Kertha Semaya
E-Journal Kertha Semaya merupakan jurnal elektronik yang dimiliki oleh Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana. Materi muatan jurnal ini memfokuskan diri pada tulisan-tulisan ilmiah menyangkut lapangan Hukum Perdata atau Bisnis. Secara spesifik, topik-topik yang menjadi tema sentral jurnal ini meliputi antara lain: Hukum Perikatan, Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Perbankan, Hukum Investasi, Hukum Pasar Modal, Hukum Perusahaan, Hukum Pengangkutan, Hukum Asuransi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Hukum Perburuhan.
Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol 9 No 8 (2021)"
:
20 Documents
clear
URGENSI PENGATURAN PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA
Ida Ayu Putu Sugiantari;
I Gede Artha
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (200.321 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p04
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan pelaksanaan persidangan secara elektronik dalam penyelesaian perkara pidana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang berfokus pada pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan persidangan secara elektronik dalam penyelesaian perkara pidana. Hasil dari kajian ini menemukan bahwa belum adanya pengaturan secara khusus mengenai persidangan perkara pidana secara elektronik di Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1/2019 mengatur mengenai persidangan berbasis online yang hanya khusus pada persidangan perkara perdata, begitu pula pada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1/2020 yang saat ini telah diubah menjadi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5/2020, Kedua surat edaran tersebut masih belum mengatur mengenai pelaksanaan persidangan secara elektronik dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada proses peradilan di Indonesia, sehingga sangatlah perlu dibuat pengaturan pelaksanaan persidangan secara elektronik dalam penyelesaian perkara pidana. This study aims to analyze the implementation of online trials in the settlement of criminal cases. The method used in this study is a normative legal research method with an invitation-only approach which refers to an examination of the regulations regarding the implementation of online trials in the settlement of criminal cases. The results of this study found that there was no specific regulation regarding online-based criminal case trials in Indonesia. Supreme Court Regulation Number 1/2019 for assistance regarding online-based trials that are only specific to court proceedings in civil cases, as well as in the Circular of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 1/2020 which has now been changed to Circular of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 5/2020, Both of these circulars have not yet fostered the implementation of online trials in the settlement of criminal cases. This does not guarantee legal uncertainty that has implications for the judicial process in Indonesia, so it is necessary to make arrangements for the implementation of online trials in the settlement of criminal cases.
PERANAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PERLINDUNGAN NASABAH AKIBAT KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI
Ni Komang Juliana Dewi Verayanthi;
I Gede Agus Kurniawan
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (406.947 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p18
Tujuan penulisan ini untuk mengkaji dan memahami peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam perlindungan nasabah akibat kepailitan perusahaan asuransi serta upaya perlindungan nasabah pada suatu perusahaan dimana asuransi telah dinyatakan pailit menurut hukum positif. Metode penulisan yang digunakan pada penelitian ini yakni metode penelitian yang berdasarkan penelitian normatif dengan mempergunakan pendekatan yang berlandaskan pada perundang-undangan dan pendekatan atas konsep yang dibarengi dengan bahan hukum sekunder serta primer. Hasil yang didapat dari penulisan penelitian ini menunjukan bahwasanya OJK sebagai lembaga pengawas untuk melindungi nasabah dari berbagai masalah seperti kepailitan. Peranan OJK dalam perlindungan nasabah akibat kepailitan perusahaan asuransi yakni melakukan pengaduan atas konsumen dengan melaksanakan pembelaan atas nama hukum diperuntukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat serta nasabah asuransi pada khususnya serta OJK dimana berperan sebagai pihak yang berhak membuat pengajuan permohonan kepailitan melalui Dewan Komisioner OJK dengan prosedur yang ditempuh mengacu pada ketentuan dalam UUK-PKPU. Upaya perlindungan nasabah pada perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit menurut hukum positif yakni termuat dalam Pasal 4 huruf e UUPK, Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, Pasal 28-30 UU OJK dan Pasal 52 ayat (1) UU Perasuransian. The purpose of this paper is to review and understand the role of the Financial Services Authority in protecting customers due to insolvency of insurance companies and customer protection efforts in a company where insurance has been declared bankrupt according to positive law. The writing method used in this study is a research method based on normative research using an approach based on legislation and an approach to the concept coupled with secondary and primary legal materials. The results obtained from the writing of this study indicate that OJK as a supervisory agency protects customers from various problems such as bankruptcy. The role of OJK in protecting customers due to bankruptcy of insurance companies, namely filing complaints against consumers by carrying out defense in the name of the law is intended to increase public trust and insurance customers in particular as well as OJK, which acts as the party entitled to submit bankruptcy applications through the OJK Board of Commissioners with the following procedures refers to the provisions in UUK-PKPU. Efforts to protect customers in insurance companies that are declared bankrupt according to positive law are contained in Article 4 letter e UUPK, Article 15 paragraph (1) UUK-PKPU, Articles 28-30 of the OJK Law and Article 52 paragraph (1) of the Insurance Law.
