Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Profiles of Cortisol, Triiodothyronine, Thyroxine and Neutrophil/Lymphocyte Ratio as Stress Indicators in Swamp Buffaloes 15 Days Post-Transportation H Maheshwari; . Yulnawati; A Esfandiari; . andriyanto; M D Andriani; A Khovifah
Media Peternakan Vol. 36 No. 2 (2013): Media Peternakan
Publisher : Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (914.602 KB) | DOI: 10.5398/medpet.2013.36.2.106

Abstract

Transportation may cause stress that affects livestock’s health. This research was conducted to observe the effect of transportation on the profiles of blood cortisol, triiodothyronine (T3), thyroxine (T4) and neutrophil/lymphocyte (N/L) ratio as stress indicators during 15 days post-transportation. Four females swamp buffaloes, 2-yr-old were used in this research. The animals were transported using an open truck, along 15 kilometers distance for 2 h. During acclimatization, the animals were fed grass twice a day and access to water ad libitum. Blood was collected at the time of arrival and everyday for 15 d post-transportation. Cortisol, T3 and T4were analyzed using Radioimmunoassay (RIA) method. Blood smears were also prepared and stained with Giemsa for leukocyte differential counts. Results showed a significant relation (P<0.05) between transport and an increase in cortisol and T4 level on day-1 post-transportation compared to the normal levels. The level of T3 was also increased on day-3 post-transportation. Total leukocyte counts were 8.91-18.83×10³/μL. Neutrophil, eosinophil, monocyte, and lymphocyte counts were 4.87-10.41×10³/μL, 0.66-1.75×10³/μL, 0.11-0.58×10³/μL, and 2.98-6.21×10³/μL, respectively. N/L ratio was 1.23-3.49 with >1.5 in average throughout the period of the research. It is concluded that transportation causes stress and therefore changes metabolic process. 
KIVFA-6 Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Listeria monocytogenes pada Susu Sapi di Wilayah Pulau Jawa Kegiatan Pengawasan dan Monitoring Produk Pangan Tahun 2016-2017 Ari Retnowati; A H Utari; M D Andriani; H Anisatun; A Riandi
Hemera Zoa Proceedings of the 20th FAVA & the 15th KIVNAS PDHI 2018
Publisher : Hemera Zoa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (619.736 KB)

Abstract

Pangan asal hewan sangat dibutuhkan guna menunjang kehidupan dan kualitas hidup manusia. Susu merupakan salah satu produk pangan asal hewan yang bernilai gizi tinggi dan kaya nutrisi. Akan tetapi, susu juga merupakan salah satu bahan pangan yang bersifat perishable atau mudah rusak. Hal ini disebabkan karena susu merupakan media tumbuh yang baik untuk mikroba. Listeria monocytogenes merupakan salah satu mikroba yang dapat mencemari susu dan mengancam kesehatan manusia.L. monocytogenes bersifat zoonosis, artinya dapat ditularkan dari hewan yang terinfeksi ke manusia. Kasus penularan ke manusia yang banyak ditemukan adalah melalui produk pangan yang terkontaminasi L. monocytogenes.  Oleh karena itu, L. monocytogenes termasuk dalam foodborne pathogen yang dapat menyebabkan listeriosis terutama pada kelompok yang berisiko tinggi. seperti bayi, lanjut usia (umur ≥60 tahun), wanita hamil ⦋1⦌.L. monocytogenes merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang, bersifat patogen intraseluler, fakultatif ananerob hingga mikroaerofilik, dan dapat bertahan hidup dalam kondisi kadar oksigen rendah dalam jangka waktu yang lama⦋2⦌. Bakteri ini juga bersifat psikotrofik, mampu bertahan hidup pada suhu 0-45oC, sehingga dapat berkembang pada proses pendinginan, pembekuan, dan pengeringan dalam rantai pengolahan pangan sedangkan kebanyakan bakteri lain tidak dapat berkembang pada suhu tersebut ⦋3.⦌ Oleh karena daya adaptasi L. monocytogenes yang tinggi, maka apabila susu yang tercemar L. monocytogenes tidak diproses dengan baik, susu dan produk olahannya tetap dapat mengandung bakteri ini.Produk pangan asal hewan dituntut memiliki mutu tinggi, berdaya saing, dan aman untuk dikonsumsi.  Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengawasan dalam produk pangan asal hewan sangat penting terutama dalam kaitannya dengan perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan Pengawasan Monitoring dan Surveilans (PMSR) dari seluruh provinsi di Indonesia setiap tahunnya. PMSR merupakan salah satu tugas, pokok dan fungsi dari Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) untuk memastikan bahwa produk hewan yang beredar di Indonesia Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Adapun salah satu pengujian yang dilakukan adalah pengujian terhadap cemaran mikroba L. monocytogenes yang terkandung pada produk pangan asal hewan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menggambarkan tren hasil uji positif cemaran mikroba L. monocytogenes pada sampel susu sapi yang berasal dari wilayah di Pulau Jawa selama tahun 2016 sampai dengan tahun 2017.
KIVPU-2 Tren Hasil Pengujian Residu Antibiotik pada Telur Ayam di Indonesia Tahun 2015-2017 Ajeng Herpianti Utari; A Retnowati; M D Andriani; H Anisatun; A Riandi; E Nur
Hemera Zoa Proceedings of the 20th FAVA & the 15th KIVNAS PDHI 2018
Publisher : Hemera Zoa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.001 KB)

Abstract

Telur ayam merupakan produk pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi masyarakat di Indonesia, karena mudah diperoleh dan merupakan sumber protein tinggi dengan harga yang relatif terjangkau. Kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi telur semakin meningkat. Konsumsi telur ayam ras per kapita tahun 2016 sebesar 99,796 butir, mengalami peningkatan sebesar 2,46 % dari konsumsi tahun 2015 sebesar 97,398 butir [1]. Kondisi ini mendorong peternak ayam petelur untuk menaikkan jumlah produksi dalam memenuhi permintaan telur yang semakin meningkat. Industri peternakan ayam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan antibiotik sebagai upaya kuratif dalam pengendalian penyakit yang dapat menjadi kendala produksi telur. Selain itu, pemberian antibiotik juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu pertumbuhan (growth promotor), meningkatkan produksi, dan efisiensi penggunaan pakan [2].Bahaya yang diakibatkan dari penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan dapat meninggalkan residu pada jaringan dan organ, termasuk pada telur. Maka peternak perlu mengetahui aturan pemakaian antibiotika secara selektif dan terkontrol. Pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 pasal 22 ayat 4 huruf c tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014, melarang penggunaan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan. Hal ini, sejalan dengan kebijakan WHO untuk mengurangi penggunaan berlebih antibiotik pada peternakan dan perikanan [3].Berkaitan dengan hal tersebut, pengawasan residu pangan asal hewan sangat penting dalam rangka perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen.  Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan Pengawasan Monitoring dan Surveilans Residu (PMSR) dari seluruh provinsi di Indonesia setiap tahunnya. PMSR merupakan salah satu tugas, pokok dan fungsi dari Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH).Tujuan dari penulisan kajian ini adalah untuk mengetahui trend hasil uji positif residu 4 golongan antibiotik yang banyak di gunakan di dunia peternakan (Penisilin, Makrolida, Aminoglikosida dan Tetrasiklin) pada telur ayam di Indonesia selama tahun 2015 – 2017 dengan metode skrining dan meningkatkan kesadaran peternak serta konsumen akan bahaya dari residu antibiotik pada telur ayam.