AbstrakHal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah klaim keselamatan dan kebenaran antar kelompok yang menimbulkan perdebatan dan ruang-ruang konflik karena perbedaan, khususnya agama. perpecahan menjadi terbuka lebar dan menyebabkan disharmonis antar kelompok. Ini karena konstruk teologi yang bersifat ekslusif, sehingga implikasinya adalah hilangnya ruang-ruang toleransi. Nurcholish Madjid adalah seorang tokoh yang sangat penting disaat wacana keagamaan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang membingungkan karena keberagaman. Maka dari itu Nurcholish memformulasikan sebuah konsep teologi, yang bertujuan untuk membuka kepada arah persatuan dan perdamaian antar kelompok agama. Â Dalam kontek ini, penting untuk mengkaji pemikiran Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, tentang teologi inklusif. Maka dari itu, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui argumentasi dasar dan rancang bangun dari pemikiran teologi inklusif Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid memaknai kata inklusif pertama, pandangan kelompok agama lain, pengertian ini sebagai gambaran yang implisit dari kelompok agama tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap penganut agama non Muslim. Dari sisi substansi, semua agama itu sama. Kesatuan agama-agama itu terjadi dalam tataran transendental. Hasil temuan dalam penelitian ini, bahwa Nurcholish melihat realitas manusia yang majemuk, dan baginya itu adalah suatu yang niscaya seperti pesan Allah yang tertulis dalam Al-Quran. Ini menurutnya dapat menjadi dasar ke arah pluralisme, yaitu sebuah sistem nilai yang positif terhadap pluralitas. Cak Nur terinspirasi dari Al-Quran dan sejarah Nabi Muhammad, khususnya ketika di Madinah. Madinah ditempati berbagai kelompok manusia yang berbeda-beda, akan tetapi mampu hidup harmonis, terbuka (inklusif) dan saling menghargai. Islam bagi Cak Nur sangat fleksibel, dan dapat didefinisikan ulang. Islam baginya mengandung arti sikap pasrah kepada Tuhan, dan ini menjadi dasar dalam beragama. Karena tidak ada agama yang benar, kecuali sikap pasrah kepada Tuhan. Maka ini menjadi titik pertemuan semua kelompok agama. Sehingga, setiap kelompok agama mampu mewujudkan peradaban yang terbuka (inklusif) dan toleransi, dengan menghayati agama sendiri tanpa menyerang kelompok agama lain.