Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ANALISA KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM Yumna, Laila; Taufik, Azhar
Emanasi : Jurnal Ilmu Keislaman dan Sosial Vol 6 No 1 (2023): Jurnal Emanasi Volume 6 Edisi 1 Tahun 2023
Publisher : Asosiasi Dosen Peneliti Ilmu Keislaman dan Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The presence of Islamic financial institutions (LKS) which is quite massive, makes Islamic economic operational activities must have the nature of legal certainty. At present, specifically the fatwa of the National Sharia Council of the Indonesian Ulema Council (DSN-MUI) can be said to be material law in the sharia economy. Meanwhile, the Sharia Economic Law Compilation (KHES) is a formal and material law as a reference for judges at the Religious Courts in resolving sharia economic disputes. This research is a library research with a sociological approach. Where the purpose of this writing is to analyze KHES and DSN-MUI fatwas in providing space for the development of the Islamic economy through the synergy between the two in the perspective of legal sociology. The results of the research concluded that the existence of KHES was based on PERMA No. 2 in 2008 as a guideline and is binding on judges in the religious court in resolving the economic affairs of the Syrian regime. While the DSN MUI fatwa is bound to Syrian economic activities based on the absorption of fatwa-fatwa to the regulations of legislation such as PBI, PMK or SEOJK. On the basis of this, it causes KHES to have a higher position than DSN fatwa. Therefore, the fatwa issued by the DSN MUI should
KONTEKSTUALISASI PENDISTRIBUSIAN ZAKAT FITRAH MENURUT MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH Yumna, Laila; Fakhrurazi; Nurhadi; M. Reza Prima; Hanum Aulia
JURNAL KEMUHAMMADIYAHAN DAN INTEGRASI ILMU Vol. 2 No. 1 (2024): Juni
Publisher : LPP AIK UMJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Zakat fitrah merupakan kewajiban ibadah sosial yang memiliki fungsi spiritual sekaligus ekonomi dalam sistem Islam. Meskipun secara tekstual zakat fitrah disalurkan menjelang Idul Fitri, pendekatan tradisional yang bersifat konsumtif telah dikritisi oleh berbagai ulama dan lembaga keagamaan, termasuk Majelis Tarjih Muhammadiyah. Fatwa yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 pada tahun 2020 merekomendasikan pendistribusian zakat fitrah yang dapat didistribusikan sepanjang tahun, dan juga diarahkan pada pemberdayaan ekonomi mustahik melalui model zakat produktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara kontekstual distribusi zakat fitrah berdasarkan pandangan fikih klasik, fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan teori keadilan distributif Yusuf al-Qaradawi. Metode yang digunakan adalah studi pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif dan teknik content analysis terhadap literatur fikih klasik dan kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi zakat fitrah secara produktif memiliki justifikasi fikih dari mazhab Hanafiyah, serta relevansi sosial dalam konteks kemiskinan struktural di Indonesia. Fatwa Tarjih menjadi instrumen normatif yang mendorong reformasi distribusi zakat, dengan menekankan aspek pemberdayaan ekonomi mustahik dan penguatan fungsi sosial zakat.
Evaluasi Penerapan Good Corporate Governance Pada Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) Mizan Amanah Yumna, Laila; Muttaqien, M. Khaerul; Risdianto, Risdianto; Yuni, Kusnul Ciptanila; Alzalfaa, Alya; Nuraini, Virli; Maesaroh, Siti
IKRAITH-EKONOMIKA Vol. 8 No. 2 (2025): IKRAITH-EKONOMIKA Vol 8 No 2 Juli 2025
Publisher : Universitas Persada Indonesia YAI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) memiliki peran strategis dalam mengelola dan mendistribusikan dana zakat kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun, praktik tata kelola yang belum optimal, khususnya dalam penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG), masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan kepercayaan publik dan efektivitas lembaga. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana prinsip-prinsip GCG diterapkan di LAZNAS Mizan Amanah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara, dan analisis dokumen dari laman resmi Mizan Amanah. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengacu pada lima prinsip GCG: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan GCG di Mizan Amanah telah menunjukkan tren yang positif, namun masih perlu penguatan pada sejumlah aspek struktural dan sistemik guna mencapai tata kelola yang lebih optimal dan berkelanjutan. Di mana, komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas direalisasikan melalui publikasi laporan keuangan tahunan. Sedangkan, aspek independensi dan pengawasan kelembagaan masih perlu diperkuat. Selain itu, digitalisasi pengelolaan zakat belum dioptimalkan secara maksimal, guna mendukung efisiensi dan perluasan jangkauan layanan
Belis Gading dalam Perkawinan Adat Lamaholot Desa Leworaja: Telaah Normatif Empiris dalam Perspektif Hukum Islam Insafiyah Lamablawa, Nurmata; Fakhrurazi, Fakhrurazi; Alfarisi, Usman; Zakaria, Endang; Nurhadi , Nurhadi; Fatmakartika, Rini; Yumna, Laila
As-Syar i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga  Vol. 5 No. 3 (2023): As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Publisher : Institut Agama Islam Nasional Laa Roiba Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47467/as.v5i3.9949

Abstract

This study examines the practice of ivory belis in Lamaholot traditional marriage in Leworaja Village, Lembata Regency, East Nusa Tenggara. Belis in the form of elephant ivory is a customary requirement that has social, cultural, and honorary values for Lamaholot women. However, this practice often burdens men economically and raises normative issues in the perspective of Islamic law which emphasizes the simplicity of dowry and the prohibition of burdening prospective husbands. This research uses a qualitative method with data collection techniques through in-depth interviews with traditional leaders, religious leaders, and local communities, as well as analysis of customary law documents and marriage fiqh. The results of the study show that ivory belis is seen as a symbol of self-esteem and kinship bonds, but in Islamic law this tradition cannot be positioned as a legal condition for marriage. Islam only requires a simple dowry which is the full right of the wife. Therefore, the practice of ivory belis requires reinterpretation in order to maintain the cultural values of the Lamaholot community while being in line with the principles of maqaṣid al-shari'ah which emphasizes convenience, justice, and benefits.