p-Index From 2020 - 2025
0.817
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Ilmiah Kutei
Subanrio, Subanrio
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DAN ISTERI AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERNIKAHAN SIRI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 Harijanto, Andry; Darudin, M; Ma'akir, Hamdani; Subanrio, Subanrio
Jurnal Ilmiah Kutei Vol 20 No 2 (2021)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jkutei.v20i2.20486

Abstract

AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan mendeskripsikan: (1) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah siri, (2) proses pelaksanaan nikah siri, dan (3) merumuskan model perlindungan hukum bagi anak dan istri akibat perceraian. dalam pernikahan yang tidak terdaftar. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan antropologi hukum. Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam dan pengumpulan data sekunder. Penentuan informasi dilakukan secara purposive. Analisis data bersifat kualitatif. Hasil penelitian adalah:1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah siri, yaitu: biaya, ikatan dinas, sah menurut agama, hamil di luar nikah, aturan poligami yang sulit, belum cukup umur, dan terjerat zina.2. Proses pelaksanaan nikah siri menurut hukum Islam yaitu tata cara mengikuti ketentuan syarat dan rukun nikah. Menurut peraturan perundang-undangan, dianggap tidak ada perkawinan karena tidak tercatat secara administratif.3. Perumusan model perlindungan hukum, yaitu: (1) sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 itsbat perkawinan dan perkawinan kembali; (2) menurut undang-undang seorang anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa seorang anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan ayahnya dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (3) ) musyawarah kekerabatan menghasilkan ketentuan sebagai berikut: 1). Hadiah, hadiah, hibah, hibah wasiat, dan asuransi.Kata Kunci: Nikah Nikah, Perlindungan Hukum, Anak dan Istri
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA YANG SUDAH CERAI TERHADAP ANAK KANDUNGNYA DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM DI KOTA BENGKULU Subanrio, Subanrio
Jurnal Ilmiah Kutei Vol 20 No 2 (2021)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jkutei.v20i2.20488

Abstract

AbstrakTanggung jawab perdata orang tua yang bercerai terhadap anak kandungnya ditinjau dari hukum Islam di kota Bengkulu. Perkawinan merupakan perjanjian sakral yang keutuhannya harus dijaga karena perkawinan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Namun, dalam perjalanan pernikahan setiap orang tidak selalu berjalan mulus. Dalam pernikahan, ada masalah tertentu yang muncul. Ada yang mampu mempertahankan rumah tangganya, ada pula yang harus berakhir rumah tangganya sehingga terjadi perceraian. Meskipun perkawinan telah putus, pengasuhan anak tetap dilakukan oleh kedua orang tua. Merawat, merawat, dan mengasuh anak. Diatur dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014, secara harfiah dapat dilihat bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua dilaksanakan sampai anak berusia 18 tahun. Faktanya masih banyak terjadi penelantaran dan pemberian nafkah bagi anak pasca perceraian orang tua. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode empiris, jenis pendekatan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap orang tua wajib menjaga anaknya meskipun perkawinan telah putus. Hal ini tertuang dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang berbunyi: (1). Baik ibu maupun ayah tetap berkewajiban mengasuh dan mendidik anak-anaknya, semata-mata atas dasar kepentingan anak, jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan putusan. (2). Ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak, jika ternyata ayah tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu bertanggung jawab atas biaya tersebut. (3). Pengadilan dapat mewajibkan mantan suami untuk memberikan biaya hidup dan/atau menetapkan kewajiban bagi mantan istri. Namun pada kenyataannya masih banyak orang tua yang lalai akan nafkah yang harus dipenuhi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang tua tidak melaksanakan tanggung jawabnya terhadap anak kandungnya: (1). Kurangnya komunikasi yang baik dari kedua orang tua pasca perceraian. (2). Ekonomi lemah. (3). Kurangnya pengetahuan agama dalam keluarga.Kata Kunci: Paraantes Tanggung Jawab Sipil, Cerai, Perkawinan
MODEL SISTEM KEKERABATAN MENURUT HUKUM ADAT KAUM PADA MASYARAKAT DI KOTA MUKOMUKO Harijanto, Andry; Ma'akir, Hamdani; subanrio, Subanrio; Susetyanto, Joko
Jurnal Ilmiah Kutei Vol 22 No 1 (2023)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jkutei.v22i1.22836

