Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

GAMBARAN ORGANISASI RUANG PADA RUMAH LAKSMANA MAEDA DI MENTENG, JAKARTA, BERDASARKAN HOUSEHOLD ARCHAEOLOGY Muhamad Alnoza; Desfira Ramadhania Rousthesa; Garin Dwiyanto Pharmasetiawan
Forum Arkeologi VOLUME 34, NOMOR 2, OKTOBER 2021
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/fa.v34i2.689

Abstract

Maeda’s house is one of colonial houses with layout and furnitures that are still remained and maintained today. Through Maeda’s house, we could still study its inhabitants social values that are reflected from their remains. This study seeks to reconstruct the social values that existed at that time, through the spatial arrangement of Maeda’s house using household archaeology. The method used in analysing this problem consists of data collection, analysis and interpretation. Based on the studies that have been carried out, it can be seen that the spatial arrangement in Maeda’s house is related to the social class of its residents. Spatial planning in this case also includes accessibility, room size and facilities. This study also provides an overview of the hierarchical figure of Maeda in managing his house, as well as showing examples of the arrangement of luxury houses in Menteng during his time. Rumah Laksamana Maeda merupakan rumah yang kaya akan sejarah dalam perjalanan Indonesia menjadi negara. Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Rumah Laksamana Maeda adalah tata ruang dan perabotannya yang masih terjaga hingga sekarang. Rumah Laksamana Maeda dapat dikatakan masih mencerminkan nilai sosial yang ada pada masa itu. Kajian ini berusaha untuk merekonstruksi nilai sosial yang ada pada masa itu, melalui penataan ruang rumah Maeda dengan menggunakan paradigma arkeologi rumah. Metode yang digunakan dalam menjawab masalah ini terdiri dari pengumpulan data, analisis dan interpretasi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa penataan ruang di rumah Maeda berkaitan dengan kelas sosial para penghuninya. Penataan ruang dalam hal ini adalah juga termasuk aksesibiltas, ukuran ruang dan fasilitas. Kajian ini juga memberikan gambaran mengenai sosok Maeda yang bersifat hirarkis dalam menata rumahnya, sekaligus juga menunjukkan contoh pola penataan rumah mewah di Menteng pada masanya.
MODEL PENGEMBANGAN DAN POTENSI AGROWISATA KAMPER BERBASIS DATA ARKEOLOGIS DAN SEJARAH DI BARUS Muhamad Alnoza
Metahumaniora Vol 10, No 2 (2020): METAHUMANIORA, SEPTEMBER 2020
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v10i2.28274

Abstract

Kamper adalah komoditas rempah yang amat dikenal bagi dunia internasional di masa lampau. Minyak dari getahnya yang harum membuatnya diburu oleh pelbagai pedagang di dunia. Barus sebagai kota pesisir di barat Sumatera adalah penghasil kamper terbaik. Namun, saat ini keberadaan kamper menjadi langka. IUCN (International Union for the Conservation Nature and Natural Resources) menyebutkan bahwa kamper saat ini telah memasuki masa yang amat kritis dan bahkan terancam punah. Tulisan ini membahas soal pengembangan agrowisata berbasis data arkeologis dan sejarah di Barus sebagai bentuk upaya pelestarian kamper serta pengembangan perekonomian daerah yang berkelanjutan. Tulisan ini secara lebih jelas mengangkat masalah akan model agrowisata yang seperti apa yang hendak dikembangkan di Barus beserta dengan potensi yang menyertainya. Dalam menjawab masalah tersebut, digunakan metode penelitian kualitatif. Proses yang pertama dilakukan adalah dengan mendeskripsikan potensi agrowisata berupa data  arkeologis serta sejarah yang berhubungan dengan Barus beserta kampernya. Setelah itu, dilakukan analisis terhadap model agrowisata yang hendak dikembangjkan. Pada akhirnya dibuat kesimpulan mengenai potensi data sejarah serta arkeologis dari Barus serta model yang digunakan dalam pengembangan agrowisata di Barus.
Orang Khmer di Jawa pada Masa Hindu-Buddha (Abad IX-XIV M): Apakah suatu fenomena Diaspora? Muhamad Alnoza
Naditira Widya Vol 15 No 1 (2021): NADITIRA WIDYA VOLUME 15 NOMOR 1 APRIL 2021
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v15i1.453

