ANGELA PUTRI LARASWATI
Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN LOSIO EKSTRAK METANOL BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus Britton dan Rose) ., Amanda Angelina Sinaga
Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN Vol 1, No 1 (2014): Naskah Publikasi Mahasiswa Farmasi Untan
Publisher : Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.593 KB)

Abstract

Hylocereus polyrhizus Britton and Rose (Red dragon fruit) has been shown tohave antioxidant activity. The fruit mainly contains vitamin C, polyphenol, flavonoid.These compound are able to prevent radicals forming which can cause aging or otherdiseases. This research was aimed to investigate antioxidant efectivity from H. polyrhizus in form of lotion. Formulation of lotion made with 5 concentration from H. polyrhizus methanol extract. There are 0,04; 0,08; 0,16; 0,32 and 0,64%. Lotion antioxidanteffectivity was analyzed with DPPH method and observed physicochemical properties areorganoleptic, dispersive power, adhesion, viscosity and pH. The research showed H.polyrhizus methanol extract had antioxidant effectivity with percent inhibition as big as19,99±0,33; 25,01±0,08; 39,14±0,04; 66,69±0,12 dan 83,37±0,05. Result data analysisshowed significantly different of the antioxidant effectivity test and the physicochemicalproperties test. Dispersive power obtained in the range of 5,55-6,9 cm, adhesion obtainedin the range 56,33-64,67 s, pH obtained in the range 7,81-7,89 and viscosity obtainedwith a value of 40 poise that showed lotion had good physicochemical and in range ofallowable. The physical stability observation of five formula with cycling test methodshowed unstability cause discolouration (oxidation). As well as the methods ofmechanical test showed unstability of lotion because saponification process. Keywords:  Hylocereus polyrhizus, Antioxidant, DPPH, physicochemical test.
The effects of dietary neutral detergent fiber ratio on the rumen degradability and growth performance of Philippine native goats (Capra hircus Linn.) D, Nugroho; CC, Sevilla; AA, Angeles; ., Sunarso
Indonesian Journal of Animal and Veterinary Sciences Vol 18, No 4 (2013)
Publisher : Indonesian Animal Sciences Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.628 KB) | DOI: 10.14334/jitv.v18i4.336

