Kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kasus yang berhubungan dengan anak sebagai pelaku. Hal tersebut sesuai dengan data yang dilansir dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Fenomena ini menimbulkan dilema antara perlindungan hak anak dan penegakan keadilan bagi korban. Indonesia dan Australia, sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, memiliki pendekatan hukum yang berbeda dalam menentukan batas usia minimal penahanan anak. Penelitian ini bertujuan membandingkan kebijakan batas usia minimal penahanan anak serta menganalisis penerapan prinsip-prinsip hukum seperti doli incapax dan the best interest of the child di kedua negara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan hukum. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan analis dilakukan secara deskriptif komparatif dengan mengacu pada prinsip-prinsip internasional seperti Beijing Rules, Havana Rules, dan Tokyo Rules, serta teori-teori hukum seperti teori perkembangan kognitif Piaget, prinsip doli incapax, dan the best interest of the child. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia cenderung lebih protektif namun kaku, sedangkan Australia lebih fleksibel namun berisiko diskriminatif. ACT telah merevisi batas usia minimal menjadi 14 tahun, sedangkan Queensland tetap pada usia 10 tahun dengan pendekatan yang lebih represif. Oleh karena itu, Reformasi hukum diperlukan agar sistem peradilan pidana anak di kedua negara dapat lebih adil, adaptif, dan selaras dengan standar internasional. Implikasi hukum penelitian ini memberikan roadmap reformasi bagi Indonesia untuk mengadopsi limited doli incapax dalam kasus-kasus tertentu, serta mendorong harmonisasi kebijakan di Australia untuk mengurangi disparitas antar-yurisdiksi dalam perlindungan anak.