Abstract

Orang asing di Jawa telah diketahui keberadaannya melalui penyebutan wargga kilalan di prasasti. Prasasti pada masa Airlangga hingga Majapahit dengan gamblang menyebutkan keberadaan orang-orang asing yang dalam hal ini pada konteks penarikan pajak terhadap orang-orang asing tersebut. Salah satu bangsa asing yang mendiami Jawa pada masa Jawa Kuno adalah orang Khmer. Keunikan kasus bermukimnya orang Khmer di Jawa disebutkan pula dalam sumber epigrafi Khmer. Dalam prasasti-prasasti Khmer disebutkan fenomena pemukiman orang Khmer di Jawa, dan diberitakan pula bahwa salah satu raja Khmer pernah menetap di Jawa selama beberapa tahun. Kajian ini berusaha untuk menjawab permasalahan dinamika pendudukan orang Khmer di Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan kasus menetapnya orang Khmer di Jawa sebagai suatu fenomena diaspora atau bukan. Tahapan penelitian dilakukan dengan pengumpulan data, analisis, dan interpretasi, dengan data utama berupa prasasti. Kajian ini menghasilkan pemahaman mengenai dinamika motivasi perpindahan tempat bermukim orang Khmer ke Jawa, letak daerah bermukim orang Khmer di Jawa, dan bentuk interaksi orang Khmer dengan orang Jawa. Meskipun demikian, belum ada bukti-bukti yang menguatkan fenomena tersebut sebagai suatu diaspora.
PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN SUNDA DI WILAYAH PINGGIRAN: TINJAUAN TEORI PANOPTICON Muhamad Alnoza
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 8, No 1 (2022)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/pjhpish.v8i1.225

Abstract

Kerajaan Sunda merupakan negara yang bercorak kebudayaan Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa bagian Barat dan berkuasa selama abad ke-8 hingga abad ke-16 M. Kerajaan tersebut oleh para peneliti sebelumnya diperkirakan membentang dari Banten hingga daerah Banyumas modern pada masa kejayaannya (abad ke-16 M). Sebagai suatu negara yang besar, kerajaan ini berpusat di Kota Pakwan Pajajaran atau Bogor sekarang. Secara arkeologis, temuan-temuan yang berhubungan dengan Kerajaan Sunda utamanya berupa prasasti,  rupanya jugaditemukan di daerah Sukabumi dan Cirebon. Oleh karena itu muncul asumsi, bahwa di masa lalu Kerajaan Sunda telah membangun hubungan asosiatif antara Pakwan Pajajaran sebagai pusat kerajaan dengan daerah pinggiran di sekitarnya. Kajian ini dengan demikian mempermasalahkan bagaimana keterkaitan antara keterangan pada Prasasti Sang Hyang Tapak dan Huludayeuh sebagai media panopticon dengan lokus penemuannya sebagai suatu daerah pinggiran Kerajaan Sunda. Tujuan dari diajukannya permasalahan penelitian ini adalah untuk merekonstruksi daerah pusat dan pinggiran di Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja yang mengeluarkan Prasasti Sang Hyang Tapak dan Huludayeuh. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat dijumpai informasi baru mengenai keberadaan daerah produksi dan perbatasan kerajaan Sunda melalui indikasi wacana kekuasaan pada Prasasti Sang Hyang Tapak dan Huludayeuh.
NILAI DAN NORMA PADA PRASASTI-PRASASTI KAWALI DAN KEBERLANJUTANNYA DI NASKAH SANGHYANG SIKSA KANDA NG KARESIAN Muhamad Alnoza
JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA Vol 8, No 1 (2022)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36424/jpsb.v8i1.250

