Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ULAMA-DIFABEL: MENARASIKAN EKSPRESI KULTURAL MASYARAKAT BANJAR DALAM LENSA STUDI DISABILITAS Amin, Barkatullah
Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora Vol 17, No 2 (2019)
Publisher : UIN Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (638.067 KB) | DOI: 10.18592/khazanah.v17i2.3215

Abstract

Ulama in Banjar society take place as religious elite whose roles are very important. They used to be treated specially in practice, like being honored and respected. However, what if there is Ulama who is physically and mentally different (difabel). Do people treat differently? How do people then perceive it? This paper aims to see how the attitudes and views of people in the Banjar community towards the ?Ulama-Difabel? ? Islamic scholars with disabilities who participate in religious and community activities. This is a qualitative research with ethnography approach. It uses social model of disability theory. the results of this study explain that although the government has ratified the Law of the Republic of Indonesia No. 19 of 2011 concerning the Ratification of the CRPD, however, it cannot be called as the sole reason for the establishment of an inclusive paradigm that develops in society in a dominant way. In spite of that, the Banjar people interpret the existence of diffable scholars as a transcendent phenomenon because of the normative influence, metaphysical, and theological (Islam Banjar) views which both encourage each other to form social constructs with a paradigm of the Social Model of Disability in Banjar society. This phenomenon is also affected by some factors like people?s understanding toward diffabled condition, culture, education, and religious doctrine accepted. Ulama dalam masyarakat Banjar menempati posisi sebagai elit keagamaan yang perannya sangat penting. Sehingga pada praktiknya ulama sering mendapatkan perlakuan spesial, seperti dimuliakan dan dihormati. Namun, bagaimana jika ada ulama yang memiliki perbedaan pada fisik ataupun mentalnya (difabel), apakah perlakuan masyarakat menjadi berbeda? Bagaimana kemudian masyarakat mempersepsikannya? Paper ini bertujuan untuk melihat bagaimana sikap dan pandangan masyarakat Banjar terhadap Ulama-Difabel yang turut serta dalam kegiatan keagamaan maupun kemasyarakatan. Kajian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pisau analisisnya menggunakan teori Social Model of Disability. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah telah meratifikasi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD, tetapi hal itu tidak bisa disebut sebagai satu-satunya alasan terbentuknya paradigma inklusif yang berkembang dalam masyarakat, yang  kemudian mempengaruhi cara pandang masyarakat secara dominan, tetapi lebih dari itu, masyarakat Banjar memaknai keberadaan Ulama-Difabel sebagai fenomena transenden, karena dipengaruhi oleh pandangan-pandangan normatif, metafisik dan teologis (Islam Banjar) yang kemudian keduanya saling mendorong terbangunnya konstruksi sosial berparadigma Social Model of Disability pada masyarakat Banjar. Fenomena ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; pemahaman masyarakat terhadap kondisi difabel itu sendiri, budaya, pendidikan, dan doktrin keagamaan yang diterima.
God's Inclusive House? Narrating the Views of Religious Figures on Accessibility and Services for Houses of Worship in the Banjar Community Ramadan, Willy; Amin, Barkatullah
Indonesian Journal of Disability Studies Vol. 10 No. 1 (2023)
Publisher : The Center for Disability Studies and Services Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.ijds.2023.010.01.02

Abstract

This article will discuss how the accessibility of places of worship for persons with disabilities in the Banjar community and also the views of religious leaders regarding these services and accessibility. The research method used is qualitative with a phenomenological approach. The interviews were chosen data collection techniques with 5 religious’ leaders with a purposive sampling technique as the subject. The results of this study found that the house of worship in the Banjar community in South Kalimantan was still not referred to as an accessible congregation. This means that places of worship for religions in South Kalimantan, both physically, in communication, and in attitudes, cannot be easily accessed by persons with disabilities. However, even so, indicators of community displayed by all religions are already open and friendly to people with disabilities. This is evidenced by the forms of religious services provided by the church management or people with disabilities. The second finding explains that the views of religious leaders show great and positive concern for people with disabilities in South Kalimantan. In general, the views of religious people can be categorized into 3 major views: (1) The existence of a house of worship that is designated with non-Muslims, which is appointed by the Regional Government, as a house of worship that has complete facilities for persons with disabilities; (2) The house of worship has a special room for persons with disabilities; (3) Disability-friendly houses of worship are the focus of religious services.
Terapi Perilaku Anak Autisme Usia Sekolah Dasar Berbasis Applied Behavioral Analysis (ABA) di Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi Provinsi Kalimantan Selatan Amin, Barkatullah; Azkiya, Siti Rahmatul; Ramadan, Willy
Muadalah Vol. 10 No. 2 (2022)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/muadalah.v10i2.7451

Abstract

Autisme adalah gangguan neurobiologis yang kemudian mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak seringkali memiliki hambatan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Anak dengan autisme seringkali juga memiliki perbedaan pada proses pertumbuhan maupun perkembangan dari anak tanpa autisme, baik dari interaksi sosial maupun emosionalnya, sehingga memerlukan layanan pendidikan dan perlakuan yang khusus, sehingga fungsi terapi sangat penting untuk kemajuan perkembangan dan pertumbuhan anak dengan autisme. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan  gambaran  tentang bagaimana pelaksanaan layanan terapi terhadap anak dengan autisme pada Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI) provinsi Kalimantan Selatan. Dalam penelitian studi kasus ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif yang akan menguraikan hasil penelitian dengan bentuk teks naratif tentang subyek penelitian secara satu persatu . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses terapi perilaku yang diterapkan kepada dua subyek penelitian melalui metode ABA (Applied Behavioral Analysis) yang dilaksakanan pada Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI) secara signifikan telah memberikan kemajuan terhadap peningkatan perilaku dan kemampuan individu-individu anak dengan Autisme.  
Terapi Motorik Anak: Studi Awal Terapi pada Anak Autisme di Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi Kalsel Mof, Yahya; Amin, Barkatullah; Ramadan, Willy; Pranajaya, Syatria Adymas
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 5 (2023): Innovative: Journal of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kajian ini menunjukan pendekatan terapis dalam mengembangkan aspek motorik anak yang berlangsung di Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi Kalimantan Selatan. Terapi ini memberikan dampak yang baik bagi tumbuh kembang anak, meskipun tidak cepat. Perkembangan motorik yang berlangsung secara lebih optimal mempermudah anak autis dalam melaksanakan aktivitas fisik dengan lebih mudah dan terkontrol. Bagi anak autism berkembangnya gerakan fisik adalah sangat penting sekali, karena berkembangnya gerakan fisik bagi mereka akan sangat membantu kehidupan mereka, agar selanjutnya tidak bergantung sepenuhnya kepada orangtuanya secara terus menerus, dan inilah modalitas paling awal bagi mereka untuk belajar hidup mandiri di tengah masyarakat.