Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bay‘ yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.[1] Sedangkan dalam bahasa Arab jual beli disebut al-bay‘ yang berarti menukar (pertukaran). Kata jual (al-bay‘) dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya yaitu beli (asy-syira’) dengan demikian al-bay‘ berarti menjual dan sekaligus beli.[2] Dari pengertian di atas, yang menjadi objek perbincangan al-bay‘ adalah mekanisme, sebab hal itulah yang dapat menentukan status sah tidaknya jual beli. Selama mekanisme yang terjadi masih sesuai dengan syara’ atau hukum yang berlaku, maka jual beli menjadi legal menurut kaca mata hukum. Tetapi bila mekanisme jual beli yang terjadi tidak lagi sesuai dengan syara’ atau hukum yang berlaku, maka status bisa berubah dari legal menjadi illegal Seperti halnya praktek jual beli ikan didalam tambak, mekanismenya bermula dengan penjual mencari calon pembeli untuk menawarkan barang (ikan) setelah penjual menemukan calon pembeli penjual menawarkan barang (ikan) tersebut kepada pembeli dengan harga pembuka dan kemungkinan masih bisa terjadi nego di keduabelah pihak. Transaksi jual beli ikan didalam tambak ini oleh keduabelah pihak dilakukan di darat. Metode yang di pakai penjual dalam menawarkan daganganya (ikan) kepada pembeli hanya dengan memperlihatkan tambak penjual (ikan) yang diperjual belikan kepada pembeli. Setelah transaksi disepakati dengan harga tertentu, secara otomatis status ikan didalam tambak milik pembeli terhitung sejak terjadi kesepakatan itu. Untuk pengambilan barang (ikan) sepenuhnya diserahkan kepada pembeli, penjual tidak lagi ikut andil mengenai pengambilan barang. Sewaktu-waktu pembeli bisa bergegas menuju tambak untuk mengambil barang (ikan) yang dibelinya sesuai dengan letak titik koordinat yang diberikan penjual kepada pembeli. Jumlah serta kualitas ikan masih samar dan bisa saja ikan yang ada didalam tambak itu tidak seperti yang diharapkan. [1] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 2. [2] Sayyid Syabiq, Penerjemah Muhammad Thalib, Fiqh Sunnah 12 (Bandung: PT. Al-Ma`arif, 1999), 47.