cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025" : 7 Documents clear
EKSPERIMENTASI DALAM PROSES PENCIPTAAN KARYA TARI “TUBUH TAK BERTUAN” Dermawan, Wisnu
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15203

Abstract

RINGKASANArtikel ini membahas proses eksperimentasi dalam penciptaan karya tari "Tubuh Tak Bertuan," yang merepresentasikan perilaku adiksi internet di kalangan remaja. Dalam konteks fenomena sosial abad 21, karya tari ini disajikan sebagai bentuk tari eksperimental yang tidak terikat pada pola atau konvensi tari tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana eksperimentasi berperan dalam mengolah elemen-elemen gerak, komposisi, dan pertunjukan, serta bagaimana hal ini menciptakan karya yang unik dan relevan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Practice-Led Research (PLR), yang melibatkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Proses penciptaan karya ini terdiri dari tiga tahapan: eksplorasi, improvisasi, dan komposisi, yang diterapkan secara dinamis dan fleksibel. Eksperimentasi dalam pencarian gerak memberikan kebebasan bagi penari untuk mengekspresikan gagasan dengan cara yang autentik, sementara penggunaan kartu remi dalam pertunjukan menambah elemen interaktivitas dan kejutan. Dengan demikian, karya "Tubuh Tak Bertuan" tidak hanya berfungsi sebagai pertunjukan seni, tetapi juga sebagai refleksi kritis terhadap dampak teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang pentingnya eksperimentasi dalam seni tari sebagai sarana untuk mengeksplorasi isu-isu sosial yang relevan dan mendorong penciptaan karya yang inovatif.ABSTRACTThis article discusses the process of experimentation in the creation of the dance work "Tubuh Tak Bertuan," which represents internet addiction behavior among adolescents. In the context of a 21st-century social phenomenon, this dance work is presented as a form of experimental dance that is not bound by traditional dance patterns or conventions. The aim of this research is to explain how experimentation plays a role in processing the elements of movement, composition, and performance, and how this creates a unique and relevant work.The method used in this research is Practice-Led Research (PLR), which involves data collection techniques through observation, interviews, and literature studies. The creation process of this work consists of three stages: exploration, improvisation, and composition, which are applied dynamically and flexibly. Experimentation in the search for movement provides freedom dancers to express ideas authentically, while the use of playing cards in the performance adds elements of interactivity and surprise. Thus, the work "Tubuh Tak Bertuan" serves not only as an art performance but also as a critical reflection on the impact of technology in daily life. This article is expected to provide insights into the importance of experimentation in dance as a means to explore relevant social issues and encourage the creation of innovative works.
“ALAH TEDAK” TATO SEBAGAI SIMBOL CAHAYA BAGI PEREMPUAN DAYAK KAYAAN MENDALAM Givela, Riri Natasya Elgiva; Martono, Hendro; Dadijono, Darmawan
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15208

