Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan PPAT dan Notaris Berdasarkan Pancasila Hartono, Honggo
El-Dusturie Vol 4 No 1 (2025)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/eldusturie.v4i1.10354

Abstract

Abstrak Ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam praktik pelayanan hukum pertanahan di Indonesia menimbulkan persoalan efektivitas dan keberlakuan hukum yang nyata. Beberapa regulasi bahkan menunjukkan ketidaksesuaian dengan jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan yang berlaku, sehingga mengurangi daya guna dan hasil guna hukum di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan Notaris dan PPAT dalam kerangka sistem hukum nasional yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, serta menawarkan pemikiran konseptual untuk mewujudkan sistem hukum yang harmonis, adil, dan responsif. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Notaris secara de jure memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan PPAT, sehingga peraturan yang mengatur keduanya tidak boleh bertentangan, melainkan perlu diselaraskan. Sinkronisasi regulasi menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan sistem hukum yang integratif dan berpihak pada keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pembaruan regulasi jabatan Notaris dan PPAT secara ex officio dalam satu kerangka hukum nasional, serta menegaskan pentingnya peran negara dan organisasi profesi dalam menjamin integritas dan orientasi keadilan dalam pelayanan publik hukum pertanahan   Kata kunci:Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Notaris, Sinkronisasi Peraturan; Kepastian Hukum; Pancasila
Roles of Notary in Drawing Up Marriage Agreement After Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 Hartono, Honggo
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 2 December 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss2.art4

Abstract

The objective of this study was to determine how Notary can play a role in creating a better legal certainty in relation to drawing up a marriage agreement after the issuance of Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 on October 27, 2016. This was a normative study using a case approach as well as a statute approach and a conceptual approach.  The results showed that after the issuance of Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 on October 27, 2016, marriage agreements shall no longer be regarded as something which is materialistic, selfish, unethical, or not in accordance with the Eastern culture among today's society. The Constitutional Court Decision has indirectly demonstrated another function and changed the general opinion of marriage agreements which, so far, are considered to only contain or only focus on issues related to the arrangement of property in marriage. There is actually a principle difference between the Law of Marriage and the Civil Code of the Republic of Indonesia, particularly after the issuance of Constitutional Court Decision. The law no longer requires Notarial Deed for a marriage agreement. However, the law requires the agreement to be written, and it can be made any time as long as the marriage is still ongoing, and the agreement can contain matters other than property in marriage, such as citizenship issues. In order to create a better legal certainty, justice and expediency, the marriage agreement should be drawn up in the presence of a Notary.Keywords: Notary; Prenuptial agreement; Legal certaintyPeran Notaris Dalam Membuat Perjanjian Perkawinan Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Notaris menciptakan kepastian hukum yang lebih baik terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada 27 Oktober 2016. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan kasus serta pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada 27 Oktober 2016, perjanjian perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang materialistis, mementingkan diri sendiri, tidak etis, atau tidak sesuai dengan budaya Timur dari kalangan masyarakat saat ini. Putusan MK tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan fungsi lain dan mengubah pandangan umum tentang perjanjian perkawinan yang selama ini dianggap hanya memuat, atau hanya terfokus pada, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengaturan harta benda dalam perkawinan. Sebenarnya, ada perbedaan prinsip antara Hukum Perkawinan dan KUHPerdata Indonesia, terutama setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang tidak lagi mensyaratkan Akta Notaris untuk perjanjian perkawinan. Namun, undang-undang mensyaratkan perjanjian itu harus tertulis, dapat dibuat kapan saja selama perkawinan masih berlangsung, dan perjanjian itu dapat memuat hal-hal selain harta benda dalam perkawinan, seperti masalah kewarganegaraan. Untuk menciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum yang lebih baik, maka perjanjian perkawinan harus dibuat di hadapan Notaris.Kata kunci: Notaris, Perjanjian Perkawinan, Kepastian Hukum
Efisiensi Pajak dalam Pemilihan Bentuk Badan Usaha UMKM: Studi Perbandingan CV dan PT serta Peran Strategis Notaris Hartono, Honggo; Silalahi, Hermanto
Akubis : Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 10 No. 1 (2025): Akubis : Akuntansi dan Bisnis
Publisher : Universitas Katolik Widya Karya Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37832/akubis.v10i1.75

Abstract

The choice of business entity by micro, small, and medium enterprises (UMKM) carries significant fiscal implications, as it determines the applicable tax regime. Generally, the Commanditaire Vennootschap (CV) is considered more tax-efficient than a Limited Liability Company (Perseroan Terbatas/PT), as profits withdrawn as prives are not subject to double taxation. However, under Indonesia's progressive Individual Income Tax (PPh OP) system, the tax burden on prive can exceed the final 10% tax rate on dividends distributed by PTs, particularly at higher income brackets. This study employs a qualitative approach through literature review and tax burden simulation comparing CV and PT. The findings reveal that the fiscal efficiency of CVs largely depends on the owner's personal income tax rate. The results emphasize the strategic role of Notaries as both legal and fiscal advisors in guiding UMKM to select the most appropriate business form. This research contributes to the tax policy discourse and strengthens the understanding of the Notary's role in fostering UMKM compliance and sustainability.