Praktik pertanian konvensional di Indonesia menyebabkan kerusakan ekosistem, termasuk degradasi tanah, polusi air, dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang berdampak negatif pada produksi pangan. Pendekatan agroecology muncul sebagai solusi atas tantangan ini dengan mengurangi ketergantungan pada input eksternal, seperti pupuk dan pestisida sintetis. Penelitian ini berfokus pada pengalaman Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Aliansi Organis Indonesia (AOI) dalam mengembangkan dan menerapkan praktik agroecology berbasis komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan latar belakang perpindahan praktik pertanian SPI dan AOI dari pertanian konvensional ke agroecology, (2) menganalisis bagaimana penerapan prinsip agroecologyyang diimplemantasikan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Aliansi Organis Indonesia (AOI), serta (3) menganalisis hubungan sosial dan ekosistem dalam penerapan praktik agroecology oleh SPI dan AOI. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, karena diperlukan untuk mengeksplor(menggali) pengalaman SPI dan AOI dalam mengembangkan dan menerapkan pendekatan agroecology berbasis komunitas. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi lapangan, dan dokumen. Analisis data dilakukan menggunakan model interaktif, sedangkan uji keabsahan data digunakan triangulasi metode, dan sumber data . Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPI dan AOI menggunakan pendekatan agroecology yang memiliki tiga prinsip utama yakni prinsip Resilient Farming yakni mendorong transisi ke pertanian organik, sistem tanam rotasi atau polikultur dan pengunaan bibit lokal. Lalu dalam prinsip Economic Viability dengan membuat program Kawasan Daulat Pangan (KDP) dan Participatory Guarantee System (PAMOR) dan terakhir dalam prinsip Community Empowerment dengan memasifkan pendidikan, pelatihan dan pendampingan intensif. Tantangan dalam penerapan agroecology yakni sistem yang belum mendukung, minimnya infrastruktur penunjang seperti untuk pembuatan pupuk dan pembenihan, lalu kurangnya dukungan kebijakan yang memadai dari pemerintah dan lemahnya sinergi antara aktor-aktor kunci seperti pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta menjadi hambatan utama. Selain itu, terbatasnya akses petani terhadap teknologi ramah lingkungan dan pendidikan tentang agroecology memperlambat proses adopsi.