Abstract

RINGKASANTedak merupakan tato yang identik dengan perempuan suku Dayak Kayaan Mendalam yang menjadi identitas bagi perempuan keturunan bangsawan dan dipercaya bahwa tato akan bercahaya di alam baka untuk menerangi perjalanan roh di alam Apo Lagaan (perjalanan jiwa) menuju Telaang Julaan (surga). Penciptaan karya tari Alah Tedak sebagai upaya dalam melestarikan tradisi leluhur dan memperkenalkan budaya tato tradisional suku Dayak Kayaan Mendalam ke dalam seni pertunjukan tari. Karya tari Alah Tedak menggunakan hasil penerapan pendekatan koreografi lingkungan yang dikemukakan oleh Hendro Martono yaitu sensasi ketubuhan, sensasi emosi, sensasi imaji dan ritus ekspresi. Proses penemuan gerak karya tari Alah Tedak menggunakan metode penciptaan oleh Alma Hawkins yaitu eksplorasi, improvisasi, komposisi, dan evaluasi. Karya tari Alah Tedak menciptakan sebuah tari kontemporer dengan pengembangan motif gerak dasar suku Dayak Kayaan Mendalam yaitu Luh, Ngayang, Pivak, Seguk, Sembib, dan Soongpak. Gagasan ini ditransformasikan ke dalam koreografi kelompok berjumlah delapan penari yang di pentaskan pada Proscenium Stage. Koreografi ini diungkapkan melalui tipe tari Studi Dramatik yang terdiri dari struktur Intoduksi, Adegan 1 (Proses Menato), Adegan 2 (Perempuan Bertato), Adegan 3 (Motif Usung Tingaang), dan Adegan 4 (Cahaya Tato) dengan durasi 21 menit. Musik menggunakan komposisi musik vokal dan instrumen etnis suku Dayak Kayaan Mendalam.ABSTRACTTedak is a tattoo that is closely associated with the women of the Dayak Kayaan Mendalam tribe, serving as an identity for noblewomen. It is believed that the tattoo will emit light in the afterlife to guide the journey of the soul in the realm of Apo Lagaan (the realm of the spirits) towards Telaang Julaan (paradise). The creation of the dance piece Alah Tedak is an effort to preserve ancestral traditions and introduce the traditional tattoo culture of the Dayak Kayaan Mendalam tribe into the performing arts of dance. Alah Tedak dance piece utilizes the choreographic approach proposed by Hendro Martono, which involves the sensations of the body, emotions, imagery, and ritual expression. The process of choreographing Alah Tedak incorporates the creation methods outlined by Alma Hawkins, including exploration, improvisation, composition, and evaluation. The dance piece Alah Tedak creates a contemporary dance by developing the basic movement motifs of the Dayak Kayaan Mendalam tribe, namely Luh, Ngayang, Pivak, Seguk, Sembib, and Soongpak. These concepts are transformed into a choreography performed by a group of eight dancers on the Proscenium Stage. The choreography is expressed through a type of dance called Studi Dramatik, which consists of an Introduction structure, Scene 1 (Tattooing Process), Scene 2 (Tattooed Women), Scene 3 (Usung Tingaang Motif), and Scene 4 (Tattoo Light), with a duration of 21 minutes. The music incorporates vocal compositions and ethnic instruments from the Dayak Kayaan Mendalam tribe.
KAJIAN STRUKTUR PERTUNJUKAN BEKSAN AJISAKA DI KERATON YOGYAKARTA Hanisputra, Muflikh Auditama; Sahid, Nur
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15204

Abstract

RINGKASANBeksan Ajisaka di Kraton Yogyakarta merupakan salah satu bentuk seni tari tradisional Jawa yang sarat dengan nilai budaya dan filosofi. Tulisan ini menganalisis struktur pertunjukan dengan analisis teks dengan elemen utama, seperti gerak, iringan, kostum tari, dan simbolisme yang terdapat pada Beksan Ajisaka. Struktur pertunjukan Beksan Ajisaka yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu maju gendhing, inti, mundur gendhing, masing-masing memiliki fungsi naratif dan simbolik untuk menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kepemimpinan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Beksan Ajisaka berperan penting dalam menjaga tradisi budaya Kraton Yogyakarta. Oleh karena itu, pertunjukan ini tidak hanya sekedar hiburan, namun juga sebagai media penyampaian ajaran filosofis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta terdapat unsur sakral dalam tarian Beksan Ajisaka.ABSTRACTStudy of the Structure of the Beksan Ajisaka Performance at the Kraton Yogyakarta. This research focuses on analyzing the performance structure of Beksan Ajisaka in Kraton Yogyakarta, which is one of the traditional Javanese dance art forms full of cultural and philosophical values. This research uses a qualitative approach with direct observation and text analysis of the main elements of the performance, such as movement, accompaniment, dance costumes, and symbolism contained in Beksan Ajisaka. From the results of the research, the performance structure of Beksan Ajisaka which consists of three main parts: maju gendhing, tengah jogedan, and akhir, each has a narrative and symbolic function to convey moral messages and leadership values. This research also shows that Beksan Ajisaka plays an important role in maintaining the cultural traditions of Kraton Yogyakarta. Therefore, this performance is not only for entertainment, but also as a medium for conveying philosophical teachings related to daily life, and there are sacred elements in the Beksan Ajisaka dance.
KONSEP DWI TUNGGAL DALAM PROSES PENCIPTAAN BEKSAN MANUNGGAL JATI: SINTESIS GERAK TARI GAYA KERATON YOGYAKARTA DAN PURO PAKUALAMAN Hardiawan, Hendy
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15209

