayan dan situs hunian di daerah rawa. Abstract. “Pre- Śrīvijaya” Settlements in The Swamp Area of The East Coast of Sumatera. The presence of Śrīvijaya in Sumatera was marked by the existence of inscriptions dated from  7th Century AD in Palembang, Jambi and Lampung. Most of the inscriptions and archaeological sites from Śrīvijaya era (7th – 13th Century) were located in the wetlands as part of the east coast region of Sumatera. The last two decades of archaeological researches in the region succeeded in finding archaeological sites from pre-Śrīvijaya era, among others jar burial and settlement sites. The discovery of pre-Śrīvijaya sites indicates that before Śrīvijaya was developed in Palembang and Jambi, the marshland area had already been inhabited by ancient communities. The research carried out further studies on the pattern of living of the ancient communities in interacting with marshy environment. The research was carried out using “landscape archaeology” approach, surveys and excavations in collecting data, as well as carbon dating (C-14) analysis and artifact typology to determine the age of the sites. The results of the research provide an illustration about the distribution pattern of the sites between the jar burial sites and the settlement sites in the wetland.
Makara Pada Masa Śriwijaya Sukawati Susetyo
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.57

Abstract

Śrīwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia pada abad ke-7-12 M. Tinggalan bangunan suci dari masa Śrīwijaya tersebar di beberapa kawasan, yaitu Muara Jambi di Jambi, Muara Takus di Riau, Bumiayu di Sumatera Selatan, hingga beberapa kelompok bangunan suci Padang Lawas di Sumatera Utara. Makara merupakan salah satu unsur bangunan candi yang biasanya berpasangan dengan kala. Tujuan penulisan ini adalah ingin mengetahui ciri-ciri makara dari masa Śrīwijaya dengan cara membandingkannya dengan makara-makara dari candi masa Matarām Kuno. Dari hasil penelitian selama ini diketahui bahwa makara Śrīwijaya mempunyai ciri tersendiri, meskipun tidak menafikan adanya beberapa kesamaan dengan makara dari masa Matarām Kuno tersebut. Abstract. Makaras During the Śrīvijaya Period. Śrīvijaya was one of the big kingdoms in Indonesia in 7th - 12th Centuries CE. Remains of temples from the Śrīvijaya period are distributed in several areas, from Muara Jambi in Jambi, Muara Takus in Riau, Bumiayu in South Sumatera, up to the several temple complexes of Padang Lawas in North Sumatera. Makara is one element of the temple which is usually paired with kala. This paper will discuss Makaras from Śrīvijaya period that have specific characteristics compared to Makaras at the ancient Matarām, although there are also some similarities to those in Java.
The Structure of Stupas at Muara Jambi. Hariani Santiko
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.58

Abstract

Struktur Stūpa di Muara Jambi. Di Muara Jambi dan sekitarnya terdapat tinggalan arkeologi berupa bangunan-bangunan sakral, di antaranya Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Gedong I dan II, Candi Kedaton, dan Candi Astano yang dibuat dari bata. Tinggalan tersebut bersifat agama Buddha, karena banyak terdapat sisa-sisa bata dengan inskripsi “bija-mantra”, gambar-gambar bunga padmā, dan beberapa patung. Struktur bangunan-bangunan khususnya candi induk pada umumnya berdenah segiempat, dengan perpanjangan ke arah timur atau utara, perkecualian terdapat pada Candi Gumpung. Di atas candi induk tersebut kemungkinan diletakkan sebuah stūpa besar seperti Candi Tinggi. Struktur bangunan stūpa semacam itu dikenal sebagai “terrace-stūpa” yang pertama kali didapati di daerah Gandara pada masa pra-Kushana. Candi Gumpung berdenah hampir bujursangkar, tanpa tangga dan tanpa ruang dalam (garbhagŗha). Boechari pada tahun 1985 membaca inskripsi sebagai peripih candi dan berpendapat bahwa peripih berupa susunan dewa-dewa dalam Vajradhātu-maṇḍala, berarti Candi Gumpung bersifat agama Buddha Vajrayāna. Dengan demikian menurut penulis struktur pertama Candi Gumpung hanya berupa lapik dengan 5 buah stūpa di atasnya yang menggambarkan susunan Vajradhātu- maṇḍala. Dari berbagai data yang dilaporkan dan perbandingan dengan sisa-sisa bangunan di Muara Takus dan Biaro Bahal, penulis perkirakan bahwa tinggalan arkeologi di Muara Jambi adalah sisa-sisa bangunan stūpa, khususnya dalam bentuk “terrace-stūpa”. Abstract. In the vicinity of Muara Jambi are found a lot of archaeological remains, among others a group of brick monuments believed to date from the 9th to 13th Century AD, among others are Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Gedong I and II, Candi Kedaton, Candi Astano. These monuments are Buddhist, because the majority of the finds in this area are Buddhist statues, many bricks with “bija mantra” inscriptions and drawing such as padmā motives on them. The structures of the main temple, except Candi Gumpung, are generally square in plan with projecting portico on the east or north, and terrace platform that may well served for the enthronement of the big stūpa like the one at Candi Tinggi. The type of this stūpa structure is called the terrace- stūpa, known for the first time in the Gandhāran regions from pre-Kushana period. In Indonesia terrace-stūpas are found at Muara Takus (Candi Tua) and also candi Borobudur in Central Jawa. Candi Gumpung has different structure, a square ground plan measuring 18 x 18 metres without any trace of an inner-room (garbhagŗha). Boechari in 1985 read the inscriptions found in the deposit boxes found inside the temple floor. He recognized the plan of Vajradhātu-maṇḍala found in the base of candi Gumpung. It means that candi Gumpung is a Vajrayāna temple and it embodies the maṇḍala of the five Tathāgath as with Wairocana in the centre. So I assume that the first candi Gumpung in the 9-10th Century was a square platform with five stūpas on it to form the Vajradhātu-maṇḍala. By studying the archaeological data from Muara Jambi and comparing them with the monuments from Muara Takus and Biaro Bahal, I consider the remains of brick monuments at Muara Jambi belonged to stūpas, especially the terrace-stūpas.
Invasi Śriwijaya ke Bhumijawa: Pengaruh Agama Buddha Mahayana dan Gaya Seni Nalanda di Kompleks Percandian Batujaya* Hasan Djafar
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.60

