Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

IDENTIFIKASI TRAJEKTORI DEBU VULKANIK LETUSAN GUNUNG GAMALAMA DENGAN HYSPLIT DAN METODE RGB PADA CITRA SATELIT HIMAWARI 8 Ryan, Muhammad; Pratama, Khafid Rizki
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 4 No 2 (2017): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (565.957 KB) | DOI: 10.36754/jmkg.v4i2.44

Abstract

Kejadian letusan gunung berapi di wilayah Indonesia mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap kondisi atmosfer khususnya sebaran debu vulkanik. Adanya sebaran debu vulkanik ini sangat membahayakan dalam dunia penerbangan. Jika dideteksi ada sebaran debu vulkanik pada rute penerbangan, bisa menyebabkan pengalihan rute penerbangan dan penutupan bandara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi trajektori debu vulkanik letusan gunung Gamalama pada tanggal 3 Agustus 2016. Dalam identifikasi debu vulkanik menggunakan model numerik Hysplit dan metode RGB pada citra satelit Himawari 8 dengan kanal IR2, IR4 dan VIS. Keluaran model pada Hysplit merupakan sistem pemodelan untuk menghitung trajektori parsel udara sederhana dengan pedekatan Lagrangian dan metode Eulerian. Hasil model Hysplit menghasilkan trayek sebaran debu vulkanik gunung Gamalama kearah tenggara hingga selatan pada level permukaan dan kearah barat laut pada level ketinggian maksimum 60000 feet dengan konsentrasi partikel mencapai sekitar >1000 mg/m2. Hasil identifikasi citra satelit Himawari 8 dengan metode RGB menggunakan gabungan 3 variasi citra kanal menunjukkan sebaran debu vulkanik mengarah kearah barat laut dengan luasan partikel yang hampir menutupi sebagian wilayah Ternate. Perbandingan terhadap model Hysplit dan metode RGB pada citra satelit Himawari 8 menghasilkan output yang hampir sama. Hal ini dikarenakan hasil metode RGB citra satelit jam 15.00 UTC pada wilayah tersebut terjadi pertumbuhan awan dan gangguan sekitar sehingga tertutup awan dan sulit untuk mendeteksi sebaran debu vulkanik.
RESPON KEJADIAN MESOSCALE CONVECTIVE SYSTEM DENGAN GABUNGAN MODEL ATMOSFER-OSEANOGRAFI-HIDRODINAMIKA TERHADAP POTENSI GELOMBANG BADAI DAN INUNDASI DI AREA PESISIR KEPULAUAN TANIMBAR Pratama, Khafid Rizki; Siadari, Ejha Larasati; Pratama, Bayu Edo
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol 6 No 2 (2019): Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1422.999 KB) | DOI: 10.36754/jmkg.v6i2.124

Abstract

Interaksi laut dan atmosfer memegang peranan penting dalam pembentukan aktivitas konvektif di wilayah Kepulauan Tanimbar, interaksi kedua sistem tersebut dapat menimbulkan fenomena pola konvektif skala meso dan menyebabkan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan hujan dan angin kencang di wilayah tersebut. Sistem pergerakan dan peningkatan kecepatan angin akan berdampak pada naiknya gelombang air laut ke pesisir sehingga membentuk gelombang badai dan banjir pesisir (rob). Penelitian ini mengkaji bagaimana pengaruh Mesoscale Convective System (MCS) terhadap kejadian gelombang badai dan potensi banjir pesisir (rob) di Kepulauan Tanimbar selama tahun 2017 ? 2018 dengan menggunakan gabungan model Coupled Ocean-Atmosphere Mesoscale Prediction System (COAWST) dan Advanced Circulation Model (ADCIRC) dengan tujuan untuk pengembangan sistem peringatan dini wilayah pelabuhan dan pesisir. Konsep model COAWST-ADCIRC dikopling secara langsung dengan OASIS3-MCT untuk parameter SST, spektrum gelombang laut dangkal dan sirkulasi angin. Respon kecepatan angin menunjukkan peningkatan sebesar 3.0 m/s ? 4.5 m/s dan energi gelombang laut meningkat hingga 0.4 ? 0.6 meter serta level kenaikan air laut meningkat 0.3 meter. Verifikasi lanjutan dilakukan dengan data observasi pasang surut pola konstituens semi-diurnal dan citra satelit altimetri Jason 3, serta investigasi terhadap uji kualitas hasil model menggunakan pendekatan EnKF untuk mengetahui akurasi prediksi pola gelombang laut dangkal dan daerah terdampak inundasi.
Effect of El-Niño Southern Oscillation (ENSO) on Heat Transport in The Indonesia Throughflow Passages and Ocean Heat Content in The Banda Sea Pratama, Khafid Rizki; Radjawane, Ivonne Milichristi; Pratama, Bayu Edo
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 30, No 1 (2025): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ik.ijms.30.1.92-102

Abstract

Indonesia Throughflow (ITF) flows water mass from the Northern Pacific Ocean to the Indian Ocean through Indonesian waters. This research was conducted in the Eastern Indonesia waters in 2009–2019 using Copernicus Marine Environment Monitoring Service (CMEMS) reanalysis and World Ocean Database (WOD) to analyze heat transport in ITF passages and ocean heat content in the Banda Sea. The analysis shows that ITF and heat transport have a strong relationship with a correlation of 0.7 during El-Niño Southern Oscillation (ENSO). Regarding the vertical profile by depth, heat transport in the Makassar Strait during La Niña was detected to be stronger in the Labani Channel and Central Sulawesi water, with values of -1.2 PW and -0.6 PW. Then, in the Lifamatola Strait, it was identified as strengthening in the Lifamatola Channel and Halmahera Strait with a value of -0.5 PW and -0.3 PW. The lag correlation between heat transport and the Oceanic Niño Index (ONI) shows a lag time of around 3-4 months, with the ENSO preceding heat transport. Mixed layer depth has an inverse relationship and salinity has a direct relationship with ENSO. Meanwhile, salinity has a relationship that is directly proportional to the ENSO. Another influence is the Rossby (Kelvin) waves when La Niña (El Niño) propagates to the West (Central) Pacific region, which tends to cause higher (lower) sea level elevations so that ITF and heat transport become strong (weak). It causes the ocean heat content (OHC) to increase during La Niña and decrease during El Niño.