DUALISME KEWENANGAN ANTARA PTUN DENGAN PENYIDIK ATAS EKSEKUSI PUTUSAN YANG OBJEKNYA TERBLOKIR KASUS PIDANA
Ida Bagus Gede Wahyu Pratama;
Putu Edgar Tanaya
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (190.717 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p09
Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui upaya penyelesaian konflik norma antara ketentuan Pasal 116 UU PERATUN dan Pasal 14 Permen ATR 13/2017 ditinjau dari asas preferensi. Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif digunakan karena menjadi pondasi dalam mencari kebenaran dan peraturan perundang-undangan menjadi sumber bahan hukum yang utama. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep serta pendekatan kasus. Hasil dari pembahasan jurnal ini yaitu, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu kewenangan atribusi dapat dikategorikan atau sama dengan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara sedangkan kewenangan delegasi Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dikategorikan atau sama dengan kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan pada teori kewenangan dalam hal tindakan penyidikan, penyidik kepolisian mendapatkan kewenangan atribusi dari KUHAP dan UU Kepolisian, mengingat atribusi yang bersumber dari konstitusi negara Indonesia. Sedangkan kewenangan yang tersirat dalam Pasal 14 ayat (1) Permen ATR 13/2017, merupakan kewenangan delegasi. Menurut asas preferensi yang pertama yaitu ”Lex Superior Derogate Legi Inferior”, dibagi menjadi dua unsur yaitu UU PERATUN adalah peraturan Superior, sedangkan Permen ATR 13/2017adalah peraturan Inferior. Maka menurut asas ini perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah. The purpose of writing this journal is to study and know a norm dissatisfied with the resolution of conflict between the provisions of article 116 law of the state administrative courts and article 14 a minister regulation atr 13/2017 in terms of the principle of preference. In the writing journal used research methodology used because law normative foundation in search of the truth and legislative regulations have become a source of materials of law. The approach that was used the statutory approach, conceptual approach and the case approach. The results of this discussion of this is the journal, the authority given by statute of court administration for countries: the authority the attribution can be categorized as or equal with competence absolute state administrative courts while the authority of the delegation state administrative courts can be categorized as or equal with competence relatively state administrative courts. Based on the theory authority as regards an action investigation, police investigators get authority the attribution of KUHAP and law police, considering the attribution sourced of the constitution country. And authority impliedly in article 14 (1) and a minister regulation atr 13/2017, is the authority. According to the bases for the first preference ”Lex Superior Derogate Legi Inferior”, divided into two element law of the state administrative are rules superior, while a minister regulation atr 13/2017 are inferior regulations. Then according to the principle of this legislation rank higher rank lower legislative ruled out.
PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN DI INDONESIA
Roni Saepul Rohman;
Pamungkas Satya Putra
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (270.806 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p01
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan tatacara atau langkah-langkah bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan, perselisihan, suatu sengketa hubungan industrial yang terjadi di Indonesia, baik sebelum Indonesia merdeka, sampai saat ini setelah Indonesia merdeka. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Karena dalam penulisan ini membandingkan suatu cara penyelesaian yang bersumber dari hukum tertulis dan sumber hukum tertulis lainnya. Hasil studi menunjukkan bahwa penyelesaian hubungan industrial di Indonesia berkembang seiringan dengan berkembangnya zaman. Sebelum kemerdekaan Indonesia, dimulai dari masa penjajahan Hindia Belanda. Ketika para pekerja/buruh kereta api pertama kali melakukan pemogokan. Pada saat itu pertama kali diatur oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bidang ketenagakerjaan adalah dengan cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, khususnya disektor pengangkutan kereta api dengan dibentuknya Verzoeningsraad. Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesudah kemerdekaan dimulai dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Penyelisihan Hubungan Industrial. The purpose of this study to analyze and compare the procedures or steps on how to resolve a problem, dispute, an industrial relations dispute that occurred in Indonesia, both before Indonesia’s independence, until now after Indonesia’s independence. This writing uses normative legal research methods. Because in writing this compares a method of settlement that comes from written law and otther sources of written law. The results of the study show that the settlement of industrial relations in Indonesia develops along with the times. Before indonesian independence, starting from the Dutch Indies Colonial period. When tha train workers/laborers first went on strike. At that time, it was first regulated by the Dutch Indies government in the field of manpower by way of settling industrial relations disputes, especially in the rail transportation sector with the formation of Verzoeningsraad. Whereas the settlement of industrials relations disputes after independence began with the formation of Law Number 22 of 1957 concerning the settlement of labor disputes, which was later revoked and replaced by Law Number 2 of 2004 concerning the settlement of industrial relations disputes.
PENGATURAN BATAS WAKTU PENETAPAN KEDARURATAN KESEHATAN MASYARAKAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
Dewa Ngakan Putu Bagus Yudha Pratama;
Made Gde Subha Karma Resen
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (184.551 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p14
Tujuan penulisan yang hendak dicapai yaitu untuk memahami dan mengerti mengenai pengaturan batas waktu penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konsep hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan terkait pemberian kewenangan Presiden dalam menetapkan keadaan darurat nasional di Indonesia yaitu diatur pada Pasal 12 UUD NRI 1945. Berdasarkan Pasal inilah dasar aturan yang memberikan seorang Presiden wewenang untuk menetapkan syarat-syarat dan keadaan bahaya dalam hal ini keadaan darurat, namun tetap hal tersebut tidak dapat dilakukan semena-mena, namun harus berdasarkan Undang-Undang terlebih dahulu. Yang kemudian diturunkan kepada 2 aturan yaitu Perppu Keadaan Bahaya dan UU Penanggulangan Bencana. Pengaturan Batas Waktu Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 yang diatur pada Keppres Covid-19 tidak mengatur mengenai kapan batas waktu berakhirnya keadaan darurat tersebut. Keppres Covid-19 ini harus mengatur mengenai batas waktu kapan keadaan darurat kesehatan masyarakat ini berakhir, karena dengan tidak diaturnya mengenai batas waktu berakhirnya keadaan darurat tersebut sudah menyalahi Asas Kesementaraan (limitation of time), Kebutuhan untuk mengatur batas waktu darurat diperlukan sehingga semua tindakan hukum jika terjadi keadaan darurat dapat diukur dan dikendalikan dengan baik. The purpose of writing to be achieved is to understand and understand the time limit for determining the Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) public health emergency. This study uses normative legal research using a statutory approach and legal concepts. This study shows that the regulations regarding the granting of the President's authority in determining a national emergency in Indonesia are regulated in Article 12 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Based on this Article, the basic rules give the President the authority to determine the terms and conditions of danger, in this case an emergency, however still this cannot be done arbitrarily, but must be based on law first. This was later revealed to 2 regulations, namely the State of Danger Perppu and the Law on Disaster Management. Setting the Deadline for Determining the Corona Virus Disease 2019 Public Health Emergency which is regulated in the Covid-19 Presidential Decree does not regulate the time limit for the end of the emergency. This Covid-19 Presidential Decree must regulate the time limit for when this public health emergency ends, because by not regulating the time limit for the end of the emergency, it violates the principle of temporaryness (limitation of time), the need to set a time limit for an emergency is required so that all legal action in the event of an emergency can be measured and controlled properly.
