cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta timur,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Kedokteran
ISSN : 02164752     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Majalah FK UKI bertujuan sebagai wadah publikasi hasil penelitian staff pengajar fakultas kedokteran internal dan eksternal UKI, sebagai sharing knowledge para dosen fakultas kedokteran serta menunjang pengembangan ilmu kedokteran/kesehatan.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER" : 6 Documents clear
Cryptococcal Meningitis among AIDS Patients in Jakarta Ridhawati Sjam; Mulyati; Robiatul Adawiyah; Darma Imran; Retno Wahyuningsih
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstract Cryptococcosis is a common opportunistics infections in AIDS and caused by the encapsulated yeast Cryptococcus neoformans. The predominant clinical manifestation in AIDS patients is meningitis. For the establishment of diagnosis, India ink test and culture were done. Serology test to detect capsular antigen glucoronoxylomannan (GXM) was done to support the diagnosis of cryptococcosis. The aim of this study is to know the prevalence of cryptococcosis among AIDS patients with CNS involvement in Jakarta and its surrounding places. The study was conducted from 2005 – 2007 at the Mycology laboratory Department of Parasitology, University of Indonesia, Faculty of Medicine. Spinal fluid from 154 AIDS patients with CNS involvement from Cipto Mangunkusumo hospital and other hospitals around Jakarta were tested using India ink test and cultured on sabouraud dextrose agar (SDA) and bird seed agar (BSA) and 48 were tested by latex agglutination test to detect GXM antigen. Out of 154 spinal fluids tested by india ink and culture, 32 (20,77%) samples contained Cryptococcus. GXM antigen was detected in 29 out of 48 samples. From 29 samples with GXM antigen, eight samples were also positive after mycology examination. The prevalence of cryptococcosis among AIDS patients with CNS involvement in Jakarta is 20.77%. Key words: spinal fluid, Cryptococcus neformans, prevalence, GXM antigen Abstrak Kriptokokosis yang disebabkan oleh khamir Cryptococcus neoformans merupakan infeksi oportunistik pada AIDS, dan meningitis adalah manifestasi klinis yang paling sering ditemukan. Untuk menegakkan diagnosis digunakan pemeriksaan tinta India dan kultur pada media agar. Uji serologi untuk deteksi antigen kapsular glucoronoxylomannan (GXM) dapat digunakan untuk mendukung penegakan diagnosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kriptokokosis pada penderita AIDS dengan gangguan serebral yang dilaksanakan sepanjang April 2005 – February 2007. Sebanyak 154 cairan otak penderita AIDS dari daerah Jakarta dan sekitarnya diperiksa dengan sediaan tinta India, dan kultur pada agar sabouraud dekstrose (ASD) dan bird seed agar (BSA). Dari 154 sampel, hanya 48 sampel yang menjalani pemeriksaan antigen GXM dengan metode agglutinasi lateks. Dari 154 cairan otak yang diperiksa dengan tinta india dan kultur 21 (20,77%) sampel mengandung Cryptococcus. Antigen GXM terdeteksi pada 29 dari 48 sampel. Dari 29 sampel yang positif antigen GXM, delapan positif mengandung Cryptococcus. Prevalensi kriptokokosis pada penderita AIDS dengan gangguan SSP di Jakarta sebesar 20,77%. Kata kunci: cairan otak, Cryptococcus neformans, prevalensi, antigen GXM
Value of Tygerberg Scoring for the Diagnosis and Management of Tuberculous Pericarditis Achnes Pangaribuan; Kurniyanto; Donnie Lumban Gaol; Yunus Tanggo
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstract Extra pulmonary tuberculosis occurs in 20% of patients with tuberculosis. Tuberculosis pericarditis is seen in 1-8% of these patients. Tuberculosis has been reported to be the cause of acute pericarditis in 60-80% of the patients in the developing world. We reported a case of 19 years old male who presented with right chest pain, cough, breathlessness, night sweat, fever, fatigue, and weight loss. From the physical examination, jugular venous pressure was high and on auscultation, the heart sounds were muffled and associated with a pericardial rub. The chest x-ray revealed enlargement of cardiac silhouette. Transthoracic echocardiography showed pericardial effusion, and mantoux tuberculin skin test were positive. Since the pericardiocentesis is not feasible in our hospital, the tygerberg tuberculous pericarditis score was applied. Furthermore, patients were given anti-TB treatment, and showed a good response to treatment.Key words: extra pulmonary tuberculosis, tuberculous pericarditis, tygerberg score Abstrak Tuberkulosis dapat menyebabkan kelainan di luar paru. Prevalensinya berkisar sekitar 20% dan dapat menyebabkan kelainan diberbagai organ seperti perikarditis pada jantung. Tuberkulosis telah dilaporkan menjadi penyebab perikarditis akut pada 60-80% pasien di negara berkembang. Pada tulisan ini dilaporkan seorang laki-laki berusia 19 tahun dengan keluhan nyeri dada kanan disertai batuk, sesak nafas, keringat malam, lemas, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis, dan pada auskultasi ditemukan bising jantung sesuai dengan gesekan perikardium. Pada pemeriksaan foto polos dada ditemukan pembesaran ruang jantung. Pada ekokardiografi ditemukan efusi perikardial. Karena perikardial drainase tidak dapat dilakukan, diterapkan skor tygerberg untuk diagnosis perikarditis tuberkolosis. Selanjutnya pasien diberi pengobatan anti TB, dan menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan.Kata kunci: tuberkulosis ekstra pulmoner, perikarditis tuberkulosis, skor tygerberg
Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana Rhyno Febriyanto; Bernadetha Nadeak; Sudung O. Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Kandung kemih neurogenik adalah disfungsi kandung kemih karena kerusakan atau penyakit pada sistem saraf pusat ataupun sistem saraf perifer. Sebagian besar penyebab kandung kemih neurogenik pada anak merupakan kelainan kongenital dan sisanya merupakan kelainan didapat. Spina bifida atau mielodisplasia merupakan penyebab tersering kandung kemih neurogenik pada anak dan 90% di antaranya berupa mielomeningokel. Kandung kemih neurogenik sering ditandai dengan inkontinensia urin.Tata laksana yang cepat dan tepat dapat mencegah kerusakan ginjal. Langkah awal tata laksana kandung kemih neurogenik adalah menegakkan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat. Apabila terdapat kecurigaan kandung kemih neurogenik, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan ultrasonografi. Pemeriksaan pencitraan lain seperti miksio-sistouretrografi dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan urodinamik dilakukan untuk menilai fungsi kandung kemih yaitu fungsi pengisian dan pengosongan. Penanganan yang adekuat meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik, penurunan tekanan intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta tata laksana inkontinensia. Terdapat beberapa modalitas tata laksana kandung kemih neurogenik seperti medikamentosa dan tindakan urologik antara lain clean intermittent catheterization (CIC), sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial.Kata kunci: kandung kemih neurogenik, urodinamik, clean intermitten cathetetrization Abstract Neurogenic bladder is a dysfunction caused by damage or disease of either central nervous or peripheral nervous system. The most common causes of neurogenic bladder in children are congenital disorders while the others are acquired disorders. Spina bifida or myelodysplasia is the most common congenital cause of neurogenic bladder in children and 90% are in the form of myelomeningocele. Neurogenic bladder is often manifested by urinary incontinence. Prompt and precise management may prevent kidney damage. The initial step in managing neurogenic bladder is establishing diagnosis by careful history taking and physical examination. Once suspicion of neurogenic bladder presents, the next step is to perform laboratory examination and ultrasonography. Other imaging examinations, such as micturating cystourethrography, are performed by the indication. Urodynamic study is performed to evaluate filling and voiding function of the bladder. Adequate treatment includes bladder voiding, intravesical pressure reduction, urinary tract infection prevention, and also management of incontinence. There are several modalities of neurogenic bladder treatment such as medications and urologic interventions including clean intermittent catheterization (CIC), cystoplasty, or artificial urinary sphincter implantation. Keywords: neurogenic bladder, urodynamic, clean intermitten catheterization
Neurogenesis pada Perdarahan Intraserebral Spontan Robert Sinurat
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Perdarahan intraserebral spontan (PIS) adalah salah satu tipe stroke berdarah, akibat ruptur pembuluh darah sehingga darah menggenangi parenkim otak. Mortalitasnya mencapai 34,6% dan hanya 38% yang dapat pulih seperti sediakala atau dengan kecacatan ringan. Pada PIS terjadi cedera primer yaitu kerusakan neuron dan glia secara mekanis yang diikuti oleh deformasi, pelepasan neurotransmitter, disfungsi mitokondria dan depolarisasi membran sel. Selanjutnya terjadi cedera sekunder akibat pemecahan hemoglobin dan faktor koagulasi khususnya trombin. Produk tersebut akan mengaktifkan mikroglia sehingga menghasilkan zat toksik seperti reactive oxygen species (ROS), matrix metalloproteinase (MMP), cyclooksigenase-2, prostaglandin, heme oxygenase-1 (HO-1), faktor komplemen, tumor necrotizing factor α (TNFα), dan interleukin 1β yang mengakibatkan cedera jaringan. Selain cedera, juga terjadi penggantian sel mati melalui proses neurogenesis yaitu pertumbuhan sel punca neural di area subventrikel dan hipokampus. Sel tersebut akan bermigrasi ke area perdarahan karena terjadi perbedaan kadar stromal derived factor-1 (sdf-1) pada kedua area tersebut. Sebanyak 80% sel yang bermigrasi tersebut akan mati sehingga hanya sedikit yang dapat menggantikan sel mati. Kata