Penyelenggaraan kegiatan usaha perkebunan dan industri kelapa sawit membutuhkan luasan lahan dengan hak guna usaha yang sesuai agar produktivitas perkebunan maksimal. Hak guna usaha merupakan hak konstitusional yang lahir dari konsep hak menguasai negara dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Konsep ini mengejawantahkan kepada Pemerintah sebagai penerima mandat dari Negara dalam melakukan pengurusan negara. Apabila pelaku usaha telah mendapatkan hak guna usaha dan perizinan berusaha lainnya terkait, maka sudah berdasarkan hukumlah penyelenggaraan kegiatan usaha di atasnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi dalam beberapa waktu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan keputusan penetapan kawasan hutan untuk beberapa provinsi di indonesia, dan dalam penetapan tersebut dinyatakan tumpang tindih dengan kawasan perkebunan dengan hak guna usaha di atasnya. Pada praktiknya terdapat dua penyelesaian dengan perubahan areal batas kawasan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau dengan pelepasan kawasan hutan yang dimohonkan oleh pelaku usaha. Akan tetapi pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Undang-undang Cipta Kerja dilakukan dengan mekanisme 110A dan 110B dengan indikasi pelaku usaha belum memiliki perizinan berusaha. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, sehingga dikemukakan bahwa terlanggarnya hak-hak konstitusional pelaku usaha yang memiliki hak guna usaha dan perizinan berusaha lainnya apabila dilakukan mekanisme pelepasan kawasan hutan. Pemegang hak harus menaati keputusan badan tata usaha negara sehubungan dengan penetapan kawasan hutan, namun terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mempertahankan haknya.Kata kunci : hak guna usaha, perkebunan kelapa sawit, kawasan hutan, Undang-Undang Cipta Kerja, hak menguasai negara Plantation business activities and palm oil industry requires large area of land with Business Use Rights (HGU) to maximize its productivity. Business Use Right (HGU) is a constitutional right arises from the concept of State Control Rights from Article33 of the Constitution of the Republic of Indonesia. This concept entrusted the Government as the recipient the State’smandate in carrying out state management. If a business actor has obtained a Right to Use Business by the Head of NationalLand Agency and other related business licenses, it is considered as legally valid. However, in a later time, the Minister ofEnvironment and Forestry established a Forest Area Determination Decree for several provinces in Indonesia. By this decree,some of plantation area with HGU right are stated to be overlapped with the forest area. In practice, should this occur, thereare two solutions: by changing the forest area boundaries by the Minister of Environment and Forestry or by releasing forestareas requested by business actors. However, the release of forest areas as referred to in the Job Creation law is carried out with the mechanisms of 110A and 110B, indicated that business actors currently lack of business license. This research using qualitative method with a normative juridical approach. The result indicated that the constitutional rights of business actors holding HGU and other business permits are violated if the second option, by releasing forest area, is carried out. The rights holder must comply with the decisions of the administrative body regarding the designation of forest areas; however, there are legal remedies that can be pursued to defend their rights.