Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KEHUJAHAN HUKUM NEGARA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DALAM PEMIKIRAN SAYYID MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ DAN WAHBAH AZ-ZUḤAILÎ Yaqin, Nasrullah Ainul
Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum Vol. 5 No. 2 (2017): Al-Mazaahib
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.705 KB) | DOI: 10.14421/al-mazaahib.v5i2.1419

Abstract

The study of the  state law as the source of Islamic law in the course of usul fikih is still rarely performed by scholars of usul fikih, especially when discussing the sources of Islamic law; except what is done by Wahbah az-Zuḥailî in his usul fikih (al-Fiqh al-Islâmî), where he fully and comprehensively explains that State law can not be used as a source of Islamic law because it results from an intellectual sich. On the other hand, far beyond that, Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ has discussed in detail the state's jurisdiction as a source of Islamic law in his tafsir (al-Manâr). He accepted in absolute terms the jurisdiction of the State as a source of Islamic law from which the law contained the value of justice. Nothing else because the law of God is justice itself, as many are described in the Qur'an. According to Wahbah az-Zuḥailî the State law can not be used as a source of Islamic law because it is derived from the mere intellect, in which the scholars have agreed that pure reason can not be used as a source of Islamic law. Therefore, the law of the State can be used as a source of Islamic law if the law is based on divine revelation, either directly (Qur'an and Hadith) or not (general rules and spirit of Islamic law). In addition, although there are differences in views, there is an intersection between the two minds, which is equally acceptable to the state's jurisdiction as a source of Islamic law. Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ received the law of the State as a source of Islamic law from which the law contained justice, while Wahbah az-Zuḥailî received it from the law was based on divine revelation, whether it be directly or indirectly.Kata Kunci: Usul fikih, Hukum Negara, Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Wahbah az-Zuḥailî.
KEHUJAHAN HUKUM NEGARA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM: STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDA DAN WAHBAH AZ-ZUHAILI Yaqin, Nasrullah Ainul
Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum Vol. 3 No. 2 (2015): Al-Mazaahib
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/al-mazaahib.v3i2.2831

Abstract

Kajian terhadap kehujahan hukum Negara sebagai sumber hukum Islam  dalam  dirkursus  usûl al-fiqh  adalah  masih  sangat  jarang dilakukan oleh para ulama usû}  l al-fiqh, khususnya ketika membahas sumber-sumber hukum Islam; kecuali apa yang dilakukan oleh Wahbah az-Zuha}ilî dalam kitab usû}l al-fiqhnya (al-Fiqh al-Islâmî), di mana dia menjelaskan secara utuh dan komprehensif bahwa hukum Negara tidaklah bisa dijadikan sebagai sumber hukum Islam karena dihasilkan dari akal secara an sich. Di sisi lain, jauh sebelum itu, Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ}  telah membahas secara detail mengenai kehujahan hukum Negara sebagai sumber hukum Islam dalam kitab tafsirnya (al-Manâr). Dia menerima secara mutlak kehujahan hukum Negara sebagai sumber hukum Islam asal hukum tersebut mengandung nilai keadilan. Tidak lain karena hukum Allah adalah keadilan itu sendiri, sebagaimana banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Adapun menurut Wahbah az-Zuha}  ilî hukum Negara tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum Islam karena dihasilkan dari akal semata, di mana para ulama telah sepakat bahwa akal murni tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Oleh karenanya, hukum Negara bisa dijadikan sumber hukum Islam adalah apabila hukum tersebut disandarkan kepada wahyu Ilahi, baik langsung (Al-Qur’an dan Hadis) maupun tidak (kaidah- kaidah umum dan spirit syariat Islam). Selain itu, meski pun terjadi perbedaan pandangan, namun terdapat titik-temu di antara pemikiran keduanya, yaitu sama-sama menerima akan kehujahan hukum Negara sebagai sumber hukum Islam. Sayyid Muha}  mmad Rasyîd Ridâ}  menerima hukum Negara sebagai sumber hukum Islam asal hukum tersebut mengandung keadilan, sementara Wahbah az-Zuha}  ilî menerimanya asal hukum tersebut disandarkan kepada wahyu Ilahi, baik langsung maupun tidak.
The Universal Brotherhood In Islamic Law: A Study Of The Thoughts Of Yusuf Al-Qaradawi And Ahmad Syafii Maarif Yaqin, Nasrullah Ainul
Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum Vol. 12 No. 1 (2024): Al-Mazaahib
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/al-mazaahib.v12i1.3523