KAJIAN PEMBANGUNAN BANDARA BALI UTARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN
Agung Bagus Adhi Mahendra Putra;
Desak Putu Dewi Kasih
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (191.194 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p05
Artikel ini ditulis untuk mengetahui dan menganalisis implikasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada pembangunan Bandara Bali Utara di Desa Sumber Klampok serta untuk mengetahui dan menganalisis bentuk pertanggungjawaban yang dapat dikenakan apabila terjadi kerusakan lingkungan pada Taman Nasional Bali Barat akibat dilaksanakannya pembangunan Bandara Bali Utara di Desa Sumber Klampok. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan konsep yang mengintegrasikan tiga dimensi yakni ekonomi sosial dan lingkungan dengan memperhatikan memperhatikan mutu generasi saat ini dan tidak mengabaikan generasi mendatang. Pembangunan Bandara Bali Utara di Desa Sumber Klampok memiliki keterikatan dengan ketiga dimensi tersebut khususnya dimensi lingkungan hidup dengan demikian pembangunan tidak boleh mengabaikan kelestarian lingkungan hidup. Penting sekali dilakukan kajian mendalam mengenai kelayakan daerah tersebut sebagai lokasi bandara mengingat lahan yang digunakan adalah lahan konservasi Taman Nasional Bali Barat yang didalamnya hidup satwa langka yang dilindungi. Pertanggungjawaban yang dapat dikenakan bagi pihak yang melakukan kegiatan sehingga mengakibatkan kerusakan pada Taman Nasional Bali Barat apabila dilaksanakan Pembangunan Bandara Bali Utara dapat dikenakan dalam tiga aspek penegakan hukum yaitu sanksi administrasi, ganti kerugian secara keperdataan, dan pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. This article was written to find out and analyze the implications of the concept of sustainable development on the construction of North Bali Airport in Sumber Klampok Village and to identify and analyze forms of liability that can be imposed in the event of environmental damage to West Bali National Park due to the implementation of the construction of North Bali Airport in Sumber Klampok Village. This research is a type of normative legal research with a statutory approach. The results of this study indicate that the concept of sustainable development is a concept that integrates three dimensions, namely the social economy and the environment by paying attention to the quality of the current generation and not ignoring future generations. The construction of North Bali Airport in Sumber Klampok Village has an attachment to these three dimensions, especially the environmental dimension, thus development should not ignore environmental sustainability. It is very important to conduct an in-depth study of the feasibility of the area as an airport location considering the land used is the conservation area of West Bali National Park in which protected endangered species live. Liability that can be imposed on parties who carry out activities that result in damage to the West Bali National Park if the North Bali Airport Development is carried out can be imposed in three aspects of law enforcement, namely administrative sanctions, civil compensation, and criminal penalties in accordance with applicable legal provisions.