Abstract

Kajian ini secara umum membandingkan nilai dan norma pada prasasti-prasasti Kawali dengan naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Masalah utama dalam penelitian ini adalah meninjau pertautan nilai dan norma antara prasasti-prasasti Kawali dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian. Tujuan dari dilakukannya kajian ini adalah untuk mengetahui adanya indikasi keberlanjutan norma dan nilai pada dua sumber tertulis. Penelitian dilakukan dengan menerapkan tiga tahapan yang di antaranya pengumpulan data, analisis dan penafsiran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa nilai dan norma yang dilanjutkan dari masa dikeluarkannya prasasti-prasasti Kawali hingga masa ditulisnya naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Nilai dan norma yang dilanjutkan di antaranya, anjuran untuk mengabdi pada raja, menjaga alam, berperilaku adil dan tidak berjudi.
MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI RAJA PEMBARU JAWA: ANALISIS FUNGSIONAL PADA GAYA PEMERINTAHAN RAJA AIRLANGGA PADA ABAD KE-11 M Muhamad Alnoza
Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 5, No. 2, June 2022
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33652/handep.v5i2.262

Abstract

This paper critically discusses Airlangga’s style of government using the functional analysis approach proposed by Robert K. Merton. The problem raised in this study is how Airlangga performs his function as a king in his royal government. The study aims to find out the functions of manifest, latent functions, and dysfunctional aspects of Airlangga through the policies he issued. The method used in this qualitative research consisted of data collection through library research and data processing by analyzing and interpreting. By comparing Airlangga policy and the concept of , the study has found that Airlangga carried out manifest function in military and economy. In the meantime, he carried out the latent function in the international relations. Airlangga’s dysfunctional aspect has shown Airlangga’s lack of functioning as the symbol of the glory of a country and the guardian of the kingdom’s internal stability. Therefore, the novelty of the research is Airlangga’s position as a dysfunctional figure in one of the aspects that a king was supposed to own
Konsep Raja Ideal pada Masa Sriwijaya Berdasarkan Bukti-Bukti Tertulis Muhamad Alnoza
Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara Vol 11, No 2 (2020): Desember
Publisher : Perpustakaan Nasional RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (676.755 KB) | DOI: 10.37014/jumantara.v11i2.1041