Abstract

This research’s objective was to determine the dietary rumen degradability and growth performances of goats fed dietary treatments. Eighteen (18) female goats were grouped into 6 weight classes for the feeding trial experiment, the average BW of the animals that were used was about 7.96 ± 2.21 kg (CV - 27.76%) and were approximately 1 year of age. For the in situ digestibility, three (3) male mature goats surgically fitted with cannulated rumen were used. Three (3) dietary treatments were used for all studies as follows: T1 - 72 : 28  NDF Forage-Concentrate Ratio; T2 - 64 : 36; T3 - 57 : 43. A RCBD was applied for Feeding Trial and a 3 x 3 LSD was used for In Situ Study. Treatments 1, 2 and 3 did not affect the rate of rumen degradability of DM, NDF and CP at 0 hours, potentially degradable fraction (b) and the rate of degradation of b. The treatments affected the intake rate of forage and concentrates on the DM, CP and NDF. However, the total intake of DM, CP and NDF were not affected by the treatments. Growth performance of goats used in this experiment was not affected by the treatments as indicated by the similar production and efficiency. This means that diets given to native goats with ratio of NDF forage of 72.07% can be applied since the value of the output and efficiency of feed utilization had the same value compared to diets ratio of NDF forage of 57.21%. Key Words: NDF Forage, Ration, Goat
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENGANIAYAAN TERHADAP PENCARI SUAKA WARGA NEGARA AFGHANISTAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM PETUGAS DI RUMAH DETENSI IMIGRASI PONTIANAK DITINJAU DARI KRIMINOLOGI - A01109035, PIRAMITHA ANGELINA
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 1, No 2 (2013): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penulis membahas mengenai kejahatan penganiayaan yang terjadi pada tanggal 27 februari 2012 di Rumah Detensi Imigrasi Pontianak yang dilakukan oleh 10 orang oknum petugas jaga terhadap 3 orang pencari suaka warga Negara Afghanistan yang mengakibatkan meninggalnya seorang korban bernama Taqi Nekoyee(28 tahun) ditinjau dari kriminologi. Penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris karena berkaitan dengan bagaimana hukum dapat dipelajari sebagai gejala sosial empirik. Dengan pendekatan deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan secara tepat sebuah keadaan dan fakta yang tampak sebagaimana adanya saat penelitian dilakukan. Hasil penelitian didapatkan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap kondisi Rumah Detensi Imigrasi Pontianak, wawancara terhadap pihak-pihak terkait, seperti pihak Rumah Detensi Imigrasi Pontianak, warga Negara Afghanistan di Rumah Detensi Imigrasi Pontianak, saksi-saksi maupun aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses hukum mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai proses pemeriksaan dan putusan pengadilan. Penulis juga telah mendapatkan dan mempelajari dokumen-dokumen hukum, berupa berita acara pemeriksaan pelaku dan saksi, surat dakwaan, surat tuntutan dan surat putusan dari pengadilan. Sehingga diketahui bahwa terjadinya penganiayaan, dikarenakan emosi yang dipicu oleh korban. Para korban sering berulah selama berada di Rumah Detensi Imigrasi Pontianak dengan mengancam petugas, memprovokasi teman-temannya untuk mogok makan, demo, serta tidak masuk sel pada jam yang telah ditentukan dan para korban melarikan diri dari penampungan. Akhirnya, pelaku melampiaskan emosinya pada saat para korban ditemukan dengan tujuan memberi efek jera. Sehingga secara biologis, seperti yang disampaikan oleh Enrico Ferry, pelaku digolongkan dalam penjahat dengan tipe the passion criminals yang melakukan tindakannya karena marah atau emosi.Dapat disimpulkan bahwa penganiayaan tersebut terjadi karena permasalahan yang sangat kompleks dan rumit baik permasalahan internal maupun eksternal pelaku yang memicu terjadinya kejahatan tersebut. Faktor internal seperti umur para pelaku yang masih relatif muda, jenis kelamin seluruh pelaku yang adalah laki-laki, tingkat pendidikan formal dan pembekalan sebagai petugas jaga yang dirasa kurang, kultur dan budaya yang berbeda, serta hal-hal lain yang harus dimiliki oleh mereka karena tuntutan lingkungannya sehari-hari. Seperti kemampuan komunikasi dan kemampuan berbahasa inggris untuk menjalankan pekerjaan mereka sebagai petugas jaga, dimana terjadi interaksi dengan orang asing, khususnya yang berbeda kultur, budaya, dan bahasa. Faktor Eksternal disebabkan oleh tekanan-tekanan dari luar, seperti sifat dan sikap korban yang merupakan Provocative victims dan Proactive victims yang disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal korban sehingga mengakibatkan korban berperan besar dalam menimbulkan kejahatan atau menjadi pemicu kejahatan, dorongan dari orang-orang sekitar(pelaku kejahatan), aturan yang mengikat petugas yaitu sanksi pegawai berupa sanksi administrasi dan pemotongan uang remunerasi jika ada warga asing yang melarikan diri dari Rumah Detensi Imigrasi Pontianak, serta waktu dan tempat terjadinya pergesekan-pergesekan emosional yang memberi kesempatan terjadinya kejahatan. Hal ini membuktikan beberapa teori ahli-ahli kriminologi, dalam etiologi kriminal, yaitu usaha ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan. Dengan menggunakan teori-teori yang berpusat pada pengaruh-pengaruh kelompok dan pengaruh kebudayaan yang dipaparkan oleh Wahju Muljono, Gabriel Tarde dengan teori imitasinya, Stephen Hurwitz mengenai tinjauan yang lebih mendalam tentang adanya faktor-faktor umum sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan, serta teori lingkungan oleh Paul Mudigno Mulyono. Keyword: Faktor-Faktor, Penganiayaan, Kriminologi, Pencari Suaka, Warga Negara Afghanistan
PELAKSANAAN PASAL 22 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN RAYA DI KOTA PONTIANAK - A11110010, BERTHA ANGELINA ARIYANTO
