Ratna Anggraeni Agustian
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PELUANG KEJADIAN OTOTOKSISITAS PADA PENGGUNAAN KANAMISIN DALAM PENGOBATAN TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT GANDA SELAMA 1 BULAN Rakhmawati, Lussie; Agustian, Ratna Anggraeni; Wijana, -
Majalah Kedokteran Bandung Vol 47, No 4 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (260.097 KB)

Abstract

Obat ototoksik adalah obat yang berpotensi menimbulkan reaksi toksik pada struktur di koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolith. Kanamisin merupakan obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis resisten obat ganda (multidrug resistant/TB MDR) dan berpotensi ototoksik. Penelitian ini bertujuan mengetahui peluang terjadinya ototoksisitas sebagai langkah awal deteksi dini pada penggunaan kanamisin dalam pengobatan TB MDR. Penelitian ini berupa studi deskriptif yang dilakukan secara prospektif di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari?Juni 2014 dengan subjek adalah penderita TB MDR. Pemeriksaan awal, yaitu audiometri nada murni, timpanometri dan DPOAE dilakukan sebelum terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan DPOAE setiap 3 hari selama 1 bulan pertama pengobatan.  Hasil penelitian menunjukkan gangguan koklea pada telinga kanan dan kiri mulai frekuensi 10.000 Hz pada hari ke-19?21, kemudian mengenai frekuensi 8.000 Hz pada hari ke-25?27. Terdapat hubungan negatif gangguan koklea akibat kanamisin dengan usia, namun tidak terdapat hubungan negatif gangguan koklea dengan jenis kelamin dan indeks masa tubuh. Simpulan, peluang kejadian ototoksik pada penderita TB MDR yang mendapat terapi kanamisin terjadi mulai pada akhir minggu kedua serta mengenai frekuensi tinggi terlebih dahulu serta berlanjut ke frekuensi yang lebih rendah. MKB. 2015;47(4):224?30]Kata kunci: Deteksi dini, kanamisin, ototoksik, TB MDRProbability of Kanamycin Ototoxicity in Multidrug Resistant Tuberculosis Patient during First Month TreatmentAbstractOtotoxic drugs are medicines that cause toxic reactions to structures in the cochlea, vestibule, semicircular canal, and otolith. Kanamycin is a drug used in the treatment of Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB) and potentially ototoxic. This study aimed to determine the possibility of kanamycin ototoxicity as an initial step of early detection in MDR TB treatment . This study was a descriptive study conducted prospectively and performed in dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of January?June 2014. The study involved MDR TB patients. Preliminary examinations were performed using pure tone audiometry, tympanometry and DPOAE, which was then followed by further investigations using DPOAE examination every 3 days during the first month of treatment. The results showed cochlear disorders on the right and left ear started to 10,000 Hz frequency on days 19?21, then the frequency of 8,000 Hz on days 25?27. There was a negative relationship between cochlear disorders due to use of kanamycin with age, and no correlation between cochlear disorders with gender and body mass index. In conclusion, possibility of kanamycin ototoxicity in patients with MDR TB begins at the end of the second week, first on high frequency and continues to lower frequency. [MKB. 2015;47(4):224?30]Key words: Early detection, MDR TB, kanamycin, ototoxic DOI: 10.15395/mkb.v47n4.619
Karakteristik Gangguan Dengar Sensorineural Kongenital pada Anak yang Dideteksi dengan Brainstem Evoked Response Audiometry Dewi, Yussy Afriani; Agustian, Ratna Anggraeni
Majalah Kedokteran Bandung Vol 43, No 2
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gangguan dengar merupakan salah satu kelainan yang sering timbul sejak lahir (kongenital), sehingga deteksi dan rehabilitasi dini yang tepat dapat meningkatkan perkembangan bicara dan berbahasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek gangguan dengar kongenital dari segi klinik maupun sosiologik. Subjek penelitian adalah anak yang dilakukan brainstem evoked response audiometry (BERA) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital selama periode April 2002–April 2005. Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sebanyak 286 anak termasuk dalam penelitian terdiri atas 149 (52,1%) laki-laki dan 137 (47,9%) perempuan. Sebanyak 58,7% terdeteksi pada usia >1–3 tahun. Usia anak saat dicurigai menderita gangguan dengar mulai dari usia 5 bulan sampai 14 tahun. Tenggang waktu antara usia pada saat mulai dicurigai adanya gangguan dengar dan dilakukan BERA adalah 82 (28,7%) <6 bulan, 72 (25,2%) antara >6 bulan sampai <1 tahun, dan 70 (24,4%) antara >1 sampai< 2 tahun. Penderita lebih banyak berasal dari daerah perkotaan, yaitu 149 (52,1%) anak dan sebagian besar dirujuk oleh spesialis THT sebanyak 129 (45,1%). Derajat gangguan dengar terbanyak adalah berat 181 (63,3%) dan sangat berat 96 (33,6%), sebagian besar bersifat simetris (71%). Faktor risiko terbanyak tidak teridentifikasi (51,1%), prematur/BBLR (13,6%), asfiksia (13,3%), hiperbilirubinemia (8,7%), dan rubela (7,3%). Simpulan, usia curiga pada saat anak dideteksi mengalami gangguan dengar masih tinggi. Agar deteksi dapat lebih dini, perlu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat serta upaya pencegahan terhadap faktor risiko. [MKB. 2011;43(2):77–82].Kata kunci: Anak, brainstem evoked response audiometry (BERA), gangguan dengar sensorineural bilateral kongenital Characteristic of Congenital Bilateral Sensorineural Hearing Loss inChildren Diagnosed by Brain Evoked Response AudiometryHearing loss is one of the most common congenital anomalies, therefore early detection and rehabilitation might enhance speech ability. The purpose of this study was to explore the clinical and sociological characteristics of congenital bilateral sensorineural hearing loss. Subjects were children who suffered from congenital bilateral sensorineural hearing loss diagnosed by brainstem evoked response audiometry (BERA) in Dr. Hasan Sadikin Hospital from period of April 2002–April 2005. Data obtained retrospectively from patient’s record and presented descriptively. There were 286 children included in the study consisted of 149 (52.1%) males and 137 (47.9%) females. More (58.8%) children were detected by BERA at age of >1–3 years. Children’s age that first suspected to have hearing disorder was between 5 months and 14 years old. The delay between suspected and diagnosis was 82 (28.7%) <6 months, 72 (25.2%) between >6 months–<1 year, 70 (24.4%) between >1–<2 years. There were 52.1% (149) subjects came from urban area and 45.1% (129) of them were referred by otolaryngology-head and neck surgery specialists. The degrees of hearing loss were severe 181 (63,3%) and profound 96 (33.6%). Most cases (71%) were symmetrical. The cause of hearing loss in 51.1% of children couldn’t be determined, 13.6% were premature/low birth weight, 13.6% asphyxia, 8.7% hyperbilirubinemia, and 7.3% rubella. Conclusions, age of children when suspected to have hearing disorder is still high. Early detection needs knowledge from health provider officer, society, and prevention of the risk factors. [MKB. 2011;43(2):77–82].Key words: Brainstem evoked response audiometry (BERA), child, congenital bilateral sensorineural hearing loss DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v43n2.47