Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum"
:
20 Documents
clear
DISHARMONI PENGATURAN IZIN GANGGUAN PASCA BERLAKUNYA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017
Wardhani, Dini Meisa
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36037
Aturan mengenai izin gangguan merupakan sarana pengendalian, perlindungan, penyederhanaan dan penjaminan kepastian hukum. Adanya izin gangguan sebagai syarat membuka tempat usaha merupakan sebuah perlindungan hukum bagi masyarakat atas berdirinya tempat usaha yang kemungkinan menimbulkan bahaya, kerugian maupun gangguan kesehatan, keselamatan, ketentraman, dan/atau kesejahteraan terhadap kepentingan umum. Ketentuan ini dihapus oleh Permendagri No.19/2017 menyebabkan terjadinya disharmoni pengaturan izin gangguan. Tujuan penelitian, menganalisis bentuk disharmoni Permendagri No. 19/2017 serta upaya mengatasi terjadinya disharmoni terhadap pengaturan izin gangguan pasca berlakunya Permendagri No.19/2017. Merupakan penelitian yuridis normatif yang lebih dikhususkan terhadap penelitian taraf sinkronisasi menggunakan pendekatan perundang-undangan, konsep dan historis. Bahan hukum primer: peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder, buku-buku dan jurnal hukum yang berkaitan dengan disharmoni pengaturan izin gangguan. Teknik analisis secara preskriptif, merumuskan dan mengajukan pedoman-pedoman dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi praktik hukum dan dogmatik hukum. Hasil penelitian menunjukan, penghapusan ketentuan mengenai izin gangguan oleh Permendagri No.19/2017 bertentangan dengan aturan yang berada diatasnya yaitu Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonanntie), Undang-Undang No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Undang-Undang No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintah sebagai payung hukum dari perizinan. Bentuk disharmoni terhadap pengaturan izin pasca berlakunya Permendagri No.19/2017 adalah inkonsistensi vertikal dari segi format peraturan yang memiliki arti peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Upaya yang dapat dilakukan adalah kembali mengacu pada asas hukum yaitu asas lex superiori derogate lege inferiori, dimana peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Selain itu, upaya lainnya uji materi oleh MA.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XIV/2016 MENGENAI UJI MATERIIL PASAL 15 AYAT (1) & AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Taris, Dinar Batang
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36038
Ketentuan pembagian pengelolaan urusan pemerintah bidang pendidikan telah dijelaskan pada Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) serta Lampiran huruf A Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan ini pembagian urusan pemerintah bidang pendidikan dalam sub manajemen pendidikan telah dialihkan menjadikan sentralistik diberikan kepada pemerintah provinsi. Namun, ketentuan tersebut menyebabkan munculnya permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan Pasal 18 UUD NRI 1945. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pertimbangan hakim dan untuk mengetahui akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIV/2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Jenis bahan hukum penelitian ini terdiri dari pendekatan hukum primer, pendekatan sekunder, dan bahan non-hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis menggunakan metode preskriptif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUXIV/2016, pendidikan menengah menjadi target tanggung jawab pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota yang mana untuk menyamakan visi dengan baik wajib belajar 12 tahun lebih dari standar nasional dan memperhatikan kekhusussan maupun keberagaman disetiap daerah di Indonesia. Dengan demikian, kewenangan pendidikan menengah dikelola Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lebih tepat. Pemerintah Kabupaten/Kota dianggap memiliki progres baik dengan ketentuan sebelumnya desentralisasi pendidikan sebelum menjadi pendidikan yang sentralistik. Ketentuan pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah merupakan kebijakan hukum terbuka namun, tidak melanggar moralitas, rasionalitas, ketidakadilan yang tidak toleran.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN NOMOR 63/PID.SUS/2017/PN BTG DIKAITKAN PASAL 197 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Aristawati, Cica Desi
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36039
Putusan nomor 63/Pid.Sus/2017/PN Btg hakim telah mempertimbangkan pasal yang didakwakan dalam dakwaan primair, akan tetapi fakta yang terbukti di persidangan ialah pasal yang didakwakan dalam dakwaan subsidair. Pasal yang dipertimbangkan kemudian menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dalam putusan dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, bahwa pasal yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum putusan harus sesuai dengan fakta yang terbukti di persidangan. Penelitian ini mengkaji syarat formil putusan terhadap urutan pembuktian pasal yang didakwakan dalam dakwaan subsidairitas karena mempertimbangkan pasal yang didakwakan dalam dakwaan primair yang tidak sesuai fakta di persidangan.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis putusan nomor 63/Pid.Sus/2017/PN Btg dikaitkan dengan persyaratan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP dan upaya hukum yang dapat ditempuh apabila mempertimbangkan pasal yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum putusan yang tidak tepat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penyusunan putusan nomor 63/Pid.Sus/2017/PN Btg dengan mempertimbangkan pasal yang didakwakan dalam dakwaan primair tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP sehingga terjadi penentuan pasal yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum putusan yang tidak tepat serta mengakibatkan putusan batal demi hukum. Upaya hukum yang dapat ditempuh atas penentuan pasal yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum putusan yang tidak tepat ialah Peninjauan Kembali.