Abstract

Paper ini membahas pengaruh invasi Śrīwijaya ke Bhūmijāwa (Tārumanāgara) pada akhir abad ke-7 M. Fokus pembahasan adalah pengaruh Agama Buddha Mahāyāna dan gaya seni Nālandā di kompleks percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Hasil penelitian di Batujaya selama periode 1985-2006 telah menghasilkan beberapa bukti baru penyebaran Agama Buddha Mahāyāna dan gaya seni Nālandā di Kompleks percandian Batujaya. Abstract. The Invasion of Śrīvijaya to Bhūmijāwa: Influence of Mahāyāna Buddhism and Nālandā Art Style in The Temple  Complex of Batujaya. This paper discusses the influence      of Śrīvijaya invasion to Bhūmijāwa (Tārumanāgara) in the late 7th Century C.E. The focus of discussion is the influence of Mahāyāna Buddhism and the art style of Nālandā in the temple complex of Batujaya, Karawang, West Java. The results of the archaeological research conducted at Batujaya site area during the period of 1985-2006 has yielded some new evidence on the spread of Mahāyāna Buddhism and the art style of Nālandā in that area.
Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatan. Sonny C. Wibisono
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.61

Abstract

Salah satu episode sejarah yang menarik untuk dicermati selama masa pertumbuhan dan perkembangan Śrīwijaya adalah berlangsungnya kegiatan niaga jarak jauh. Dalam kronik Cina cukup jelas dicatat, kerajaan yang pusatnya di Sumatera ini, telah mengirimkan lebih dari dua puluh misi perniagaan ke Cina antara abad ke-10-13 M., demikian pula sebaliknya. Kawasan perairan Laut Cina Selatan, merupakan jalur yang semakin intensif dilalui pada masa itu. Permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini tentang studi arkeologi di wilayah kepulauan khususnya di Laut Cina Selatan yang dipandang patut diteliti untuk menelusur jejak jalur perniagaan jarak jauh antara Cina dan Nusantara, terutama hubungannya dengan masa Śrīwijaya. Di samping penelitian terhadap bandar-bandar di sepanjang pantai Benua Asia Tenggara Daratan, pada kenyataan banyak kepulauan kecil yang sangat mungkin menjadi “batu loncatan” dalam perjalanan niaga yang selama ini luput dari perhatian seperti Kepuluan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Pulau ini merupakan salah satu gugusan pulau-pulau kecil yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan, menempati posisi persilangan jalur untuk memasuki perairan Malaka, Sumatera, dan Kalimantan. Dalam tulisan ini akan disajikan bukti-bukti arkeologis, dari hasil survei dan ekskavasi Natuna tahun 2012-2014, termasuk data situs dan artefaktual. Keramik sebagai indikator perniagaan dianalisis khusus (kualitatif dan kuantitatif) untuk perbandingan Abstract. The Archaeology of Natuna: A Maritime Corridor in the waters of the South China Sea. One of the interesting historical episodes to be observed during the period of growth and development of Śrīvijaya is the long distance commercial activity. Chinese chronicles quite clearly note that the kingdom’s headquarters in Sumatera has sent more than twenty commercial missions to China between 10th–13th Century, and vice versa. The waters of the South China Sea region were more and more intensively sailed at that time. The focus of attention in this paper is the study of archeology in the archipelago, especially in the South China Sea, which is worth to be studied in search of the path of long-distance commerce between China and the archipelago, especially in relationto the Śrīvijaya period. In addition to the ports along the coast of Mainland Southeast Asian continent, in fact there are many small islands that were likely to be a “stepping stone” in the course of trade which have escaped the attention, such as Paracel Islands, Spratley, Anambas, and Natuna. Natuna Islands is one of a cluster of small islands facing the South China Sea, occupying a crossing place into the waters of Malacca, Sumatera, and Borneo. In this paper will be presented archaeological evidence, the results of the survey and excavation in Natuna during 2012-2014, including data on the site and artifacts. Ceramics as an indicator of commerce is specially analyzed (both qualitatively and quantitatively) for comparison.
Appendix Kalpataru Volume 23, nomor 2, tahun 2014 Redaksi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
KALPATARU Vol. 23 No. 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Page 1 of 1 | Total Record : 8