Abstract

The king in the Hindu-Buddhist era had such a big role for his people. The ideal king is needed by the people so that the country becomes prosperous. The concept of an ideal king has been known for a long time in the archipelago, even since before Hindu-Buddhist culture developed. In Java and Bali the ideal king is described in the Astabrata Concept. The concept of an ideal king in Srivijaya has never been discussed by researchers, even though Srivijaya was one of the ruling kingdoms in Indonesia during the early Hindu-Buddhist era. This study discusses about concept of the ideal king that developed in Srivijaya based on written data in the form of inscriptions scattered in several conquered Srivijaya areas. The concept of the ideal king of Srivijaya needs to be known to reconstruct how much acceptance of Hindu-Buddhist culture in Indonesia, especially during the Srivijaya era. In answering these problems, research was conducted with archeological methods, which consisted of data collection, analysis and interpretation. Based on this research, it can be seen that the concept of the ideal king of Srivijaya was much influenced by Buddhism, especially the Vajrayana school. The king in Srivijaya depicted as an excellent person, born as a man, diplomat and wealthy.
KONSTRUKSI MASYARAKAT JAWA KUNO TERHADAP TRANSGENDER PEREMPUAN PADA ABAD KE 9-14 M Muhamad Alnoza; Dian Sulistyowati
AMERTA Vol. 39 No. 1 (2021)
Publisher : Penerbit BRIN (BRIN Publishing)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract. The Construction of Ancient Java Community Towards Transgender Women in The 9th-14th Centuries. Transwomen in Indonesia are easily recognized by one's physical appearance. The survey stated that 89.3% of LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) groups have experienced discrimination and violence. The views of the Indonesian people towards transgender women today are influenced by the perspectives and constructions of society in the past. This paper is to reconstruct how the perspective of the ancient Javanese society towards trans women. Thepurpose of this research is to find the origin of the current Indonesian people's view of transgender women from past references. This study uses a descriptive analysis approach through the stages of data collection, analysis, and interpretation. It can be seen that the construction of society during the Javanese era considered transgender people as a group of people with disabilities. In addition to these constructions, for the royal group, trans women are part of the king's servants who have magical and political powers. Thus, trans women had an important position and privileges in the ancient Javanese kingdom. The position of transgender women can also be understood as an archipelago tradition, which places transwomen as a link between the human world and the world of gods, as can be found in bissu in South Sulawesi. Abstrak. Golongan transpuan di Indonesia mudah dikenali melalui penampilan fisik seseorang. Survei menyebutkan bahwa 89,3% kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) telah mengalami diskriminasi dan kekerasan. Pandangan masyarakat Indonesia terhadap transpuan dewasa ini dipengaruhi oleh perspektif dan konstruksi masyarakat pada masa lalu. Tulisan ini dimaksudkan untuk merekonstruksi bagaimana perspektif masyarakat Jawa Kuno terhadap transpuan. Tujuan penelitian adalah untuk mencari permulaan pandangan masyarakat Indonesia saat ini terhadap transpuan dari referensi masa lampau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi analisis melalui tahap pengumpulan data, analisis, dan interpretasi. Dapat diketahui bahwa konstruksi masyarakat pada masa Jawa Kuno menganggap transpuan sebagai golongan disabilitas. Di samping konstruksi tersebut, bagi golongan kerajaan, transpuan merupakan bagian dari abdi raja yang memiliki kekuatan magis dan politis. Dengan demikian, transpuan memiliki posisi yang penting dan hak-hak istimewa dalam kerajaan zaman Jawa Kuno. Posisi transpuan tersebut juga dapat dipahami sebagai suatu tradisi khas Nusantara, yang menempatkan transpuan sebagai penghubung dunia manusia dan dunia dewa, sebagaimana dapat dijumpai pula pada bissu di Sulawesi Selatan.
ORANG KHMER DI JAWA PADA MASA HINDU-BUDDHA (ABAD KE-9--15 MASEHI): EKSISTENSINYA DIPANDANG DARI TEORI DIASPORA Muhamad Alnoza
Naditira Widya Vol. 15 No. 1 (2021): Naditira Widya Volume 15 Nomor 1 April Tahun 2021
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Orang asing di Jawa telah diketahui keberadaannya melalui penyebutan wargga kilalan di prasasti. Prasasti pada masa Airlangga hingga Majapahit dengan gamblang menyebutkan keberadaan orang-orang asing yang dalam hal ini pada konteks penarikan pajak terhadap orang-orang asing tersebut. Salah satu bangsa asing yang mendiami Jawa pada masa Jawa Kuno adalah orang Khmer. Keunikan kasus bermukimnya orang Khmer di Jawa disebutkan pula dalam sumber epigrafi Khmer. Dalam prasasti-prasasti Khmer disebutkan fenomena pemukiman orang Khmer di Jawa, dan diberitakan pula bahwa salah satu raja Khmer pernah menetap di Jawa selama beberapa tahun. Kajian ini berusaha untuk menjawab permasalahan dinamika pendudukan orang Khmer di Jawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan kasus menetapnya orang Khmer di Jawa sebagai suatu fenomena diaspora atau bukan. Tahapan penelitian dilakukan dengan pengumpulan data, analisis, dan interpretasi, dengan data utama berupa prasasti. Kajian ini menghasilkan pemahaman mengenai dinamika motivasi perpindahan tempat bermukim orang Khmer ke Jawa, letak daerah bermukim orang Khmer di Jawa, dan bentuk interaksi orang Khmer dengan orang Jawa. Meskipun demikian, belum ada bukti-bukti yang menguatkan fenomena tersebut sebagai suatu diaspora.The presence of foreigners in Java is known from references to ‘wargga kilalan’ in inscriptions. Inscriptions issued from the Airlangga to Majapahit period clearly mentioned the existence of foreigners, particularly regarding the tax collection of foreigners. One of the foreign communities that resided in Java during the ancient Javanese period was the Khmer people. Such phenomenon is recorded also in inscriptions found in Cambodia, including a Khmer king who spent several years in Java. This study seeks to clarify the dynamics of the relationship of the Khmer residents with the Javanese population and to determine whether this can be considered as an example of a diasporic phenomenon. The steps of the research included data collection, analysis, and interpretation, with inscriptions as the main data. This study yielded an understanding of the motivation for the Khmer migration to Java, the location of the Khmer settlements in Java, and the nature of the interaction between the Khmer and the Javanese. However, there has been no evidence that supported such a phenomenon as a diaspora.