Abstract: Women as leaders are often underestimated and considered incapable of leading. In this regard, it can be seen that women are still under the shadow of a patriarchal culture that places men as rulers. This ideology regards women as second-class citizens. In various fields, women's space for movement is limited, such as in the world of leadership. This is because there is an assumption that men are entitled to lead. This is happening not only in the secular world but also in the Christian world. Often this is the reason for limiting and not having space for women to become leaders. Deborah as a judge in Judges 4-5 represents how God chose a woman to be a leader. This paper was written through a narrative analysis of Judges 4-5 to respond to these problems. Readers can understand that a person's effectiveness in leading is not based on gender. Therefore, this study concludes that the church should provide space and opportunity for women to become leaders. In leadership, it is not about who has the right to lead, but how the leader can influence and impact the organization he leads. Abstrak: Perempuan sebagai seorang pemimpin seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak mampu memimpin. Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat bahwa perempuan masih di bawah bayang-bayang budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa. Ideologi ini menganggap perempuan sebagai warga kelas dua. Dalam berbagai bidang ruang gerak perempuan dibatasi, seperti dalam dunia kepemimpinan. Sebab adanya anggapan bahwa yang berhak memimpin adalah laki-laki. Ini terjadi tidak hanya di dunia sekuler, tetapi juga di dunia Kristen. Seringkali ini menjadi alasan untuk membatasi dan bahkan tidak adanya ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Debora sebagai hakim dalam Hakim-Hakim 4-5 mewakili bagaimana seorang perempuan yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi seorang pemimpin. Tulisan ini ditulis melalui analisis naratif kitab Hakim-Hakim 4-5 dengan tujuan untuk merespon permasalahan tersebut. Pembaca dapat memahami bahwa efektivitas seorang dalam memimpin tidak didasarkan pada gender. Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa gereja seharusnya memberikan ruang dan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Dalam kepemimpinan soal bukan siapa yang berhak memimpin, tetapi bagaimana pemimpin tersebut dapat berpengaruh dan memberi dampak di dalam organisasi yang dipimpinnya.