Abstract

RINGKASANTulisan ini bertujuan untuk memaparkan proses penciptaan Beksan Manunggal Jati dengan konsep Dwi Tunggal. Dalam karya ini, konsep Dwi Tunggal dimaksudkan sebagai percampuran dua gaya tari yaitu Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Fokus pembahasannya terletak pada sintesis gerak tari gaya Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Harapannya penciptaan karya tari ini mampu meningkatkan eksistensi dan memberikan kontribusi praktis dalam aspek pendidikan dan kebudayaan. Penelitian ini menggunakan metode Alma Hawkins yang terdiri dari eksplorasi, improvisasi, dan pembentukan atau komposisi. Beksan Manunggal Jati memiliki konsep Dwi Tunggal yang berarti menyatunya Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman yang menjadi satu, penyatuan ini merujuk pada elemen pertunjukannya, dalam hal ini pada elemen sintesis gerak tari. Dalam penyajiannya beksan ini mengadaptasi konsep bedhayan yang memiliki tiga struktur yaitu, majeng beksa, inti beksa, mundur beksa. Pola ruang dalam beksan ini menggunakan pola ruang pendopo yang berpengaruh terhadap pola lantai secara keseluruhan serta pembagian struktur gerak. Dalam penyajiannya Beksan ini memegang erat prinsip Joged Mataram yaitu greget, sengguh, nyawiji, dan ora mingkuh.ABSTRACTThis research aims to present the process of creating Beksan Manunggal Jati with the concept of Dwi Tunggal. In this work, the concept of Dwi Tunggal refers to the fusion of two dance styles, namely Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman. The focus of the discussion lies in the synthesis of the dance movements from the Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman styles. It is hoped that the creation of this dance work will enhance it’s existence and contribute practically to the fields of education and culture. This research used Alma Hawkins method, which includes exploration, improvisation, and formation or composition. Beksan Manunggal Jati has a Dwi Tunggal concept, meaning the unification of Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman into one entity. This unification refers to the elements of it’s performance, particularly the synthesis of it’s dance movements. In it’s presentation, this beksan adapts the concept of bedhayan, which consists of three structures: majeng beksa, inti beksa, and mundur beksa. The spatial pattern in this beksan follows a pendopo floor pattern, which influences the floor patterns and the division of the movement structure. In it’s presentation, this Beksan firmly adheres to the principles of Joged Mataram, namely greget, sengguh, nyawiji, and ora mingkuh.
SISTEM PEWARISAN DAN PERSEBARAN TARI REJANG DEWA KARYA SUASTI WIJAYA MENUJU TARI MONUMENTAL Kandiraras, Tudhy Putri Apyutea; Widyastuti, Ida Ayu Gede Sasrani; Saptono, Saptono
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15205

Abstract

RINGKASANTari di Bali bukan hanya sekedar pertunjukan pariwisata namun menjadi budaya, karena dilakukan hampir pada setiap rangkaian kehidupan masyarakat Bali. Melalui budaya terbentuk cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berbagai seni timbul karena kemampuan manusia untuk menggali pandangan yang tajam dari pengalaman hidupnya. Proses kreatif tersebut merupakan suatu tangkapan inderawi, perasaan apa yang dirasakan, eksplorasi pengamatan dan perasaan, hubungan imajinatif dari pengalaman yang tersimpan, yang akhirnya kemudian membentuk suatu kebudayaan yang melekat pada keseharian masyarakatnya. Tari Rejang Dewa merupakan tari wali yang hingga sekarang terus diwariskan pada generasi muda. Keberadaaan tari ini tidak pernah lekang oleh waktu, dan terus dipelajari oleh semua kalangan, sehingga tari Rejang Dewa dapat dikatakan sebagai tari monumental.ABSTRACT Dance in Bali is not just a tourism show but becomes a local culture, because it is performed in almost every series of Balinese people's lives. Through culture, a way of life is formed that develops and is owned by a person or group of people and is passed down from generation to generation. Various arts arise because of the ability of humans to explore the sharp insights of their life experiences. The creative process is a sensory capture, a feeling of what is felt, an exploration of observations and feelings, an imaginative relationship of stored experiences, which ultimately thenforms a culture that is attached to the daily life of its people. Rejang Dewa dance is a guardian dance which until now continues to be passed down to the younger generation. The existence of this dance has never been timeless, and continues to be studied by all groups. So that Rejang Dewa dance can be said to be a Monumentalism dance.
CEMBENGAN KOREOGRAFI YANG TERINSPIRASI DARI TRADISI UPACARA TEBU MANTEN Nugratama, Anas Faizal; Alfirafindra, Raja; Sulistijaningtijas, Erlina Pantja
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15206