Abstract

Islamic radicalism and sectarianism conflicts between fellow Muslims not only destroy the peaceful life of mankind, but also damage the reputation of Islam. This paper discusses the concept of universal brotherhood in Islamic law according to the thoughts of Yusuf al-Qaradawi and Ahmad Syafii Maarif. It is a literature study and is descriptive-analytic-comparative using the usul al-fiqh approach. The results of this paper show that Yusuf al-Qaradawi and Ahmad Syafii Maarif both emphasize the obligation of Islamic law. They emphasize the obligation to carry out universal brotherhood in Islamic law, both brotherhood among Muslims (al-ukhuwwah ad-diniyyah) and brotherhood of fellow human beings (al-ukhuwwah al-basyariyyah). This is based on the Qur'an surah Al-Hujurat (49): 10 & 13 and several hadith. Al-Hujurat (49): 10 indicates the existence of brotherhood among Muslims. Therefore, Muslims must unite and help each other and should not be divided. should not be divided. As for Al-Hujurat (49): 13 indicates the existence of brotherhood among human beings. It emphasizes the equality of human dignity because all humans come from the same origin. Therefore, the brotherhood of fellow human beings has three elements that must be fulfilled, namely: love, equality, and mutual help. Yusuf al-Qaradawi calls the concept of universal brotherhood in Al-Hujurat (49): 10 and 13 as one of the great Islamic principles championed by Islam, while Ahmad Syafii Maarif calls it Qur'anic ethics. Both figures use the at-tafsir bi al-ma'śur method in interpreting Al-Hujurat (49): 10 and 13. This article contributes to the development of the understanding of Islamic law on the importance of maintaining Islamic and universal peace and brotherhood derived from contemporary thinkers.   Radikalisme Islam dan konflik sektarianisme antarsesama muslim tidak hanya menghancurkan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga merusak citra baik Islam. Tulisan ini membahas konsep persaudaraan universal dalam hukum Islam menurut pemikiran Yusuf al-Qaradawi dan Ahmad Syafii Maarif. Ia merupakan kajian literatur dan bersifat deskriptif-analitik-komparatif menggunakan pendekatan ilmu usul al-fiqh. Hasil tulisan ini menunjukkan bahwa Yusuf al-Qaradawi dan Ahmad Syafii Maarif sama-sama menekankan kewajiban melaksanakan persaudaraan universal dalam hukum Islam, baik persaudaraan sesama muslim (al-ukhuwwah ad-diniyyah) maupun persaudaraan sesama manusia (al-ukhuwwah al-basyariyyah). Hal ini berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Hujurat (49): 10 & 13 dan beberapa hadis. Al-Hujurat (49): 10 menunjukkan adanya persaudaraan sesama muslim. Oleh karena itu, umat Islam harus bersatu dan saling bantu sama lain serta tidak boleh berpecah belah. Adapun Al-Hujurat (49): 13 menunjukkan adanya persaudaraan sesama manusia. Ia menekankan persamaan martabat manusia karena semua manusia berasal dari asal-usul yang sama. Oleh karena itu, persaudaraan sesama manusia ini memiliki tiga unsur yang harus dipenuhi, yaitu: cinta, persamaan, dan saling tolong. Yusuf al-Qaradawi menyebut konsep persaudaraan universal dalam Al-Hujurat (49): 10 dan 13 sebagai salah satu prinsip agung Islam yang diperjuangkan oleh Islam, sedangkan Ahmad Syafii Maarif menyebutnya sebagai etika Al-Qur’an. Kedua tokoh tersebut sama-sama menggunakan metode at-tafsir bi al-ma’śur dalam menafsirkan Al-Hujurat (49): 10 dan 13. Artikel ini berkontribusi pada pengembangan pemahaman hukum Islam atas pentingnya menjaga perdamaian dan persaudaraan Islam maupun universal yang bersumber dari pemikir kontemporer.  
Adakah Pengaruh Penerapan Syariat Islam di Pamekasan Terhadap Lingkungan? : Studi Kasus Kerusakan Laut di Desa Batukerbuy Yaqin, Nasrullah Ainul
Al-Irfan : Journal of Arabic Literature and Islamic Studies Vol. 1 No. 1 (2018): September
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58223/al-irfan.v1i1.483

Abstract

Tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan, di antaranya: mengapa masyarakat Desa Batukerbuy melakukan penambangan pasir liar secara terus menerus? Bagaimana respon pemerintah Pamekasan? Apakah penerapan syariat Islam di Kabupaten Pamekasan yang tertuang dalam konsep Gerbang Salam memiliki pengaruh dan dampak terhadap pelestarian lingkungan? Bagaimana tinjauan maqâṣidî terhadap kerusakan laut yang terjadi di Desa Batukerbuy? Dalam hal ini, penulis menggunakan metode wawancara (field research) dan mengkaji literatur (library research) untuk mengetahui jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut dan mengajukan pendekatan maqâṣid asy-syarî’ah dengan teori ḥifẓ al-bî’ah untuk merespon kerusakan lingkungan di laut Desa Batukerbuy. Mengingat spirit pemerintah Pamekasan untuk membangun masyarakat Pamekasan yang Islami melalui Perda Syariat Islam dengan konsep Gerbang Salam. Sementara di sisi lain terjadi kerusakan lingkungan laut di Desa Batukerbuy yang harus segera diatasi. Hasil tulisan ini adalah: pertama, penambangan pasir ilegal dilakukan oleh masyarakat Desa Batukerbuy untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari; kedua, belum adanya penegakan hukum dari para aparatur negara (kepolisian). Sementara respon pemerintah Pamekasan, baik Bupati (2008-2013 dan 2013-2017), mau pun Kecamatan belum optimal dan maksimal, sehingga penambangan pasir semakin merajalela; dan ketiga, konsep Gerbang Salam dan penerapan syariat Islam di Kabupaten Pamekasan belum menyentuh kepada persoalan lingkungan, karena masih terfokus kepada persoalan akidah, syariat, dan akhlak. Sementara dalam tinjauan maqâṣid asy-syarî’ah (tujuan syariat Islam) menjaga kelestarian lingkungan (ḥifẓ al-bî’ah) merupakan salah satu tujuan syariat Islam yang harus diwujudkan, sehingga hal ini dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah Pamekasan untuk melestarikan lingkungan dan menanggulangi kerusakan laut yang terjadi di Desa Batukerbuy melalui Perda Syariah.