Bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul : PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL TANAMAN PADI ANTARA PEMILIK TANAH DENGAN PENGGARAP TANAH DI DESA PENTEK KECAMATAN SADANIANG KABUPATEN PONTIANAK, di mana dalama penulisannya ini penulis menggunakana metode penelitian empiris sosiologis dengan pendekatan metode deskriptif analisis ialah mengenai pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah untuk tanaman padi di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang kabupaten Pontianak, masyarakat petani masih berpedoman pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sejak lama. Namun yang menjadi masalah adalah : Apakah Perjanjian Bagi Hasil Tanaman Padi Antara Pemilik Tanah Dengan Penggarap Tanah Di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang Kabupaten Pontianak Sudah Dilaksanakan Oleh Penggarap Sebagaimana Mestinya? Bahwa selama ini masyarakat masih menggunakan kebiasaan yang bukan berdasarkan hukum adat sebagai acuan untuk melaksanakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Hal tersebut merupakan dinamika masyarakat di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang Kabupaten Pontianak yang tidak menentukan bagi hasil berdasarkan adat istiadat tersebut, akan tetapi menurut budaya umum masyarakat Indonesia. Yang pada akhirnya dalam hipotesis penulis bahwa perjanjian bagi hasil tanaman padi antara pemilik tanah dengan penggarap tanah di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang Kabupaten Pontianak belum dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh pihak penggarap tanah. Di mana, penulis, melihat bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil terhadap penggunaan tanah untuk tanaman padi seringkali pihak penggarap tanah melalaikan tugas dan kewajibannya tersebut. Dan atas kelalaiannya tersebut sangat merugikan pemilik tanah yang telah memberikan izin mengolah dan mengusahakan tanahnya. Bahwa antara pihak Pemilik Tanah Di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang Kabupaten Pontianak melakukan perjanjian bagi hasil dengan penggarap secara lisan atas dasar adanya kepercayaan dan itikad baik dengan pihak penggarap. Kebiasaan bagi hasil tanaman padi, yaitu dilakukan setiap 1 tahun masa panen berakhir. Bahwa perjanjian bagi hasil tanaman padi antara pemilik tanah dengan penggarap tanah di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang Kabupaten Pontianak dilaksanakan secara lisan. Di mana, faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kelalaianhanya dipengaruhi oleh hasil panen yang buruk. Oleh sebab itu, maka mengenai akibat hukum bagi pihak penggarap yang tidak melaksanakan kewajibannya ialah diberikan sanksi dengan membayar doubel hasil panen dalam hitungan 1 musim masa panenoleh pemilik tanah sawah. Bahwa selama ini belum ada upaya hukum apapun yang dilakukan oleh pemilik tanah sawah untuk tanaman padi di Desa Pentek Kecamatan Sadaniang Kabupaten Pontianak terhadap pihak penyewa yang lalai. Dengan adanya suatu hubungan hukum antara seseorang dengan pihak lain terutama dalam hal perjanjian bagi hasil pada hakekatnya merupakan wujud dari suatu peristiwa dan kondisi adanya keterikatan seseorang dengan pihak lainnya agar melaksanakan hak dan kewajibannya, dengan kedudukan maupun hak yang sama serta dengan itikad baik. Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam Perjanjian penggarapan tanah sawah dengan Pola Bagi Hasil adalah lahir karena adanya kesepakatan, bersifat mengikat, itikad baik, pribadi yang dipercaya, dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.7Perjanjian pengusahaan tanah dengan Bagi Hasil semula diatur didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian mendapat pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang lahir berdasarkan pada hukum adat di Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai Pengertian perjanjian bagi hasil yaitu : Terdapat hubungan hukum antara pemilik tanah lahan dengan pihak penggarap tanah, sehingga timbul hak dan kewajiban para pihak. Pemilik tanah dalam perjanjian bagi hasil memberi izin kepada orang lain sebagai penggarap untuk mengusahakan lahan dan hasilnya dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati bersama. Penggarap juga berkewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan lahan tersebut sebaik-baiknya. Jadi Perjanjian Bagi Hasil menurut Hukum Adat pada dasarnya adalah suatu perjanjian yang timbul dalam masyarakat Hukum Adat antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan umumnya perjanjian tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk tertulis tetapi hanya bersifat lisan dengan dasar saling percaya. Perjanjian Bagi Hasil merupakan salah satu perjanjian yang berhubungan tanah yang mana obyeknya bukan tanah namun melainkan segala sesuatu yang ada hubunganya dengan tanah atau yang melekat pada tanah seperti tanamantanaman, hak mengerjakan, menggarap, atau menanami tanah tersebut, dan sebagainya.Materi Bagi Hasil tanah pertanian itu sendiri masuk dalam ruang lingkup hukum tanah adat teknis, yaitu perjanjian kerjasama yang bersangkutan dengan tanah tetapi yang tidak dapat dikatakan berobyek tanah, melainkan obyeknya adalah tanaman. Perjanjian Bagi Hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka umumnya adalah petani. Namun pengusahaan tanah dengan bagi hasil di setiap daerah di Indonesia itu berbeda-beda nama dan pengaturanya. Menurut para ahli hukum adat perjanjian bagi hasil itu mempunyai pengertian yang bermacam-macam, diantaranya pengertian perjanjian bagi hasil menurut Bushar Muhammad adalah: Apabila pemilik tanah memberi ijin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu harus memberikan sebagian (separo kalau memperduai atau maro serta sepertiga kalau mertelu atau jejuron ) hasil tanahnya ke pada pemilik tanah .9 Pengertian perjanjian bagi hasil (Deelbouw Overeenkomst) menurut Djaren Saragih adalah hubungan hukum antara seorang yang berhak atas tanah dengan fihak lain (kedua ), dimana fihak kedua ini diperkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan, hasil dari pengolahan tanah dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan yang mengolah tanah itu.10 Kata Kunci : Pemilik, Tanah, Penggarap, Perjanjian, Bagi Hasil, Tanaman Padi.