Abstract

RINGKASANKarya “Cembengan” adalah koreografi yang terinspirasi dari makna nilai-nilai tradisi budaya pada upacara tradisi Cembengan. Upacara tradisi Cembengan merupakan ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam pabrik gula Madukismo untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik. Upacara tradisi Cembengan dilaksanakan pada saat panen tebu sebelum dimulainya produksi penggilingan tebu. Keseluruhan prosesi dan simbol-simbol yang memiliki makna filosofis pada upacara tradisi Cembengan, terdapat 3 bagian prosesi upacara tradisi Cembengan yang menarik perhatian penata untuk diulas kedalam bentuk konsep koreografi kelompok, yaitu prosesi Petik Tebu Manten, prosesi Pingit Tebu Manten, prosesi Arak-arakan Cembengan. Karya tari berjudul “Cembengan” ini digarap dalam bentuk koreografi kelompok, ditarikan oleh lima penari putri dan empat penari putra.ABSTRACTThe work "Cembengan" is a choreography inspired by the meaning of cultural tradition values in the Cembengan traditional ceremony. The Cembengan tradition ceremony is a ritual performed by workers at the Madukismo sugar factory to ask for safety and good production results. The Cembengan tradition ceremony is carried out during the sugarcane harvest before the start of sugarcane milling production. The entire procession and symbols that have a philosophical meaning in the Cembengan traditional ceremony, there are 3 parts of the Cembengan traditional ceremony procession that attract the attention of the stylist to be reviewed in the form of a group choreography concept, namely the Manten Sugar Cane Picking Procession, the Manten Pingit Cane Procession, the Cembengan Procession. The dance work entitled "Cembengan" is worked on in the form of group choreography, danced by five female dancers and four male dancers.
OLAH RASA SEBAGAI RANGSANG PENCIPTAAN TARI BAGI KOREOGRAFER Karti, Galih Puspita; Prasetyorini, Arjuni
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15207

Abstract

RINGKASANRasa memiliki peran yang kuat dalam kehidupan, bahkan sikap-sikap tubuh manusia terbentuk dipengaruhi oleh rasa. Demikian juga pada dunia tari, rasa sangat penting dihadirkan. Rasa berperan sebagai pendorong ekspresi jiwa yang menjadi hal esensial dalam tari. Selain hadir dalam penyajian, rasa juga hadir dalam proses garap koreografi. Rasa menjadi pemantik ide yang mendorong untuk menemukan konsep dasar tari, yang disebut sebagai rangsang tari. Rangsang diperoleh dalam tiga tahap berikut ini : 1) Olah rasa sebagai proses eksplorasi : Penyatuan rasa dan pikiran diwujudkan dalam gerak tubuh. 2) Refleksi: Proses melihat kembali atau mengingat segala sesuatu yang terjadi pada diri selama olah rasa berlangsung. 3) Inspirasi: Menemukan ide konsep dasar penciptaan tari yang diperoleh dari hasil refleksi olah rasa. Karya tari berdasarkan pengalaman empiris, lahir dari rasa yang dimiliki oleh penciptanya. Karya demikian memiliki nilai yang semakin kuat, sebab sebuah gagasan yang disuguhkan dalam karya memiliki keterikatan rasa yang kuat dengan koreografer.ABSTRACTThe sense of feeling plays a significant role in life, even influencing the formation of human bodily attitudes. Likewise, in the world of dance, feeling is crucial to be present. Feeling drives the emergence of soulful expression, an essential aspect of dance. In addition to being present in performance, feeling emerges in the choreographic creation process. Feeling acts as a trigger for ideas to discover the basic concept of dance, referred to as dance stimulation. In this journal, stimulation is obtained through three stages: 1) Sensory exploration as an exploration process: The unification of feeling and thought ismanifested through bodily movement. 2) Reflection: The process of looking back or recalling everything that occurs within oneself during sensory exploration. 3) Inspiration: Discovering the basic concept of dance creation derived from the reflection of sensory exploration. Dance works based on empirical experience are born from the creator's inner feelings. Such works hold stronger value, as the ideas presented in the piece have a profound emotional connection with the choreographer.

Page 1 of 1 | Total Record : 7