PERANAN HUKUM INVESTASI DIKAITKAN DENGAN HUKUM LINGKUNGAN TERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Supandi Darmawan;
Rani Apriani
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (251.31 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p19
Tujuan penelitian pada artikel ini adalah memahami dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan, karena konsep tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi negara Indonesia. Arah dari konsep tersebut ialah memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Aspek terpenting untuk menopang terwujudnya hal itu, maka dibutuhkan penguatan dan implementasi hukum investasi secara konsisten dan terarah. Masyarakat dan pemerintah Indonesia juga diharapkan berperan penuh dalam pelaksanaan hukum investasi yang berkeadilan dan berbasis lingkungan hidup sehingga tujuan bisa dicapai dengan gotong royong dan berdampak baik bagi negara Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang mengacu pada UU Penanaman Modal dan UU Lingkungan Hidup. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengoptimalkan dari bahan-bahan yang bersifat kepustakaan. Instrumen hukum negeri ini telah mengatur sedemikian rupa, supaya investasi berasaskan dan bertujuan pada pembangunan berkelanjutan sebagaimana telah diatur dalam pasal 3 ayat (1) huruf g dan pasal 3 ayat (2) huruf c UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Selain ditopang dengan dasar hukum tadi, investasi dengan konsep itu ditopang juga dengan adanya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mesti dipatuhi oleh semua pihak. The purpose of the research in this article is to understand and implement sustainable development, because this concept has a very important role for the Indonesian state. The direction of the concept is to meet the needs of the present without compromising the fulfillment of the needs of future generations. The most important aspect to support the realization of this, it is necessary to strengthen and implement the law of investment in a consistent and directed manner. The Indonesian people and government are also expected to play a full role in the implementation of investment law that is just and based on the environment so that the goals can be achieved through mutual cooperation and have a good impact on the Indonesian state. his study uses a normative juridical method which refers to the Investment Law and the Environmental Law. The data collection technique is done by optimizing the materials that are library in nature. This country's legal instrument has regulated in such a way that investment is based on and aims at sustainable development as regulated in Article 3 paragraph (1) letter g and Article 3 paragraph (2) letter c Law no. 25 of 2007 concerning Capital Safeguards. Apart from being supported by this legal basis, investment with this concept is also supported by the existence of Law no. 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management which must be obeyed by all parties.
URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP RISIKO GAGAL BAYAR DALAM PEER TO PEER LENDING AKIBAT PANDEMI COVID-19
Made Melda Berlianti;
Suatra Putrawan
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (608.945 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p10
Artikel ini berorientasi menganalisis problematika dampak Covid-19 terhadap risiko gagal bayar yang berakibat kerugian bagi borrower dan lender pada P2P lending di Indonesia. Kajian menganalisis dampak pandemi Covid-19 pada perlindungan hukum terhadap pengguna P2P lending serta bagaimana urgensi perlindungan hukum pengguna P2P lending akibat adanya pandemi Covid-19 di Indonesia. Metode normative deskriptif Penulis gunakan untuk menjawab permasalahan yang dikaji. Hasil menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan peningkatan NPL pada P2P lending. P2p lending memiliki kemudahan dalam mempercepat konsumen memperoleh dana pinajaman, namun bentuk pinjaman ini penuh dengan risiko karena tidak ada interaksi tatap muka langsung, menjamurnya P2P lending ilegal, serta keterpurukan ekonomi berdampak pada gagal bayar. Konsumen mengalami risiko gagal bayar yang merugikan karena memungkinkan terjadinya penumpukan denda pinjaman dan ketidakmampuan konsumen mengakses pinjaman lain akibat masuk daftar hitam OJK. Hal tersebut merupakan konsekuensi akibat kekosongan hukum dalam perlindungan hukum bagi konsumen P2P lending akibat pandemi Covid-19. Kekosongan hukum tersebut menuntut urgensi yang tinggi dan mutlak atas ditetapkannya kebijakan perlindungan hukum terhadap konsumen P2P lending akibat pandemi Covid-19, sehingga mampu tercipta rasa keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kosumen P2P lending hendaknya juga mendapat jaminan hukum berupa restrukturisasi kredit seperti yang diterima nasabah bank pada umumnya. This article analyzes the problematic impact of Covid-19 on the risk of default which results in losses for borrowers and lenders in P2P lending in Indonesia. Study of the impact of the Covid-19 pandemic on legal protection for P2P lending users and the urgency of legal protection for P2P lending users due to the Covid-19 pandemic in Indonesia. The author uses descriptive normative method to answer the problems being studied. The results show that the Covid-19 pandemic led to an increase in NPLs in P2P lending. P2p loans are fast in accelerating consumers to obtain funds, but this form of loan comes with risks because there is no face-to-face interaction, the proliferation of illegal P2P lending, and economic downturns have an impact on default. Consumers have an adverse risk of default because they allow the accumulation of loan fines and the inability of consumers to access other loans due to being blacklisted by the OJK. This is a loss due to a legal vacuum in legal protection for P2P lending consumers due to the Covid-19 pandemic. This legal vacuum demands high and absolute urgency for the guarantee of legal protection for P2P lending consumers due to the Covid-19 pandemic, so as to create a sense of justice and legal certainty for all Indonesian people. P2P lending customers should also receive legal guarantees in the form of credit restructuring as received like credit consumers at banks or other financial institutions (general loans).
KEMANDIRIAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TIPIKOR BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2020
Ketut Ria Wahyudani Oktavia;
I Dewa Gede Dana Sugama
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (182.024 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p15
Tujuan studi ini ditujukan untuk mengkaji kepastian hukum terhadap penjaminan kemandirian hakim dalam memutus perkara korupsi. Adapun studi ini merupakan penelitian hukum normative dengan didasarkan pada pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Berdasarkan hasil penelitian atas permasalahan hukum yang dikaji oleh penulis, berkaitan dengan pengaturan pemidanaan dalam perspektif Perma No. 1 Tahun 2020 memiliki ruang lingkup hanya pada terdakwa subjek hukum orang dalam perkara kasus korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU TIPIKOR yang dilakukan dengan enam tahapan pertimbangan penentuan berat ringan pidana. Kemudian berkaitan dengan implikasi dari ditetapkannya Perma No. 1 Tahun 2020 ternyata tidak mendegradasi kemandirian hakim dalam memutus perakra korupsi mengingat ontologis dari Perma No. 1 Tahun 2020 yakni sebagai suatu pedoman yang memberikan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menentukan berat ringan penjatuhan pidana The purpose of this study is to examine the legal certainty of ensuring the independence of judges in deciding corruption cases. This study is a normative legal research based on the statutory approach and conceptual approach. Based on the results of research on legal issues reviewed by the author, related to criminal arrangements in the perspective of Supreme Court Regulation Number 1 of 2020 has the scope only for the defendant as a legal subject in the case of corruption in Article 2 and Article 3 of the Law on Corruption Eradication which was carried out with six stages of consideration for determining the light weight of the crime. Then related to the implications of the stipulation of Supreme Court Regulation Number 1 of 2020 apparently does not degrade the independence of judges in deciding corruption, given the ontology of Supreme Court Regulation Number 1 of 2020, namely as a guideline that provides judges with considerations in determining the light weight of convictions
PROBLEMATIKA HUKUM TENTANG EXECUTIVE REVIEW DI INDONESIA
Made Dhana Pranata;
Nyoman Mas Aryani
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (187.756 KB)
|
DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i08.p06
Tujuan untuk mengetahui dinamika hukum tentang eksistensi executive review di Indonesia dan untuk mengetahui Siapa yang sejatinya berwenang untuk melakukan tindakan executive review berdasarkan hukum positif di Indonesia.Studi ini, ini tergolong penelitian hukum normative yang menggunakan pendekatan perundang-udangan (Statutory Approach ),pendekatan historis dan pendekatan konseptual (Conceptual) Proses mediasi yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) terhadap Perda lebih relevan dihapuskan saja, maka tugas dari Menkumham khususnya pada Direktorat Jendral peraturan perundang-undangan hanya melakukan evaluasi, harmonisasi, dan pengujian terhadap raperda sebelum Perda diundangkan. Lembaga eksekutif dalam membuat suatu produk hukum sebaiknya tidak melakukan intervensi dengan kepentingan pribadi atau kepentingan dari partai politik emprioritaskan aspirasi dan partisipasi dari masyarakat serta perlu terjadinya harmonisasi dengan peraturan yang ada diatas berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan. The aim is to find out the legal dynamics regarding the existence of executive review in Indonesia and To find out who is actually used to carry out executive review actions based on positive law in Indonesia. This study is classified as normative legal research using a statutory approach (Statuory Approach), conceptual approach and approach (Conceptual) The mediation process carried out by the Minister of Law and Human Rights (Menkumham) to the Perda is more relevant to just abolish it, so the task of the Menkumham especially at the Directorate General of legislation is only to evaluate, harmonize, and test rape before the Perda is enacted. Executive agencies in making a legal product should not intervene with personal interests or the interests of political parties, but prioritize the aspirations and participation of the community and the need to harmonize with existing regulations based on statutory regulations.