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 1 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masalah pertanahan  muncul, ketika kewenangan (hak mengusai negara) diperhadapkan dengan hak warga negara, khususnya hak milik Individu dan hak komunal yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelelola, pembagian , penguasaan, pemanfaatan dan peruntukan tanah harus berhadapan  dengan hak asasi yang melekat pada diri rakyatnya sendiri. Pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkritkan dengan sertifikat sejak lama terjadi pada zaman sebelum kemerdekaan  Demikian juga di negara lainnya seperti Inggris, sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang·Undang Pendaftaran Tanah (Land Registrations Act 1925). Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1 dan 2)  Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian  yang kuat mengenai data fisik dan data Yuridis  yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai  dengan data yang ada dalam surat ukur  dan buku tanah yang bersangkutan. Mengenai kekuatan hukum dalam status hak milik atas tanah, diperkuat dan ditegaskan dalam pasal 20 UUP, dinyatakan : Hak milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan seringkali merugikan rakyat yang merupakan titik awal perebutan  dalam sumber daya tanah. Mengetahui dan menyadari beberapa kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat , maka pemerintah melalui  PP No. 36 Tahun 1998 tentang  Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Dalam Pasal 1 Point 5 PP No. 36 tahun 1998, disebutkan bahwa “Tanah terlantar  adalah tanah yang diterlantarkan  oleh pemegang hak atas tanah” Kemudian dalam Pasal 3 ditegaskan  kembali perihal  tanah hak (Hak Milik, HGU,dan HGB serta Hak Pakai) dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar  apabila tanah  tersebut dengan sengaja  tidak  dipergunakan  oleh pemegang haknya  atau tidak dipelihara  secara baik. Pasal ini mengulang bunyi pasal 27 UUPA. Perjalanan PP Nomor. 36 Tahun 1998, belum memberikan dampak terhadap penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, sehingga pada akhirnya dibuat  produk hukum terbaru berbentuk Peraturan Pemerintah, yaitu melalui  Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2010, Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar, yang ditindak lanjuti dengan keputusan kepala Badan. Didalam PP Nomor. 11 tahun 2010 ini  tidak ada salah satu pasalpun yang menyebutkan  batasan tanah terlantar termasuk Pada Status Hak Milik, Hal ini merupakan sebuah kerancuan dimana Status Hak milim berdasarkan pasal 20 UUPA yang menyatakan status Hak milik adalah kuat tetapi dilain pihak dengan kondisi diterlantarkan dapat dibatalkan dengan sebuah Peraturan pemerintah yang setiungkat lebih rendah dari UUPA. Dasar pembentukan UUPA,  ini  adalah mengacu kepada Pasal 33  ayat (3) UUD 1945,  mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat dua kata yang menentukan, yaitu perkataan “dikuasai” dan “dipergunakan”. Perkataan  “dikuasai” sebagai dasar wewenang Negara, Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia biasa. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah apakah dasar alasan sehingga Negara diberi kewenangan untuk menguasai tanah, sementara perkataan “dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada Negara untuk menggunakan bagi sebesar-besamya kemakmuran rakyat, penguasaan atas tanah oleh Negara, diartikan sebagai pemberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia. Konsekuensinya, Negara berhak campur tangan  disektor agraria, sehingga hak atas tanah tidak terlepas dari hak menguasai Negara. Demi kepentingan nasional misalnya, Negara dapat mengendalikannya, Prof. Dr. Yusriadi Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut, berkenaan dengan tanah terlantar dan dilihat secara filosofis “tanah terlantar” sangat bertentangan dengan  asas yang menentukan bahwa tanah merupakan asset atau modal, bahkan  tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis, tanah berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan manusia, sehingga tanah harus digunakan  untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, oleh sebab itu mengabaikan kewajiban menggunakan, mengelola dengan benar dalam hal ini sesuai dengan haknya  merupakan tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial dan pengingkaran filosofis  tanah Kesadaran akan kedudukan istimewa  tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga terungkap dalam UUPA yang menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan  tanah, namun kata “dikuasai” Pasal 33 UUD 1945 tidak menunjukan Negara adalah pemiliknya, Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum, dinyatakan bahwa Negara (pemerintah) hanya menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” seperti tersebut diatas bukan berarti memiliki, tetapi kewenangan tertentu yang diberikan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan, Hal ini dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkan  kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kejelasaan yang dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Dengan demikian, apa yang dinamakan hak itu sah apabila dilindungi oleh sistem hukum.[1] Pemegang hak melaksanakan kehendak menurut cara tertentu dan kehendaknya itu diarahkan untuk memuaskan. Pada bagian lain, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, hak merupakan hubungan hukum antara subjek hak déngan objek hak, karéna hubungan tersebut memperoleh perlindungan hokum Kemerdekaan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, merupakan batas akhir berlakunya tata hukum, yang oleh  Prof. Dr. Ahmad Sanusi, SH., mengatakan bahwa Hukum yang berlaku sekarang di sini ia menerangkan seluruh hukum dari berbagai cabangnya yang kini berlaku di Indonesia, dan yang berlakunya baik itu atas semua orang, maupun atas golongan-golongan penduduk tertentu.[1] artinya beralihnya tata hukum Kolonial kepada tata hukum Indonesia, tetapi untuk proses pembentukan hukum sebagai pengganti hukum Kolonial, tidak secepat apa yang diharapkan, karena proses pembentukan hukum yang menjadi tata hukum tidak semudah apa yang dipikirkan, oleh karena itu Melalui Peraturan Peralihan Pasal II, UUD Tahun 1945, ”Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi  sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini” memahami hal tersebut dengan maksud mengisi kekosongan hukum, seperti disebutkan Pasal II Aturan Peralihan. Dengan demikian atas dasar tersebut, produk hukum lama masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Falsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD tahun 1945. Pada era inilah terjadi perubahan politik agraria nasional. Pemerintah sekarang tidak lagi berangkat dari paradigma UUPA, akan tetapi memaknai paradigma  UUPA  yang neo populis tersebut yang menyatakan bahwa “tanah itu digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat”, dengan paradigma “Sumber-sumber agraria adalah komoditas”. Tanah dalam hal ini telah dirubah dari memiliki karakter sosial, menjadi masuk dalam skema pasar tanah   Keyword : Peraturan yang lebih rendah tingkatannya
The effects of dietary neutral detergent fiber ratio on the rumen degradability and growth performance of Philippine native goats (Capra hircus Linn.) Nugroho D; Sevilla CC; Angeles AA; Sunarso .
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol 18, No 4 (2013): DECEMBER 2013
Publisher : Indonesian Center for Animal Research and Development (ICARD)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.628 KB) | DOI: 10.14334/jitv.v18i4.336