Kunci: sel punca neural, habitat, mikroglia, zat toksik Abstract Spontaneous intracerebral hemorrhage (SICH) is a type of hemorrhagic stroke. There are brain vessels rupture which bleeds into parenchym. Mortality rate of ICH is about 34.6% and only 38% of the patients can be fully recovered. Mechanical disruption will appear by the bleeding as primary injury. The neuron and glia will be deformed, neurotransmitter released, dysfunctional mitochondria and cell membrane depolarization will occur. Primary injury will be followed by secondary injury due to degradation of blood product such as hemoglobin and coagulation factor, especially thrombin. These product will activate microglia resulted in the production of toxic factors i.e. reactive oxygen species (ROS), matrix metalloproteinase (MMP), cyclooksigenase-2 (Cox-2), prostaglandin, heme oxygenase -1 (HO-1), complement factor, tumor necrotizing factor α (TNFα), and interleukin 1β. Furthermore, there is replacement of dead cells by neuroendogenesis proscess, performed by stem cells that normally exist in a special niche in subventricle zone and hippocampus.. The stem cells in the migrates to perihematoma zone attracted by the different concentration of stromal derived factor-1 (SDF-1) between the niche and the peri-hematoma area. But most of the activated cells (80%) will die and only small number survive to replace the dead cells. Key words: neural stem cells, niche, microglia, toxic subtance
Diabetes Melitus Tipe 1 pada Orang Dewasa Kurniyanto; Yunus Tanggo
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Diabetes melitus (DM) merupakan sindrom klinis yang ditandai oleh hiperglikemia karena resistensi insulin dan atau defisiensi insulin relatif hingga absolut. Menurut klasifikasi American Diabetes Association (ADA), DM dibagi menjadi empat tipe yaitu: DM tipe 1 (defisiensi absolut insulin), DM tipe 2 (resistensi insulin), DM tipe lain, dan DM gestasional. Awitan penderita DM tipe 1 biasanya pada masa anak-anak dengan dijumpainya antibodi antiinsulin sedangkan variasi DM tipe 1 yang dijumpai pada usia dewasa disebut sebagai latent autoimmune diabetes in adult (LADA). Pasien LADA pada awalnya tidak membutuhkan insulin, namun setelah enam bulan, biasanya jumlah sel beta pankreas berkurang begitu pula dengan insulin sehingga akhirnya pasien tergantung pada insulin. Pengenalan dini terhadap penderita LADA membantu dalam pengelolaan pasien dan mempertahankan sel beta pankreas.Kata kunci : antibodi anti insulin, DM, LADA Abstract Diabetes mellitus (DM) is a clinical syndrome with hyperglycemia as a main feature caused by insulin resistance and or relative to absolute insulin deficiency. American Diabetes Association (ADA) classified DM into four groups: type 1 DM (absolute insulin deficiency), type 2 DM (insulin resitance), other type DM, and gestational DM. The clinical onset of type 1 DM usually at childhood marked by the occurrence of antibody anti insulin, meanwhile variation of DM type 1 with adult onset is define as latent autoimmune diabetes in adult (LADA). At the time of diagnosis patient with LADA did not require insulin, but after six months the function of beta cell of pancreas is decreases and the patient is then becoming absolutely dependent on insulin. Early detection of LADA helps in the management and preservation of pancreatic beta cells.Key word : antibody anti-insulin, DM, LADA
Diagnosis Oklusi Pembuluh Darah Retina Reinne N. Christine; Angela N. Agni
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Oklusi pembuluh darah retina merupakan penyakit vaskular yang sering ditemukan pada pasien dengan penurunan visus. Kelainan tersebut menduduki tempat kedua setelah retinopati diabetika. Oklusi vena retina dapat terjadi pada vena sentralis retina atau pada percabangannya yang akan memberikan gambaran klinis berbeda dan menentukan terapi dan prognosis penyakit. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat akan memberikan informasi mengenai patofisiologi penyakit dan menentukan waktu terapi dan mencegah perluasan penyakit. Penyakit kardiovaskular merupakan faktor predisposisi paling penting dalam CRVO selain faktor lokal seperti glaukoma, trauma, dan peradangan. Kata kunci: Oklusi vena retina, gambaran klinis, faktor predisposisi Abstract Retinal vein occlusion is the most frequent primary vascular disorder of the retina and of all the retinal vascular diseases second only to the more common diabetic retinopathy. Its occlusion can be happened at central vein of retina or at the periphery branch of retina which is different in diagnostic feature and treatment. Anamnesis and clinical manifestation could give information regarding its patophysiology and diagnosis, the timing of therapy and secondary prevention are important. Sistemic cardiovascular disease are associated with CRVO and also local factors such as glaucoma, trauma,and inflammation. Key words: retinal vein occlusion, clinical appearance, predisposing factors

Page 1 of 1 | Total Record : 6