Kepailitan merupakan suatu tindakan yang pada dasarnya dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang sebagai solusi terakhir antara debitur dan kreditur. Kepailitan tidak hanya terjadi pada perusahaan swasta, namun dapat pula terjadi pada perusahaan bumn seperti perum dan persero. Hal tersebut berarti perum dan persero memiliki potensi untuk dapat dipailitkan dengan sebab-sebab yang telah ditentukan. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis proses pengajuan permohonan kepailitan terhadap perum, penelitian ini difokuskan pada ketidakharmonisan norma hukum yang ada dalam pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepailitan, kemudian bahan hukum sekunder terdiri atas tulisan dari hasil penelitian, buku-buku, jurnal hukum yang berkaitan dengan kepailitan dan kamus. Masalah yang timbul dalam penelitian ini adalah ketidakharmonisan pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap perum yang dituangkan dalam Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Bumn. Hasil penelitian menunjukan bahwa kewenangan mengajukan permohonan pailit ada pada menteri keuangan sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun di lain sisi memberikan wewenang tersebut kepada direksi perusahaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Hal ini jelas terlihat suatu ketidakharmonisan norma yang dapat menimbulkan ketidakpastian.