Abstract

This research’s objective was to determine the dietary rumen degradability and growth performances of goats fed dietary treatments. Eighteen (18) female goats were grouped into 6 weight classes for the feeding trial experiment, the average BW of the animals that were used was about 7.96 ± 2.21 kg (CV - 27.76%) and were approximately 1 year of age. For the in situ digestibility, three (3) male mature goats surgically fitted with cannulated rumen were used. Three (3) dietary treatments were used for all studies as follows: T1 - 72 : 28  NDF Forage-Concentrate Ratio; T2 - 64 : 36; T3 - 57 : 43. A RCBD was applied for Feeding Trial and a 3 x 3 LSD was used for In Situ Study. Treatments 1, 2 and 3 did not affect the rate of rumen degradability of DM, NDF and CP at 0 hours, potentially degradable fraction (b) and the rate of degradation of b. The treatments affected the intake rate of forage and concentrates on the DM, CP and NDF. However, the total intake of DM, CP and NDF were not affected by the treatments. Growth performance of goats used in this experiment was not affected by the treatments as indicated by the similar production and efficiency. This means that diets given to native goats with ratio of NDF forage of 72.07% can be applied since the value of the output and efficiency of feed utilization had the same value compared to diets ratio of NDF forage of 57.21%. Key Words: NDF Forage, Ration, Goat
SUMBER ENERGI LISTRIK DENGAN SISTEM HYBRID (SOLAR PANEL DAN JARINGAN LISTRIK PLN) Angelina Evelyn Tjundawan, Andrew Joewono
Widya Teknik Vol. 10 No. 1 (2011)
Publisher : Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/wt.v10i1.159

Abstract

Solar panel merupakan suatu terobosan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga kini masih terus dikembangkan untuk kebutuhan manusia. Selain memiliki ketersediaan sumber energi yang melimpah, penggunaan teknologi solar panel ini juga ramah terhadap lingkungan. Pada penelitian ini digunakan dua sumber energi listrik, yaitu solar panel dan PLN. Solar panel merupakan sumber energi listrik cadangan yang akan disimpan pada sebuah baterai (akumulator) dan dapat digunakan pada saat sumber energi listrik utama (PLN) mengalami penurunan tegangan. Proses pergantian sumber tegangan yang digunakan ini dilakukan secara otomatis oleh mikrokontroler ATMega8 dan akan ditampilkan pada LCD sehingga dapat diketahui sumber energi mana yang sedang digunakan. Dari hasil percobaan, alat ini dirancang dapat menggantikan 2 sumber energi (solar panel dan jaringan listrik PLN) secara otomatis berdasarkan perubahan tegangan PLN yang terjadi. Percobaan pemakaian baterai dengan beban 25 watt dapat digunakan selama 5 jam. Alat secara keseluruhan telah dapat digunakan dengan 2 sumber energi (solar panel dan jaringan listrik PLN) secara bergantian