AKIBAT HUKUM ONVOLDOENDE GEMOTIVEERD PUTUSAN PT. JAWA TIMUR NOMOR: 104/PDT/2012/PT.SBY BERKENAAN DENGAN PENCABUTAN SITA EKSEKUSI DALAM SENGKETA HAK ATAS TANAH
Hazir, Cholilla Adhaningrum
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36040
Konsekuensi terhadap pertimbangan hukum yang dibuat hakim dengan tidak melakukan penalaran hukum yang logis menjadikan putusan Nomor 104/Pdt/2012/PT.Sby. harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Perkara Nomor 104/Pdt/2012/PT.Sby. mengenai pihak ketiga yang beritikad baik dalam jual beli tidak terlindungi oleh hukum dengan adanya sita eksekusi atas SHGB Nomor 66. Pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung karena Pengadilan Tinggi salah menerapkan atau melanggar hukum acara perdata yaitu azas Audit et alteram partem (mendengar kedua belah pihak), yang membuat putusan Pengadilan Tinggi kurang pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd). Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis penalaran hukum oleh hakim PT dalam mengeluarkan putusan dan Mengidentifikasi akibat hukum putusan onvoldoende gemotiveerd bagi para pihak. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif. Analisis penelitian ini secara kualitatif dengan menggunakan metode preskriptif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan membatalkan putusan atau penetapan berdasarkan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, untuk mempertahankan secara optimal dan proposional fungsi hukum dalam masyarakat. Pertimbangan hukum yang dibuat Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, karena onvoldoende gemotiveerd. onvoldoende gemotiveerd adalah tidak seksamanya mempertimbangkan semua hal secara relevan dengan perkara bersangkutan (kurang pertimbangan hukum). Pertimbangan yang dibuat Pengadilan Tinggi belum menerapkan penalaran hukum yang logis sehingga putusan belum memberi keadilan bagi para pihak. Hal ini berakibat pada tidak terlaksanakannya Pasal 119 ayat (1) HIR tentang pihak ketiga yang beritikad baik harus mendapatkan perlindungan hukum tetapi, dengan adanya pembatalan putusan Nomor 104/Pdt/2012/PT.Sby. tidak melindungi pihak ketiga dalam mendapatkan hak kepemilikan atas SHGB Nomor 66.
EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRATIF TERHADAP KEWAJIBAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PADA FASILITAS KESEHATAN DI KABUPATEN SIDOARJO
Aziz, Azharul
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36041
Masalah lingkungan sering terjadi di Kab.Sidoarjo adalah pencemaran lingkungan oleh limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Berbagai usaha dan kegiatan menghasilkan limbah B3 dalam kegiatannya, salah satunya fasilitas kesehatan. Pengelolaan limbah B3 di Kab.Sidoarjo masih belum berjalan sesuai dalam Undang-Undang No.32/2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Hal ini dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.2480/Pid.B/2014/PN.SBY, dimana kepala instalasi penyehatan lingkungan RSUD Kab.Sidoarjo diputus bersalah karena tidak melakukan pengelolaan sebagaimana sesuai pasal 59 UUPPLH. Tujuan UUPPLH, mengatur sanksi pidana dan administratif yang bertujuan memulihkan pada keadaan semula. Dengan adanya UUPLH, diharapkan mampu mengurangi pelanggaran pengelolaan limbah B3. Tujuan penelitian, untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum, kendala dalam penegakan hukum administratif terhadap pengelolaan limbah B3 di Kab.Sidoarjo. Merupakan penelitian yuridis sosiologis melalui pengamatan terhadap perilaku manusia, wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan secara langsung serta dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan bahwa penegakan hukum administratif terkait pengelolaan limbah B3 Pasal 59 UUPPLH pada fasilitas kesehatan yang dilakukan seksi pengaduan, sengketa lingkungan dan penegakan hukum Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kab.Sidoarjo belum efektif dikarenakan terdapat pelanggaran yang tidak diproses. Terdapat tiga faktor kendala penegakan hukum administratif terhadap pengelolaan limbah B3 pada fasilitas kesehatan di Kab.Sidoarjo. Faktor pertama, faktor penegak hukum yang hanya terdapat tiga orang pejabat dengan jabatan fungsional di wilayah Jawa Timur. Faktor kedua yakni faktor fasilitas atau sarana kurangnya persediaan tempat pengelolaan limbah B3 di Kab. Sidoarjo. Serta, faktor masyarakat yang kurangnya kesadaran penghasil limbah B3 dalam melakukan pengelolaan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Analisis Disparitas Putusan Terhadap Tindak Pidana Penipuan Dengan Modus Perdukunan (Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg dan Putusan Nomor 121/Pid.B/2013/PN.Lmg)
Putra, Ardhimas Seta Kencana
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36046
Sebagian putusan Pengadilan Negeri Lamongan yang menjatuhkan pidana secara berbeda-beda padahal tindak pidananya serupa, seperti yang terjadi pada kasus Putusan No.225/Pid.B/2014/PN.Lmg. dan Putusan No.121/Pid.B/2013/PN.Lmg. ini termasuk salah satu contohnya, ada yang dijatuhi pidana 1 tahun 5 bulan penjara dan ada yang pidananya 9 bulan penjara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas atas tindak pidana penipuan dan untuk mengetahui dampak disparitas pidana yang terjadi terhadap kasus serupa. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data primer yang digunakan yaitu peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, sedangkan data sekunder yaitu sejumlah referensi yang relevan dan aktual. Metode pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan metode analisis data menggunakan metode preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, hakim tidak dapat meniadakan disparitas pidana. Latar belakang hakim membuat penerapan pidana berbeda-beda dalam kasus tindak pidana penipuan adalah karena unsur berat ringannya kesalahan dari tindak pidana penipuan yang telah dilakukan orang itu berbeda-beda. Disparitas pidana yang bersumber dari sistem hukum, dimana proses peradilan di Indonesia, hakim tidak terlepas dari sistem hukum yang ada yaitu Eropa Kontinental dan Anglo Saxon, disparitas pidana yang bersumber dari hakim, dimana dasar penjatuhan putusan hakim di Indonesia terdapat pada Pasal 197 huruf f KUHAP dari perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan penerapan pidana dan disparitas pidana yang bersumber dari terdakwa, dimana terjadinya disparitas pidana dalam penjatuhan pidana dalam tindak pidana penipuan tidak terlepas dari keadaan terdakwa yaitu keadaan yang memberatkan dan meringankan. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi terdakwa bisa menjadi pedoman hakim untuk menjatuhkan pidana yang berbeda untuk perkara yang sama.