Abstract

Tujuan khusus penelitian adalah untuk menjelaskan dan menggambarkan: penyelesaian pelanggaran adat menurut Pranata Perdamaian Adat Kaum. Untuk mencapai tujuan khusus tersebut digunakan pendekatan kualitatif dan antropologi hukum. Teknik pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara mendalam, dan pengumpulan data sekunder. Sedangkan analisis data adalah kualitatif, yang dilakukan secara terus menerus sejak awal penelitian sampai dengan akhir penelitian. Hasil penelitian adalah: Penyelesaian pelanggaran adat menurut Pranata Perdamaian Adat Kaum. Dalam penyelesaian sengketa ini pertamakali diselesaikan oleh para fungsionaris adat Kaum, yaitu terdiri dari Kepala Kaum,Wakil Kepala Kaum, Orang Tua Kaum, dan Pegawai Syarak Kaum. Apabila penyelesaian sengketa melalui fungsionaris adat Kaum tidak berhasil, maka sengketa tersebut akan dibawa oleh para pihak yang bersengketa melalui fungsionaris adat (Penghulu Adat) dari Badan Musyawarah Adat (BMA) di desa (kelurahan), kecamatan, dan kabupaten. Pranata perdamaian adat Kaum ini sifatnya tidak statis, artinya dalam menentukan denda adat setiap pelanggaran adat tidak selalu sama tetapi berdasarkan keadaan dan kemampuan para pihak yang bersengketa. Penentuan denda adat ini lebih bersifat sekunder, sedangkan yang bersifat primer adalah “damai”, yaitu adanya kehidupan antara warga adat Kaum, yang saling bantu membantu (tolong menolong atau gotomg royong), suasana persahabatan, suasana keakraban, dan hubungan kekeluargaan.
Model Penyelesaian Pelanggaran Adat Melalui Pranata Perdamaian Adat Kaum Ma'akir, Hamdani; Harijanto, Andry; Subanrio, Subanrio; Susetyanto, Joko
Jurnal Ilmiah Kutei Vol 21 No 1 (2022)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jkutei.v21i1.22845

Abstract

Tujuan khusus penelitian adalah untuk menjelaskan dan menggambarkan: penyelesaian pelanggaran adat menurut Pranata Perdamaian Adat Kaum. Untuk mencapai tujuan khusus tersebut digunakan pendekatan kualitatif dan antropologi hukum. Teknik pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara mendalam, dan pengumpulan data sekunder. Sedangkan analisis data adalah kualitatif, yang dilakukan secara terus menerus sejak awal penelitian sampai dengan akhir penelitian. Hasil penelitian adalah: Penyelesaian pelanggaran adat menurut Pranata Perdamaian Adat Kaum. Dalam penyelesaian sengketa ini pertamakali diselesaikan oleh para fungsionaris adat Kaum, yaitu terdiri dari Kepala Kaum,Wakil Kepala Kaum, Orang Tua Kaum, dan Pegawai Syarak Kaum. Apabila penyelesaian sengketa melalui fungsionaris adat Kaum tidak berhasil, maka sengketa tersebut akan dibawa oleh para pihak yang bersengketa melalui fungsionaris adat (Penghulu Adat) dari Badan Musyawarah Adat (BMA) di desa (kelurahan), kecamatan, dan kabupaten. Pranata perdamaian adat Kaum ini sifatnya tidak statis, artinya dalam menentukan denda adat setiap pelanggaran adat tidak selalu sama tetapi berdasarkan keadaan dan kemampuan para pihak yang bersengketa. Penentuan denda adat ini lebih bersifat sekunder, sedangkan yang bersifat primer adalah “damai”, yaitu adanya kehidupan antara warga adat Kaum, yang saling bantu membantu (tolong menolong atau gotomg royong), suasana persahabatan, suasana keakraban, dan hubungan kekeluargaan.