UPAYA HUKUM TERHADAP DISPARITAS PENETAPAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DPRD DIKAITKAN DENGAN DATA JUMLAH PENDUDUK DI KOTA SURABAYA
Amaynisa, Ananda
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36047
Jumlah penduduk Kota Surabaya 2017 sebanyak 3.074.883 jiwa. Sedangkan data Kemendagri tercatat penduduk Kota Surabaya 2.827.892 orang. Data jumlah penduduk yang tercatat dalam Kemendagri digunakan KPU RI untuk memenuhi salah satu syarat dari tahapan penyelenggaraan Pemilu. Perbedaan data penduduk ini sangat berpengaruh guna menghadapi Pemilu 2019. Pengaturan mengenai Pemilu yaitu UU No.7/2017 tentang Pemilu menggunakan konsep Negara Hukum, konsep HAM, dan konsep Pemilu. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis akibat hukum dan upaya hukum terhadap disparitas penetapan jumlah kursi anggota DPRD dikaitkan dengan data jumlah penduduk di Kota Surabaya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Jenis bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan non hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis menggunakan metode preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan akibat hukum atas disparitas penetapan jumlah kursi anggota DPRD dikaitkan dengan data jumlah penduduk di Kota Surabaya tentu mengakibatkan hilangnya hak konstitusional yang dimiliki setiap calon anggota DPRD, setiap masyarakat di Negara Indonesia berhak terlibat dalam pemerintahan yang merupakan perwakilan dari Parpol dan upaya hukum terhadap disparitas penetapan jumlah kursi anggota DPRD dikaitkan dengan data jumlah penduduk dengan cara proses penyelesaian sengketa melalui upaya administratif oleh Bawaslu. Bawaslu yang menengahi atau yang melakukan mediasi serta mempertemukan peserta Pemilu dan pihak perwakilan dari KPU, jika tidak tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka sengketa proses Pemilu dilanjutkan melalui adjudikasi. Adjudikasi dalam hal ini merupakan proses persidangan dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu.
ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PUTUSAN NOMOR 46/PUU-XIV/2016 SEBAGAI NEGATIVE LEGISLATOR
Husada, Agus Satria Adi
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36048
Kewenangan Mahkamah konstitusi diperoleh langsung dari UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk melakukan judicial review pengujian materil undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 berfungsi sebagai pembatal norma (negative legislator). Melalui Putusan No. 46/PU-XIV/2016 (Uji Materi Pasal Kesusilaan dalam KUHP). Mahkamah Konstitusi menolak secara keseluruhan gugatan pemohon tentang permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menolak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PU-XIV/2016 dan menganalisis akibat hukum dari putusan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan bahan non-hukum. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi telah menjalankan kedudukannya sebagai negative legislator yang hanya sebagai penguji norma peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan suatu norma dalam undang-undang konstitusional bersyarat ataupun inkonstitusional bersyarat yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma dalam undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional, namun Mahkamah Konstitusi dituntut untuk tidak boleh masuk wilayah kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang. Putusan tersebut juga menimbulkan akibat hukum, Putusan yang dihasilkan oleh mahkamah konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinnjau kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat pihak-pihak berperkara (interpartes), tetapi juga mengikat dan/atau ditujukan bagi semua warga negara, lembaga/pejabat negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia (erga omnes).
ANALISIS YURIDIS PEMBERHENTIAN SEMENTARA KEPALA DAERAH SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA (STUDI KASUS GUBERNUR DKI JAKARTA BASUKI TJAHAJA PURNAMA)
Al Halimi, Zen Aqil
NOVUM : JURNAL HUKUM Vol. 5 No. 02 (2018): Novum : Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.2674/novum.v5i2.36050
Silang pendapat oleh para ahli hukum Indonesia terhadap pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama erkait frasa "paling singkat 5 tahun" dengan frasa "selama-lamanya 5 tahun" yang artinya masih terdapat kelemahan pada Pasal 83 ayat (1) UU Perda serta belum adanya tindakan tegas oleh Presiden Republik Indonesia yang berkewenangan penuh terhadap pemberhentian sementara kepala daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara yuridis pemberhentian sementara kepala daerah sebagai terdakwa tindak pidana oleh presiden yang menuai problematika. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis preskriptif. Berdasarkan penafsiran secara gramatikal dan sistematis bahwa Ahok harus diberhentikan sementara karena dakwaan terhadap dirinya menyangkut perbuatan yang dapat memecah NKRI. Pasal tersebut juga menyebutkan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD. Namun, pada pelaksanaannya presiden tidak memberhentikan sementara kepala daerah DKI Jakarta yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dengan nomor perkara 1537/PidB/2016/PNJktutr atas dugaan penodaan agama. Adapun mekanisme pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa dilakukan oleh presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur, serta menteri dalam negeri untuk bupati dan/atau wakil bupati serta wali kota dan/atau wakil wali kota. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran kepada presiden untuk melakukan pemberhentian sementara terhadap kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa jika perkaranya sudah terdaftar di pengadilan, serta kepada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dapat memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Perda agar tidak terjadi multitafsir.